Kolom Alfian Fachrurrozi: CRIME AND PUNISHMENT

Tidak semua novel sekalipun karya dari penulis besar itu isi ceritanya indah dan berkesan. Tetapi “Crime and Punishment”, novel karya Dostoyevsky menurutku sangatlah indah dan berkesan. Novel itu mengisahkan seorang mahasiswa eksentrik bernama Raskolnikov. Dia saking eksentriknya menolak semua tatanan moralitas konvensional.

Ia berpikir: orang yang secerdas dan seterpelajar dirinya itu mestinya “berada di atas hukum”.

Baginya, hukum hanyalah bentuk lahiriah yang dipaksakan oleh sekumpulan orang pandir. Dia sebagai manusia yang unggul secara intelektual tentunya harus bebas untuk menciptakan tatanan moralitasnya sendiri. Untuk membuktikan pendapatnya itu, dia membunuh seorang nenek tua dan lantas membuktikan bahwa dirinya tidak dapat dijangkau oleh hukuman. Pada waktu itu, dia memandang kejahatannya semata-mata masalah teori, suatu tindakan dari akal atau ego.

Tetapi tidak lama kemudian, Raskolnikov menjadi korban dari rasa bersalah dan mengalami demam yang hebat. Rasa bersalahnya terutama bukan karena dia telah membunuh nenek tua itu, melainkan karena melalui kesombongan dan kesengajaannya dia telah melakukan perbuatan yang menghancurkan kemuliaan di dalam dirinya sendiri. Dia menyadari telah melanggar hukum moral batin dan merasa berdosa atas kesadarannya sendiri — serangan perasaan itulah yang tidak dengan mudah dapat ditanggungnya.

Dalam kehidupan pribadinya, Raskolnikov tidak pernah mempunyai banyak kawan yang dapat menyentuh perasaannya kecuali ibu dan saudara perempuannya. Kawan-kawannya sesama mahasiswa menolaknya karena sikapnya yang dingin dan angkuh. Setelah pembunuhan itu, Raskolnikov pun merasa bahwa dia juga harus memisahkan diri dari keluarganya, dan akhirnya dia benar-benar menjadi manusia yang terasing.

Tetapi kemudian dalam pengasingannya, dia bertemu dengan seorang pelacur bernama Sonya, yang tentu saja merupakan seorang korban dari semua kejahatan sosial dan prasangka yang ditentang oleh Raskolnikov. Meskipun terinjak-injak, hancur, dan kesakitan, wanita itu tetap menunjukkan kepada Raskolnikov kemungkinan adanya kekuatan batin dan keberanian moral untuk melawan segala kesengsaraan.

Sumber kekuatan batin yang mampu mengatasi segala derita itu adalah: kasih dan tanpa ego. Nilai-nilai itu pula yang coba ditularkan kepada Raskolnikov.

Selanjutnya, ketika Raskolnikov dihukum dan dikirim ke kamp kerja paksa, Raskolnikov menunjukkan sikap batin yang berbeda (yang tanpa ego) kepada sesama narapidana, orang-orang yang sebelumnya tentu akan digambarkannya hanya sebatas “anggota kawanan semut”. Melalui kacamata kasih dan tanpa ego, Raskolnikov ikut menyatu dengan umat manusia dan kini dapat menerima penderitaannya sendiri.

Dia membayar kewajibannya kepada masyarakat karena telah melanggar hukumnya, namun yang lebih penting adalah bahwa cintanya kepada Sonya dan sesama narapidana memberi suatu kesempatan baru dalam kehidupannya melalui suatu perubahan batin. Melalui perubahan fundamental inilah, dia mempelajari dan mempraktikkan tentang kerendahan hati.

Sebenarnya kejahatan Raskolnikov hanya mungkin dilakukannya karena dia mengabaikan pedoman batin di dalam dirinya sendiri. Cahaya batinnya terhalang oleh kekuatan besar dari kesombongan intelektualnya — yang membutakannya dari persaudaraan sesama umat manusia. Dari posisi ini, keunggulan moral yang dikira dimilikinya justru mendorongnya untuk melakukan kejahatan.

Curahan kasih dan cinta yang tulus dari Sonya, akhirnya memicu Raskolnikov untuk berhubungan dengan pusat batinnya sendiri, dengan cahaya batinnya sendiri, dan mengambil pelajaran dari kesadarannya sendiri untuk mulai membangun kembali kehidupannya yang lebih tercerahkan dan penuh kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.