PAN memainkan politik kotor. Kakinya setengah di dalam, setengah di luar. Akibatnya, PAN menjadi duri dalam daging Jokowi. Partai ini dapat untung dari Jokowi, tetapi menusuknya dari belakang. Dua kader PAN di pemerintahan Jokowi, Asman Abnur, sebagai menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Sutrisno Bachtir, Kepala Komite Ekonomi dan Industri Nasional, tak berguna jika partai mereka tak mendukung Jokowi.
Zulkifi Hasan, Ketum PAN, terbukti tidak 100% berkuasa atas PAN. Ekornya masih kadang dipegang oleh Amin Rais, sang pendiri PAN. Amin Rais memang membiarkan PAN mendukung Jokowi. Namun dukungan itu berlaku jika untung seperti dapat jatah menteri misalnya. Kalau rugi atau ada celah mencelakakan Jokowi, maka PAN melawan dan bermain di dua kaki. Itulah permainan Zulkifi Hasan yang didukung oleh Amin Rais. Permainan kotor itu bisa dilihat dalam pengesahan UU Pemilu, dimana PAN walk-out di sidang Paripurna DPR.
Amin Rais, pendiri PAN, memang sampai kiamat akan membenci Jokowi. Alasannya sederhana. Jokowi sama sekali tidak meminta nasehat Amin Rais dalam persoalan bangsa. Amin Rais merasa disepelekan oleh Jokowi dan tak digubris sama sekali. Akibatnya Amin Rais berteriak kencang dan tak segan memimpin demo menentang Jokowi.
Pengaruh Amin Rais di kalangan bumi datar, tak bisa dipandang sepele. Ketika Amin Rais turun menebeng demo di DKI menentang Ahok, hasilnya mengejutkan. Ahok sebagai Petahana, kalah telak dari Anies. Kasus Ahok terkait Al-Maidah, berhasil digoreng nan empuk oleh Amin Rais. Dalam pertarungan Pilpres 2019 mendatang, pengaruh Amin Rais beserta PAN bisa menjegal dan menggebuk Jokowi.
Dari berbagai survei, elektabilitas Jokowi walau pernah didera oleh kasus Ahok, memang masih cukup tinggi. Menurut hasil Litbang Kompas, elektabilitas Jokowi di bulan April 2019 mencapai angka 41.6% dan tingkat kepuasan publik mencapai angka 63,1%. Hasil survey SMRC, menyatakan bahwa tingkat elektabilitas Jokowi mencapai angka 53,7% sedangkan tingkat kepuasan publik mencapai angka 67%. Namun. ini hanya hitung-hitungan di atas kertas. Bisa jadi jika ada Pilpres hari ini, Jokowi bisa tumbang dari Prabowo. Mengapa?
Ada banyak faktor yang bisa menumbangkan Jokowi. Faktor kedekatannya dengan Ahok, isu PKI dan komunis, faktor aseng-asing, perbedaan pandangan partai pendukung Jokowi terkait KPK, pembubaran Ormas, utang dan isu full day school yang dipandang mengadu-domba NU-Muhammadiyah, akan menjadi air bah menyerbu Jokowi jika Pilpres dilakukan hari ini. Banyaknya masyarakat yang mudah diprovokasi dan sudah terbukti di Pilkada DKI, bisa dengan mudah dimanfaatkan untuk menjegal Jokowi. Celah inilah yang membuat PAN tidak yakin akan kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019 dan lebih memilih berdiri di dua kaki.
Melihat situasi itu, maka para ahli intelijen yang ada di belakang Jokowi bergerak cepat. Lawan-lawan Jokowi satu per satu ditaklukkan lewat pendekatan senyap. Gerak balik badan Hary Tanoe misalnya, hanyalah salah satu hasil lobi ring satu Istana. Ketika PAN berkhinat dan sangat berpotensi menjadi lawan Jokowi, orang-orang di ring satu istana mencoba melobi Demokrat. Demokrat dipandang lebih setia ketimbang PAN.
Majalah Tempo dalam laporannya edisi 7-13 Agustus 2017, mengkofirmasi bahwa menjelang pengesahan UU Pemilu Juli lalu, Partai Demokrat mengklaim telah dilobi Istana agar mendukung UU Pemilu tersebut. Imbalannya Agus Harimurti Yudhoyono ditawari masuk kabinet. Namun tawaran itu ditolak oleh SBY. Akan tetapi ketika UU Pemilu berhasil disahkan, Demokrat kembali tergiur oleh tawaran itu. Hal itu bisa dilihat dari ucapan Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin yang menilai Agus Harimurti yang biasa dipanggil AHY, cocok untuk menjadi menterinya Jokowi.
Sinyal bahwa Agus masuk calon Menteri Jokowi pada reshuffle kabinet Oktober mendatang, bukanlah isapan jempol. Kedatangan Agus di istana dan bertemu dengan Jokowi dengan kedok meminta restu atas pendirian Yudhoyono Institute adalah bentuk lobi-lobi kedua belah pihak yang semakin mencair. Bukan tidak mungkin Jokowi akan berkoalisi dengan Demokrat ke depannya. Sementara itu PAN kemungkinan besar akan ditendang keluar.
Mulai mencairnya hubungan Jokowi-SBY lewat Agus, bukan tanpa rintangan. Megawati, pada saat Peluncuran Program Pendidikan Penguatan Pendidikan Pancasila, menantang penuduh Jokowi diktator bertemu secara jantan.
“Kalau Pak Jokowi dibilang diktator, orang yang ngomong itu harus sanggup membuktikan kediktatoran Pak Jokowi,” ujar Megawati di Istana Bogor [Sabtu 12/8] sebagaimana dikutip media.
“Sekarang kan lagi dikatakan Pak Jokowi itu diktator. Nah bilang, Pak saya mau ketemu bapak sebagai Presiden. Berhadap-hadapan jantan,” tegas Megawati.
Publik paham bahwa serangan Megawati itu ditunjukkan kepada mantan Presiden SBY, musuh abadi Megawati yang mengkritik keras Jokowi. Saat bertemu Prabowo, SBY menyatakan bahwa: “Kita, kami, harus memastikan penggunaan kekuasaan oleh pengguna kekuasaan tidak melampau batas, sehingga tidak cross the line, abuse of power,” kata SBY dalam konferensi persnya di Cikeas [Kamis 27/7]. Pernyataan SBY itu bisa dimaknai bahwa kekuasaan Jokowi saat ini sudah melampau batas alias otoriter.
Namun belakangan terkuak bahwa pertemuan SBY-Prabowo itu tidak menghasilkan komitmen apapun bagi kedua belah pihak. Keduanya tak mencapai kata sepakat soal koalisi terkait dengan Pilpres 2019. Itu berarti ada celah bagi istana untuk melobi Demokrat masuk kabinet menggantikan PAN yang telah berkhianat. Sinyal ini kemudian dicium oleh Megawati dan langsung menyemprot Demokrat. Mega jelas tidak ingin Demokrat merapat kepada Jokowi karena faktor SBY yang telah mengkhianatinya pada tahun 2004 lalu. Sakit hati Megawati kepada SBY tidak akan pernah sembuh hingga kiamat tiba.
Apakah Jokowi-SBY yang ingin mengorbitkan Agus menjadi menteri bisa mengabaikan sosok seorang Megawati? Mari kita lihat manufer istana selanjutnya.