Jika Bung Pram dapat hilang perasaan inferioritasnya sebagai manusia Asia dengan ngeseks bareng noni Belanda, aku sebagai murid ideologisnya tidak harus begitu. Bagiku pencerahan dari kegelapan inferioritas adalah fenomena mindset atau transformasi mental, bukan fenomena fisikal apalagi seksual. Dengan membaca karya-karya tulisan Bung Pram saja sudah sedemikian cukup bagiku untuk mendapat “pencerahan mental” guna menumpas perasaan inferior dan mendapat perasaan sederajat di hadapan berbagai bangsa.
Itu kubuktian sewaktu bekerja di Bali.
Setiap hari harus berinteraksi dengan turis asing. Meski dengan kecakapan bahasa Inggris yang minimalis, tetapi karena sudah menamatkan Tetralogi Pulau Buru karyanya, tidak timbul sama sekali perasaan inferior itu di hadapan bule-bule asing, sudah bercokol kuat dalam pikiranku jika semua manusia dari berbagai bangsa itu “sederajat”!
Seperti esensi pesan yang kudapati dalam novel-novelnya: Yang bisa berpikir dan terpelajar itu bukan monopoli Bangsa Eropa dan yang pikirannya tidak aktif serta yang tidak sudi tenggelam dalam lautan ilmu pengetahuan itu juga bukan monopoli bangsa dari peradaban dunia ke tiga. Hal itu juga kubuktikan di Bali, kutemui beberapa orang Rusia yang kemampuan bahasa Inggris-nya bahkan nol sama sekali.
Masih mending orang Indonesia pada umumnya, sehingga untuk berkomunikasi dengan orang lokal di Bali mereka ke mana-mana memakai Google Translate. Lucunya, alibi mereka tidak sudi belajar bahasa Inggris berbau fasistik sekali. Mereka menganggap Bahasa Rusia adalah bahasa yang paling baik dan sempurna sementara Bahasa Inggris adalah bahasa bangsa imperialis yang bermutu rendah.