Kolom Asaaro Lahagu: Grand Design Jokowi, Kasus Ahok dan Skenario Silent PKS-FPI

Sejak menjadi Presiden, Jokowi telah membuat dirinya sebagai ‘the real president’. Konsolidasi-konsolidasi strategis yang dilakukannya terarah pada penguatan posisinya. Jokowi memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin kokoh berkepala batu, kuat dan tak bisa dipengaruhi. Keputusan-keputusan kenegaraan di bidang ekonomi, hukum dan politik harus selalu searah dengan grand design atau ‘maunya’ Jokowi.





Jokowi paham benar bahwa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di republik ini, ia harus mengendalikan kawan maupun lawan politiknya. Jika ia tunduk kepada kawan dan didikte oleh lawan politiknya, maka Jokowi akan menjadi presiden badutan, boneka dan mainan. Jika demikian, maka terulang istilah negeri auto pilot di era mantan Presiden SBY.

Jelas bagi Jokowi. Ia tidak mau menjadi presiden badutan. Dengan etos kerja tinggi, karakter pemimpin yang kuat, Jokowi menunjukkan kepiawaiannya satu-dua langkah lebih maju dari prediksi kawan dan lawannya. Jika Jokowi kemudian sukses memporak-poraknda Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR, mengganti pimpinan KPK, Panglima TNI, Kapolri, Reshufle kabinet dua kali tanpa keributan berarti, maka itulah bukti aplikasi grand design-nya.

Grand design Jokowi di bidang ekonomi sangat kental sekali. Jokowi paham betul bagaimana seharusnya pemimpin bertindak. Seorang pemimpin harus berani mengambil resiko dan menggerakkan para pembantunya hingga batas kemampuan mereka. Jokowi pun akrab dengan target spektakuler bahwa sebelum tahun 2019, pembangunan infrastruktur sudah selesai.

Pembangunan gencar jalan tol, trans Sumatera, Kalimantan dan Papua, jalan tol, tol laut, kereta api, bandara, kilang minyak, PLN 35 ribu MW adalah contoh target ambisius. Jika kita mendengar minggu lalu bahwa sudah ada lebih 500 kilometer jalan baru di Kalimantan, maka itulah pencapaian spektakuler Jokowi bersama para menterinya. Pun pintu gerbang mewah memasuki wilayah Indonesia dari negeri tetangga adalah sisi lain target hebat Jokowi.

Sementara itu grand design Jokowi di bidang hukum, juga tak kalah garangnya. Jokowi terlihat terus menusuk berbagai pihak di bidang hukum. Pemberantasan Narkoba paling masif dalam sejarah republik baru dilakukan di era Jokowi. Seiring dengan itu pemberantasan  terorisme juga dilakukan amat tegas. Operasi Tinombala untuk memburu kelompok Teroris Santoso adalah contohnya. Penghancuran terorisme sampai ke akar-akarnya adalah salah satu target grand design Jokowi.

Grand design Jokowi juga  mengaum di bidang hukum. Panah Jokowi untuk mereformasi institusi  MK, MA dan kepolisian terus dilontarkan. Bripda Afifat yang kedapatan melakukan kekerasan kepada orang yang seharusnya dia lindungi, langsung dipecat. Di bawah pimpinan Tito Karnavian, untuk pertama kalinya institusi Polri menduduki urutan kelima terkorup di republik ini. Sepak terjang Jokowi yang terjun langsung memberantas Pungli adalah contoh konkrit langkah Jokowi di bidang hukum.

Grand design di bidang politik paling menyita energi Jokowi. Kemenangannya yang hanya berkisar 54% di Pilpres 2014 lalu, memberi pesan bahwa Jokowi punya lawan-lawan politik yang hampir seimbang dengan kawannya. Ada 46%  masyarakat bukan pemilihnya, termasuk Jonru Ginting, yang sangat gencar mengkritiknya di sosial media. Jelas musuh-musuh Jokowi bertebaran di mana-mana. Mereka menunggu setiap langkahnya tersandung. Nah, di sini pun Jokowi terlihat berkepala batu, terus menyetel ruas-ruas politik sesuai dengan grand design-nya. Dan itulah yang terjadi dalam kasus Ahok.

Dalam kasus Ahok misalnya, Jokowi memainkan permainan catur tingkat tinggi ala Garry Kasparov. Demo mengejutkan 411 dan 212 telah merevolusi permainan catur Jokowi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Jokowi  akhirnya mundur selangkah dan membiarkan Ahok  sebagai tersangka. Namun di sinilah permainan catur itu semakin menarik.

Rupanya dengan tersangkanya Ahok, maka mudahlah bagi Jokowi membidik dan menyerang balik lawan-lawan politiknya sampai lebaran kuda. Lawan-lawan politik Jokowi yang saya sebut sebagai begundal-begundal politik seperti Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, Rizieq Shihab, dan seterusnya, kini dibuat tak berkutik. Mereka sekarang terlihat tidak lebih hebat dari preman liar politik.

