Kolom Andi Safiah: KENAPA HARUS ARAB?

Salah rujukan, mungkin ini istilah paling pas bagi negara sebesar Indonesia, dimana jika dilihat dari karakter budayanya yang sangat beragam, harus hilang oleh satu budaya yang datang dari arab.

Budaya yang juga belum begitu dikenal apalagi dipahami, yang kita lakukan adalah sekedar melakukan ritual-ritual syariat, yang kemudian meruntuhkan ritual-ritual alamiah yang ada dalam DNA bangsa kita.

Mari kita perhatikan apa saja tradisi Arab yang masuk dan menjadi gaya hidup keseharian kita.







Pertama, cara berpakaiaan, atau fashion kita lebih cenderung bangga berpakaiaan ala Arabiah dari pada ala Indonesia yang elegant. Kepala harus ditaplakin dari pada dikondein. Bahkan lebih parah lagi wanita Indonesia lebih doyan dikarungin dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal.

Ke dua, manusia Indonesia saat ini sangat doyan mengkafir-kafirkan manusia Indonesia lain yang berbeda, terutama karena beda rujukan. Yang satu rujukannya Arab, yang satu lagi rujukannya Italiano. Yang Italiano doyan makan pizza, yang Arab doyan makan sate kambing.

Hanya karena berbeda selera makan, kita menjadi repot dan doyan mengkafir-kafirkan yang lainnya. Inilah mengapa saya mengajukan pertanyaan mengapa harus Arab? Mengapa bukan Italiano, atau sekalian kita mengadobsi budaya negara-negara Skandinavian yang lebih liberal dan humanist?

Busana Suku Karo dalam ritual mandi ramuan (penyucian diri)

Bisa jadi kita telah salah mengambil rujukan, sehingga apapun yang tidak sama dengan sang rujukan kita cap sampah dan kitalah yang layak dicap yang paling bersih diantara yang lainnya. Padahal, jika dilirik dari keragaman budaya dan bahasa yang lahir dari Bumi Indonesia, kita jauh lebih beragam dalam urusan ritual apalagi spiritual.

Kita punya candi-candi peninggalan kerajaan Hindu Buddha yang megah dengan struktur arsitektur yang sangat presisi dan kompleks. Indah dilihat mata dan sangat mengagumkan dalam jiwa kita.

Kita punya beragam baju-baju adat yang memukau mata dunia. Kita punya banyak bahasa daerah yang dialektikanya sederhana namun bermakna dalam.

Arab bagi saya hanyalah negara yang alamnya tandus. Bahkan yang tumbuh di sana hanya pohon-pohon kaktus berduri. Iklimnya ekstrim dan budayanya juga bisa dibilang tidak begitu menarik untuk dijadikan rujukan.

Lalu, mengapa harus Arab yang menjadi rujukan Indonesia? Bahkan kita begitu bangga ketika dicap sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar. Di mana kebanggaannya? Sebagai manusia Indonesia yang terlahir di Bumi Indonesia, saya justru lebih bangga disebut Indonesia dari pada sebagai Muslim.




Karena, bagi saya Muslim di mana-mana sama saja. Tapi di mana-mana Indonesia jelas berbeda. Saya bisa menjelaskan banyak hal soal Indonesia yang memang kaya akan budaya dan kaya akan kecantikan alam.

Dari Bali saja kita bisa menawarkan sesuatu yang berbeda bagi dunia. Misalkan salah satu tradisi yang tidak dimiliki oleh bangsa manapun di dunia ini adalah perayaan NYEPI. Mimpi seorang bintang film terkemuka bernama Morgan Freeman justru menghayal jika suatu saat aktivitas di planet bumi bisa dihentikan sehari saja, sehingga kita bisa menyaksikan bintang-bintang dengan mata telanjang. Di Bali, setiap tahun kita bisa menyaksikan bintang-bintang dengan mata telanjang.


Ini baru satu tradisi. Bali justru lebih berani berjalan di atas tradisinya sendiri dari pada wilayah-wilayah lain di Indonesia yang sudah keracunan Arab. Jelas saja bahwa sebagai negara Arab punya kepentingan ekonomi dan politik agar tradisi Arabisme yang mereka tawarkan lewat Islam bisa terus bertahan sampai kapan pun di Indonesia. Ini jelas sangat menguntungkan buat mereka, sementara poin of return buat Indonesia boleh dibilang sama sekali tidak ada. Selain kita akan terus menjadi budak budaya dari Arab.

Bagi saya, memerdekakan Indonesia dari penjajahan budaya lewat Islam adalah perjuangan yang perlu disuarakan, karena Identitas asli kita jelas, bahwa sebagai bangsa kita punya 3 komitmen fundamental yang tertuang dalam Sumpah Pemuda.

#Itusaja!








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.