Kolom Asaaro Lahagu: SBY–PRABOWO MASUK PERANGKAP JOKOWI

Istana lupa mengingatkan Ngabalin soal SBY. Padahal manufer SBY untuk bersikap melankolis sudah benar. Ungkapan memelas SBY bahwa dia masih belum ditakdirkan berbaikan dengan Megawati, juga sudah benar. Artinya sesuai dengan skenario yang diinginkan istana.

Ngabalin memang terlalu lancang mengungkap isi kesepakatan SBY-Jokowi. Harus diakui bahwa ada missing link di tim komunikasi Presiden.

Hubungan antara Johan Budi, jubir Presiden Jokowi dengan Ngabalin terlihat kurang sreg. Ketika ada isu penting, keduanya nampak kurang koordinasi. Tak heran jika Ngabalin lebih banyak berinisiatif untuk berbicara langsung kepada pers. Sementara Johan Budi terlihat tenggelam sendiri.

Kurangnya koordinasi antara keduanya nampak ketika SBY memilih merapat kepada Prabowo. Ngabalin yang melihat manufer SBY itu, dan sudah tahu kesepakatan SBY-Jokowi sebelumnya, langsung muntah. Ngabalin kesal. Saking kesalnya, Ngabalin langsung membuka kartu SBY-Jokowi. Apa isi kartu itu? SBY-Jokowi sudah sepakat bahwa AHY akan menjadi menteri Jokowi setelah Pilpres mendatang. Imbalannya SBY bergabung dengan koalisi Jokowi.

Tentu saja SBY malu besar atas pernyataan Ngabalin itu. Itulah sebabnya SBY mengecam Ngabalin begitu keras. SBY menegur keras Ngabalin agar hati-hati kalau bicara. Kecaman SBY kepada Ngabalin itu membuat istana tersadar bahwa kode belum dikirim kepada Ngabalin.

Secara kilat kemudian, lingkar satu istana meminta Ngabalin agar meminta maaf kepada SBY. Dan memang kemudian sebagaimana publik ketahui bahwa Ngabalin meminta maaf kepada SBY. Masalah selesai. Istana bersyukur. Skenario berlanjut.

Ketika kodenya dipahami, Ngabalin kemudian manggut-manggut. Saat nama Anies-AHY menguat secara mengejutkan, istana seperti kebakaran jenggot. Skenario istana terancam gagal. Ngabalin pun ditugaskan agar kembali memframing duet Prabowo-AHY. Artinya apa? Dalam sebuah diskusi politik baru-baru ini, Ngabalin berulang kali menyebut duet Prabowo-AHY sangat cocok.

Istana memang sedapat mungkin menjadikan Prabowo sebagai lawan Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang. Nama-nama lain yang potensial dihindari. Kalau calon alternatif semacam Anies-Aher, Gatot-Anies yang dimajukan, perhitungannya belum jelas. Tetapi kalau Prabowo yang maju, perhitungannya sudah kelihatan. Artinya rekam jejak Prabowo menjadi ‘senjata’ andalan Jokowi.

Dengan membaca gelagat istana itu, maka sangat logis jika Jokowi menggagalkan diri berkoalisi dengan SBY. Sebetulnya SBY sudah berkali-kali meminta kesepakatan lebih lanjut soal posisi Demokrat dalam koalisi Jokowi. Apalagi separuh pendukung Demokrat sudah menyatakan dukungannya kepada Jokowi. Dukungan TGB di NTB, Khofifah di Jatim dan para kader Demokrat lain yang lebih memilih Jokowi, menampar keras SBY.

Taktik Jokowi menggagalkan diri berkoalisi dengan SBY, tidak lepas dari manufer PKS-PAN di kubu Prabowo. Jokowi melihat Prabowo sedang terancam gagal maju menjadi Capres karena posisinya terus-menerus dijepit oleh PKS. PKS-PAN sedang berusaha mendikte Prabowo dengan menghalanginya maju sebagai Capres. Ada keyakinan di kubu PKS-PAN bahwa hasil kompetisi Prabowo vs Jokowi jilid II akan terulang seperti tahun 2014 lalu.

Terjepitnya Prabowo terlihat semakin jelas oleh manufer Amin Rais. Untuk mengalihkan perhatian Prabowo, Amin Rais memecah ombak dengan menyatakan ingin maju sebagai Capres. Amin Rais jelas memancing di air keruh. Artinya, demi majunya Anies-Aher, Amin Rais berpura-pura nantinya menyerah. Hal yang sama juga diminta kepada Prabowo. Terkesan Amin dan Prabowo sama-sama legowo untuk tidak maju.

Nah, ini yang berbahaya. Jika Anies-Aher yang menjadi lawan Jokowi, maka hitung-hitungannya belum ada. Bukan berarti Jokowi takut kepada Anies-Aher atau Gatot-Anies, namun jauh lebih nyaman jika Prabowo yang menjadi lawannya. Ada kalkulasi berbahaya jika SBY masuk dalam koalisi Jokowi. Selain Prabowo tidak jadi maju sebagai Capres, juga Jokowi berpotensi melawan kotak kosong.

Sebetulnya ada kebingungan dalam diri Jokowi untuk mencari pasangannya. Itulah sebabnya ada gelagat Jokowi yang berupaya menggandeng calon potensial lainnya untuk Pilpres 2019. Calon-calon potensial itu dibuat seolah-olah mereka cocok menjadi Cawapres Jokowi daripada menjadi lawannya. Dengan kata lain ada strategi Jokowi untuk tidak menjadikan calon potensial lain sebagai lawan politiknya.