Para begundal politik di DPR juga hampir mengalami nasib yang sama. Wacana-wacana busuk hak angket penyadapan mantan Presiden SBY, hak angket Ahok yang aktif kembali sebagai gubernur, dan terakhir yang panas adalah hak angket e-KTP dibuat hangus menjadi abu karena tidak sesuai dengan grand design-nya Jokowi.

Hak-hak angket itu tidak lebih dari huru-hara dan nafsu liar para begundal politik di DPR. Lewat berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh DPR, masyarakat tidak akan percaya apapun yang dilakukan oleh DPR. Hak angket yang diwacanakan oleh DPR, tidak lebih dari upaya DPR membersihkan dirinya dengan air kubangan yang kotor. Alasannya, prestasi buruk mereka sebagai lembaga terkorup di Indonesia, membuat rakyat terus menderita. Inilah yang membuat Jokowi tertawa termehek-mehek melihat wacana hak angket DPR terkait Ahok.

Menjelang sidang Ahok ke-15, semakin terlihat bagaimana kasus itu penuh dengan intrik politik terkait Pilkada DKI Jakarta 2017. Grand design pun terus bermain di sini. Kini pada sidang Ahok ke-15, faktor keberuntungan yang menaungi Ahok datang pada waktu yang tepat. Para saksi fakta dan saksi ahli yang meringankan Ahok, akan bersaksi di sidang. Itu akan mengiringi kampanye Ahok menjelang 19 April mendatang.

Jelas lewat saksi fakta dan saksi ahli, kasus Ahok itu akan diperlihatkan dan ditelanjangi muatan politiknya. Sidang itu akan dibuat sebagai ajang mempertontonkan kerancuan dan motif  busuk para politisi busuk. Dengan demikian masyarakat akan sadar bahwa selama ini para politisi busuk telah memanfaatkan mereka demi tujuan-tujuan politiknya.

Bisa diprediksi bahwa vonis Ahok yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juni mendatang, peluang Ahok untuk bebas sudah berada pada perbandingan 60-40 persen untuk bebas. Jadi tinggal 40 persen lagi peluang Ahok di penjara. Itupun akan dilihat apakah kekuatan para kaum tidak waras masih solid atau tidak. Tentu jika Ahok menang Pilgub DKI, maka vonis Ahok ikut terpengaruh. Bisa jadi ia hanya divonis 3 bulan penjara atau bebas dari hukuman. Ini tergantung dari sisa kekuatan kaum tidak waras.

Grand design di seputar kasus Ahok pun, terus disetel Jokowi. Kedatangan Raja Salman mampu dijadikan sebagai senjata oleh Jokowi untuk melawan desas-desus dukungan Arab Saudi kepada FPI dan para khilafah di Indonesia. Lewat kedatangan Raja Salman itu, ternyata apa yang dipercaya oleh kaum khilafah, kandas tak berbekas dan tidak lebih dari mimpi di siang bolong.

Kedatangan Raja Salman itu justru membuktikan bahwa penguasa Saudi memberi teguran tak langsung kepada Partai PKS dan Ormas FPI bagaimana seharusnya Islam itu berperilaku dan beribadah. Rombongan Raja Saudi yang masuk ke Masjid dengan tetap memakai sepatu, puteri Raja Salman sendiri tidak memakai jilbab, kemudian mau bersalaman dengan Ahok, adalah pukulan telak kepada Rizieq yang tidak mau bersalaman dengan Ahok.




Pun tuduhan kepada Jokowi yang bekerja sama dengan China yang komunis, ternyata dihancur-leburkan oleh tindakan spektakuler Raja Salman yang mau berinvestasi satu triliun dollar di China. Ini jelas membungkam mereka yang hanya asal tuduh dan fitnah selama ini bahwa Jokowi dan Ahok adalah antek China. Ternyata Arab juga mau bekerja sama dengan China yang komunis. Apakah Raja Salman juga antek China yang komunis?

Militansi PKS dan FPI yang bahu membahu memenangkan Anies-Sandi di DKI dengan tujuan menguasai Jakarta seperti Jawa Barat ala Aher, jelas tidak sesuai dengan grand design Jokowi. Oleh karena itu Jokowi mulai menggerogoti kesolidan dua pihak ini. Lewat kebijakan Kementerian Informasi dan Telekomunikasi, tentara cyber PKS selama dua bulan terakhir ini berhasil dibendung.

Pemblokiran berbagai situs hoax semacam Postmetro, adalah contoh konkrit grand desin Jokowi. Pemberlakuan UU IT juga turut menggembosi kebebasan tentara cyber ala PKS dan FPI di dunia maya. Sementara itu situs terpercaya Seword, semakin di atas angin.

