Kolom Andi Safiah: POLITIK DAN AGAMA ADALAH SAMA

Politik dan Agama, 2 hal yang tampak berbeda namun sebenarnya sama saja.

 

Politik melahirkan fanatisme buta, agamapun begitu: Politik yang spiritnya mencerdaskan (katanya) namun faktanya orang-orang cerdas justru tidak tertarik dengan politik. Lihat saja para ilmuan yang kapasitas nalar mereka jauh melampaui para politisi, mereka justru tidak tertarik melibatkan diri dalam dunia politik dan dunia agama yang penuh dengan tipu muslihat.

Kebohongan adalah fondasi dari semua agama dan politik. Sebaik apapun anda dalam politik dan agama tetap saja akan nihil pada waktunya.

Mungkin anda akan bertanya bahwa pandangan ini adalah bentuk sinisme game over, seolah-olah sudah tidak ada harapan lagi bagi negara ini untuk bisa berdiri sejajar dengan negara-negara lain, saya kira tidak! Justu saya sedang membangun logika realistis atas apa yang sedang terjadi secara faktual di negeri ini.




Lihat saja betapa agama dan politik adalah kombinasi yang sangat pas. Mereka saling menutupi kebusukan atas nama agama dan atas nama politik. Jiwa-jiwa yang kosong menurut Presiden Joko Widodo jelas sangat tepat dan beralasan di sini.

Memang dunia politik Indonesia didominasi oleh mereka yang berpandangan picik, licik, dan penuh dengan aroma balas dendam yang tidak kunjung selesai, mereka yang berprestasi secara nyata justru dinistakan, sementara mereka yang sama sekali tidak punya prestasi dipuja-puji seperti seorang nabi, padahal dalam kaca mata “waras” nonsense.

Inilah perpaduan menarik dari jiwa yang dipenuhi oleh delusi agama, yang kemudian bermanifestasi dalam politik. Tidak heran jika kita menyaksikan wajah-wajah salto macam Fahri Hamzah, Fadli Zon, ustad-ustad goblok macam Habib Riziek, T. Zurkarnain, Aa Gym, ustad penipu macam Yusuf Mansur, dan banyak lagi ustad-ustad yang berbisnis dengan menggunakan agama sebagai umpannya.

Mereka berpolitik dengan cara yang sama sekali jauh dari apa yang pernah diperdebatkan oleh filsuf macam Aristoteles, Plato, Descartes, Thomas Paine, Hobbes, hingga Montesque, Tocqueville, bagi mereka demokrasi adalah jalan menuju keterbukaan dan kebebasan yang murni bagi seluruh umat manusia.

Dengan demokrasi species manusia bisa membangun peradaban yang lebih terbuka dan beradab, karena memang demokrasi memberikan ruang yang cukup luas bagi diskursus untuk mencari jalan terbaik dari setiap perbedaan kepentingan yang memang sudah menjadi nature alamiah manusia.

Jadi, dalam konteks ini, kita sebenarnya telah gagal membangun sebuah bangsa yang demokratis. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang demokratis berpijak di atas dasar-dasar berpikir agamais, nonsense. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang dibangun di atas common sense dan reason. Sumber utamanya adalah “The right of man” dan kita semua sama di mata hukum.

Perbedaan keyakinan, agama dan pandangan politik tidak lantas membuat kita kalap. Justru dari sana kita bisa membangun dialektika produktif sebagai bahan bakar pertumbuhan kesadaran bangsa ini. Namun, apa yang terjadi, demokrasi dibajak lagi-lagi oleh agama. Semua harus tunduk pada kehendak mereka yang mencap diri mayoritas. Padahal, jelas dalam demokrasi mayoritas itu bukan soal agama, tapi soal suara terbanyak.

Joko Widodo memenangkan kontestasi Pemilu karena dia didukung oleh suara mayoritas, bukan oleh suara Islam yang mengklaim dirinya mayoritas, tapi suara rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Setiap suara punya latar belakang yang tidak perlu diperdebatkan.

Klaim Islam adalah mayoritas bagi saya sangat bermasalah dalam konteks demokrasi. Kondisi ini perlu dijelaskan agar kesalahpahaman dalam ruang bernegara bisa segera diurai. Tujuannya simple agar ruang-ruang publik (negara) bisa diisi juga oleh manusia-manusia waras, sehingga aset-aset yang sifatnya publik bisa dinikmati oleh publik.




“Dari public, oleh public dan untuk public” inilah spirit negara yang di dalamnya hidup manusia-manusia waras, bukan “dari Tuhan oleh Tuhan dan untuk Tuhan” tapi yang menikmati hanyalah orang-orang yang mengklaim dirinya paling beriman dan paling bertakwa, padahal kerjaannya menipu dengan berbagai modus operandinya.

Jadi, kesimpulan sederhana saya adalah, tidak penting berapapun jumlah manusia macam Joko Widodo dan Ahok di negeri ini, jika prinsip dalam bernegara kita masih absurd seperti saat ini. Manusia-manusia yang dicap paling “baik” saat ini pun pada saatnya akan hilang. Untuk menghadirkan mereka dalam iklim yang penuh dengan “ilusi” ini begitu sulit, karena fondasi dari berdirinya bangsa ini bukan kejujuran, tapi kompromi di atas kebohongan yang disepakati bersama.









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.