Kolom Arif A. Aji: SECANGKIR KOPI (Antara Percaya dan Tidak Percaya)

“Aku merasa kamu orang yang tak bertuhan!” Itu kalimat terakhir iparku yang ahli kitab di sebuah warung kopi tadi.

 

Aku hanya tersenyum lalu menyulut rokokku. Setelah sekali kuhisap, aku menatapnya santai sambil berkata padanya, “Penjelasanku ini bisa jadi tidak diterima olehmu yang percaya Tuhan. Tidak pula bisa diterima oleh yang tak percaya padaNya, sebab aku menjelaskannya menurut Islam.


Tuhan atau Al Haq yang intinya adalah kebenaran. Karena kebenaran bukan materi tapi abstrak yang bermakna universal. Cendikiawan Islam pun berbeda pandangan.

Theist adalah kepercayaan. Dalam hal ini percaya pada teori atau ajaran salaf turun temurun, tanpa dinamika di dalamnya. Diperkuat dengan politisasi di dalamnya dengan hasutan tentang imbalan dari kepercayaan itu dengan ritual dan metode supaya kepercayaan itu diyakini sebagai kebenaran. Dan menciptakan kepastian ilusi dengan membunuh kesadaran diri. Tanpa berfikir yang penting percaya dan menunggu imbalan.

Atheist adalah ketidakpercayaan. Dalam kitab Ummul Barohin Milik Imam Sanusi, pakar logika Islam, kepercayaan yang hanya taqlid atau hanya ikut ikutan adalah kebohongan. Kebenaran hanya bisa dijangkau dengan tegaknya logika dari olah fikiran. Dia mengutuk kepercayaan yang hanya warisan.

Jadi, harus dengan berfikir membangkitkan logika demi menemukan kebenaran dalam diri. Material ajaran hanya buatan yang bukan kepastian. Berfikirlah dengan logika yang benar, pasti didapatkan kebenaran yang sudah pasti berbeda dengan material ajaran dalam kepercayaan.

Aku hisap lagi rokokku, dan dia bertanya lagi padaku, ” Kamu percaya apa tidak?”

Aku tertawa. Aku pernah jadi orang paling percaya. Tapi, semakin aku percaya semakin banyak pertanyaan yang arahnya membutakan nalar. Aku sangat kecewa dan jadi yang paling tidak percaya. Tapi aku sadar masih berkisar di kata kebenaran, dari percaya lalu tidak. Aku beranggapan keduanya sama. Hnya dua sisi mata uang. Aku tersadar saat aku merasa aku adalah uang itu sendiri. Yang tegak berdiri dan menyeimbangkan dua sisi itu.

Itulah proses kebenaran. Makanya aku percaya atau tidak, aku tak ambil pusing. Lebih baik aku tegakkan kemanusiaanku dengan luasnya ilmu pengetahuan. Dualisme dalam diriku bisa seimbang dan selaras dengan hukum pasti alam. Jika hanya butuh percaya untuk apa berfikir? Sia-sia saja. Jika tidak percaya gak ada gunanya mencari alasan untuk lepas dari kepercayaan.

Pembicaraan kami terdiam. Dan dia masih bermuka masam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.