Kolom Andi Safiah: BUZZERS

Dengan terbukanya ruang bebas berpendapat lewat aplikasi teknologi seperti Facebook, Twitter, Instagram, dll, maka rakyat Indonesia bebas menyampaikan ide-idenya. Baik untuk menulis kritik hingga menulis alasan-alasan mengapa mereka mendukung pemerintahan. Saya kira fenomena ini biasa saja dalam era Informasi. Saat ini, ide, opini atau gagasan bukan monopoli orang-orang yang punya gelar berbaris di belakang namanya.

Siapa saja bebas menulis ide, opini atau gagasannya di wall atau brandanya sendiri.

Dari sana biasanya interaksi intelektual berlangsung. Problemnya, bagi mereka yang tidak biasa dalam diskusi bebas akan mudah luntur semangatnya ketika berhadapan dengan kata-kata mutiara seperti “tolol”, “idiot”, “goblok”, “bangke” atau sejenisnya.

Padahal jika kita melirik kembali ke masa lalu, para intelektual yang kita kenal dengan sebutan Philosopher juga banyak menggunakan istilah-istilah semacam itu untuk menggambarkan sebuah fenomena emosi yang meluap-luap, akibat tidak menemukan padanan kata yang pas untuk menggambarkan sebuah argumen invalid.

Lah, ada seorang yang bergelar hingga level professor tidak tahan dengan kata-kata mutiara seperti di atas. Dia menuding secara serampangan bahwa mereka adalah “buzzers” yang memang dibayar oleh pemerintah untuk menghantam semua yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah.

Menurut saya, tudingan macam ini tidak sepenuhnya benar. Istilah buzzers pemerintah terutama buzzer Jokowi baru lahir sejak Era Jokowi saja. Dulu-kala tidak ada istilah buzzers SBY atau buzzers Gus Dur. Istilah ini menjadi cukup populer karena alasan Jokowi. Di luar itu saya tidak melihat alasan lain soal buzzers.

Kita juga problem bias dalam menempatkan sebuah kritik, bahkan cenderung agak premature, karena sering kali mereka yang mendukung kebijakan pemerintah langsung dicap buzzers. Padahal dukung-mendukung itu biasanya sifatnya “temporary” tidak permanen.

Hari ini si A mendukung kebijakan Jokowi, besok bisa jadi dia menolak kebijakan lain yang juga datang dari pemerintahan Jokowi.

Sikap main label inilah yang bikin ruang publik menjadi sering rame. Dalam demokrasi sebenarnya keramaian ruang publik itu menjadi sesuatu yang biasa saja. Masalahnya, ketika ada seorang tokoh yang tersinggung dengan kata-kata lalu membawa persoalan kata-kata ini ke ranah hukum.

Ini yang sering kali terjadi. Makanya ketika Jokowi meminta agar rakyat kritis atas setiap kebijakannya, sedikit kontradiktif dengan apa yang sering kita lihat dalam realitas. Misalkan ketika seseorang menulis kritik atas kebijakan pemerintah dalam urusan pendemik.

Lewat kata “kacung” saja seseorang seperti JRX bisa masuk bui karenanya. Padahal “kacung” adalah bagian dari kata-kata mutiara yang Indah bahkan tidak jarang statusnya faktual.

Jadi, menurut saya, bangsa ini masih harus banyak latihan dalam urusan adu bacot dalam ruang-ruang media sosial. Jangan mudah Salto alias tersinggung ketika argumen anda ditolol-tololin sama kawan bicara anda. Atau, kalau bisa usul kepada pemerintahan Jokowi, ada baiknya UU Penistaan dan UU ITE ditinjau ulang.

Atau bahkan dihapus saja agar ruang interaksi bebas bisa mendidik rakyat. Agar pelan-pelan bisa menggunakan bahasa puitis yang lebih baik ketika mereka sedang ado bacot lewat argumen-argumen rasional.

Jangan dikit-dikit laporan ke pak polisi atas ketidakmampuan dalam menjaga mental state yang nongkrong di bagian kepala.

Cogita tute

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.