Laporan-laporan dari berbagai pihak yang terbakar jenggotnya akibat disemprot Seword, tidak digubris polisi. Alasannya kerja polisi menjadi lebih ringan dengan adanya Seword yang meng-counter attack berbagai situs-situs hoax yang merongrong kewibawaan pemerintah. Sejak adanya situs Seword yang beropini mendukung kerja dan etos pemerintah yang sudah benar dan sesuai dengan hati nurani, membuat situs-situs hoax semakin kerdil. Bahkan situs sekaliber berita Okezone ikut kena imbasnya. Karena ikut beropini tentang Ahok, Okezone kemudian ditegur dengan keras oleh Dewan Pers.

Huru-hara politik SARA yang dimainkan oleh pendukung Anies-Sandi terkati politik jenazah, langsung dijawab oleh GP Anshor dan Pemrov DKI Jakarta. Plt Gubernur Soemarsono langsung memerintahkan penurunan ratusan spanduk provokatif tersebut. Sementara Polisi mengancam akan memidanakan mereka yang keras kepala dan ngotot menyebarkan spanduk provokatif itu.

Kini lewat bisikan para pendukungnya, Anies mulai kehabisan akal untuk menjegal Ahok. Setelah politik jenazah kandas, maka tak ada cara lain bagi Anies-Sandi selain terus menjanjikan politik uang 3 miliar setiap RW. Politik uang pun dikampanyekan Anies termasuk semua Ormas dapat dana dari APBD DKI. Bahkan tersebar formulir dengan bayaran Rp 50 ribu asalkan berjanji memilih Anies-Sandi. Lalu pada tanggal 19 April mendatang, akan ada Tamasya Al-Maidah, pengerahan ribuan pengawal TPS dari luar Jakarta dan serangan fajar ala FPI mengerahkan warga memilih Anies.

Namun, apapun strategi lawan Ahok itu sudah dipetakan betul oleh Jokowi dan all designers di belakangnya. Jika kemudian Ahok dalam 2 minggu terakhir ini sedang melakukan kampanye silent, yakni turun langsung ke gang-gang sempit tanpa liputan media, itu adalah bentuk tandingan dari kampanye silent ala PKS dan FPI. Sementara itu new grand design Jokowi sedang disusun oleh The Designer untuk memenangkan Ahok di Pilgub DKI Jakarta.

Salah satu bentuknya yang ditunggu-tunggu adalah pengusutan salah hitung anggaran Rp. 23,3 Triliun. KPK sendiri telah melempar pernyataan bahwa kasus e-KTP adalah hanya kasus kecil. Sementara kasus besarnya adalah pengusutan salah hitung anggaran Rp. 23,3 Triliun ala Anies Baswedan yang saat itu menjadi menteri. Jelas ada grand design di bidang hukum yang akan bermain di situ.

Selain grand design di bidang hukum yang akan menggerogoti tulang-tulang Anies, Jokowi juga melakukan langkah konkrit di bidang politik. Pertemuan Jokowi-SBY  dilakukan pada waktu yang tepat adalah langkah politik yang bersifat mutualisme. Lewat pertemuan itu, maka sekarang mengalirlah dukungan para elit Demokrat kepada Ahok-Djarot yang tentu saja direstui tak resmi dari SBY.

Jelas berbaliknya dukungan SBY kepada Ahok, itu tidak lain daripada bentuk balas dendam SBY kepada kaum khilafah. SBY jelas-jelas telah dikhianati oleh FPI dengan mengalirkan suara dari Agus kepada Anies pada detik-detik terakhir menjelang Pemilu. Hal itu telah  membuat SBY sadar bahwa ia telah diperalat. Kini SBY akan mendukung Ahok (walau tidak resmi). Tujuannya adalah untuk membalas sakit hatinya kepada kaum khilafah yang telah mengkhianati dan memperalatnya.

Kini skenario silent pihak lawan Jokowi terutama di kubu Anies-Sandi, kubu PKS-Gerinda, FPI dan secara luas kubu Prabowo yang didukung oleh PAN-nya AMin Rais dan mungkin PPP Romy, sedang dipetakan oleh Jokowi. Jelas bahwa kemenangan Anies-Sandi di Jakarta adalah kemenangan kaum khilafah yang membuka pertarungan seru pada Pilpres 2019 . Di pihak lain kemenangan Ahok di Jakarta adalah kemenangan kaum nasionalis, kemenangan Jokowi dan Islam moderat yang toleran.

Jadi grand design lebih lanjut Jokowi, akhir kasus Ahok dan skenario silent PKS-FPI menjelang Pilkada 19 April mendatang, akan semakin seru dan patut terus kita cermati.





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.