Kolom Alvian Fachrurrozi: TIDAK ADA SEKOLAHNYA

Ini sudut pandang saya, saya tidak meminta yang membaca tulisan ini untuk menyetujuinya.

Setahu saya, untuk menjadi santri itu ada sekolahnya, ada pabrik pencetaknya yang bernama pondok pesantren. Demikian pula untuk menjadi komunis, itu ada sekolahnya, ada pabrik pencetaknya berupa kaderisasi partai atau serikat organisasi. Tetapi, untuk menjadi pejalan spiritual, itu apakah juga ada sekolahnya?

Apakah ada dogma baku seperti yang tertuang di kitab-kitab kuning dalam tradisi pesantren atau ada diktat-diktat seperti dalam disiplin intelektual organisasi-organisasi komunis?

Menurut sudut pandang saya, kok sama sekali tidak ada. Untuk menjadi pejalan spiritual itu tidak ada sekolahnya, tidak ada pondok pesantrennya, dan juga tidak ada kaderisasi organisasinya. Begitu juga tidak ada kurikulum baku atau disiplin intelektual yang dogmatis.

Memang benar dalam tradisi spiritual itu ada para guru dan ada perkumpulan-perkumpulan mistik semacam Teosofi, kelompok Kebatinan Lokal, sangha Buddhis dan semacamnya. Begitu juga ada kitab-kitab spiritual kuno seperti Weda, Tripitaka, atau buku-buku spiritual kontemporer yang misal hasil transkip dari wejangan para master spiritual modern seperti Osho dan J. Krishnamurti.

Tetapi, sekali lagi, para pejalan spiritual itu pada umumnya menempatkan para master spiritual seperti Buddha, Osho, Ki Ageng Suryomentaram, J. Krishnamurti hanya sebatas “jari penunjuk bulan”, para pejalan spiritual tidak menempatkan mereka selayaknya Kyai Hasyim Asyari ataupun Vladimir Lenin yang oleh para pengikutnya begitu dikukuhi dan diikuti segala kata dan perintahnya.

Seorang pejalan spiritual hanya menempatkan para master sebagai senior yang lebih dulu melangkah dalam tangga spiritualitas, seorang Buddha, Osho, Suryomentaram, J. Krishnamurti bukan untuk dijadikan suri tauladan kultus yang harus dicopas mentah-mentah jalan pencarian spiritualitasnya. Spiritualitas itu bukan jalan dari burung beo yang suka meniru sesuatu dengan mentah-mentah, melainkan spiritualitas adalah jalan dari burung elang yang berani berpetualang mengarungi kesendirian untuk mengaktualisasi keotentikan.

Komunitas-komunitas spiritual seperti Teosofi atau organisasi kebatinan itu juga tidak semestinya dianggap sebagai sekolah pencetak keseragaman seperti pondok pesantren atau serikat-serikat komunis, karena sekolah bagi penempuh spiritualitas yang sejati itu tidak lain adalah segala realitas yang ada dalam kehidupan ini. Misal memiliki orangtua dengan watak dan tabiat yang buruk, memiliki anak atau saudara dengan karakter yang menjengkelkan, selalu tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, mengalami suatu kerugian atau kena penyakit, dikhianati pasangan, atau ditinggal mati orang-orang yang kita cintai.

Hal-hal seperti itulahlah yang benar-benar guru dan sekolah bagi para pejalan spiritual yang sesungguhnya. Pelajaran kehidupan yang kita dapati dari penghayatan dan pemaknaan spiritual dari hal konkret dan nyata di sekitar kita inilah yang jauh lebih mencerahkan dan menancap di dalam batin kita daripada hanya sebatas menjadi “spiritualis literatur”, karena output daripada spiritualitas itu sesungguhnya bukanlah bertujuan untuk seperti santri yang nglontok hapal isi beberapa kitab kuning atau seperti kader komunis yang fasih mengurai Das Kapital.

Spiritualitas yang benar itu berbasis laku dalam tindakan nyata bukan berbasis literatur, baik itu literatur serat-serat kuno maupun buku-buku spiritual kontemporer.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.