Untuk merusak skenario PKS-PAN, Jokowi kemudian tidak berusaha lagi bernegoisasi dengan SBY. Jokowi kemudian memasang muka masam yang seolah-olah tidak membutuhkan SBY. Bahkan secara jelas Jokowi menggagalkan diri berkoalisi dengan SBY dengan memakai nama Megawati. Hal ini agar SBY terpaksa berkoalisi dengan Prabowo. Jika SBY merapat kepada Prabowo, maka otomatis rusaklah skenario PKS-PAN.

Dan, sebagaimana publik tahu, bahwa yang terjadi memang demikian. Pertemuan kedua antara SBY-Prabowo [Senin 30/7] menghasilkan kesepakatan berkoalisi. Skenario PKS-PAN kemudian berantakan dan hancur. SBY kemudian memegang kendali koalisi.

SBY meyakinkan Prabowo agar maju sebagai Capres dan meminta AHY sebagai Cawapresnya. Namun, agar PKS-PAN bisa bergabung dengan koalisi SBY-Prabowo, SBY kemudian melempar pernyataan yang seolah-olah menyerah. SBY mengatakan bahwa soal Cawapresnya, diserahkan sepenuhnya kepada Prabowo. Nah, ini sebetulnya sebuah taktik juga.

Padahal dalam deal mereka, AHY harus sebagai Cawapres Prabowo. Jika pun keduanya kalah, maka hal itu tidak masalah. Mengapa? Majunya Prabowo-AHY sekurang-kurangnya tetap menggerek nama Partai Gerindra dan Partai Demokrat pada Pemilu legislatif 2019. Artinya, pada tahun 2024, ada harapan AHY maju lagi dengan kekuatan lebih besar.

Itulah taktik Jokowi yang menginginkan Prabowo sebagai lawan tandingnya. Untuk mencapai tujuan itu, Jokowi menggagalkan diri berkoalisi dengan SBY dan memaksanya mendukung Prabowo. Tujuannya adalah untuk menghancurkan skenario PKS-PAN.

Jika akhirnya nanti Prabowo maju sebagai Capres, maka jenderal sekelas SBY-Prabowo, masuk dalam perangkap Jokowi.

One thought on “Kolom Asaaro Lahagu: SBY–PRABOWO MASUK PERANGKAP JOKOWI

  1. Manuver dan perangkap politik.

    Menarik juga ulasan Asaaro Lahagu (Sorasirulo.com) soal perangkap elit politik negeri ini. Para elit pemimpin partai politik memang harus banyak taktik dan manuver, tidak boleh hanya diam, supaya tidak masuk perangkap lawan, dan juga usaha memancing lawan masuk kedalam perangkap sendiri sehingga bisa terjamin muncul sebagai pemenang!
    Jokowi menang pada pilpres 2014 lalu. Perangkap-perangkapannya, taktik-taktik, strategi dan manuvernya sudah berlalu, pemenangnya sudah jadi presiden. Sekarang menjelang pilpres 2019, perangkap-perangkapan, taktik/strategi manuver-manuver baru mulai lagi. Siapa yang terperangkap akan kalah, sudah jelas kayaknya, karena waktunya sudah semakin dekat. Atau siapa yang bakal menang juga sudah lebih bisa diduga, yaitu petahana Jokowi, terutama kalau dilihat dari berbagai survey yang sudah keluar hari-hari terakhir ini.

    Pihak Petahana Jokowi juga harus aktif tentunya menghadapi taktik/strategi lawan serta manuver-manuvernya yang sering berubah dan berganti menyesuaikan dengan situasi konkret didepan mata, harus juga mempelajari proses berbagai kontradiksi dilapangan, terutama dengan melihat kejadian-kejadian yang tidak disangka-sangka dihadapan mata. Salah satu contohnya ialah tiba-tiba majunya Amien Rais jadi nyapres karena dapat inspirasi dari naiknya Mahatir Muhammad (92) jadi PM di Malaysia. Ini sajapun bisa memunculkan manuver-manuver baru dikalangan elit, terutama harus melihat dan menghitung perubahan dan pergeseran kekuatan politik yang ada dibawah pengaruh kekuatan individu Amien Rais, walaupun kekuatan ini terlihat kayaknya semakin kecil tak berarti.

    Para elit ini sudah melihat dengan jelas bahwa cawapres kali ini sangat bisa menentukan menang kalah pertarungan pilpres. Dan yang lebih menarik lagi ialah siapa yang menentukan duluan, bisa jadi pedoman yang menguntungkan bagi pihak lawan. Wow . . . suatu fenomena yang sangat luar biasa yang pernah terjadi di negeri ini, karena belum pernah terjadi.

    Petahana Jokowi sepertinya sudah siap menghadapi semua kemungkinan. Kalau dari segi agama ulama-ulamaan . . . sudah ada cawapresnya. Kalau dari segi ahli . . . juga sudah ada cawapresnya. Kalau dari segi militer . . . juga sudah siap. Tinggal menunggu capres/cawapres lawan. Sampai detik ni situasinya masih begitu, saling menanti, dan kita sendiri (publik) juga ikut menantikan kejadian selanjutnya dengan penuh kesungguhan dan harapan.

    Lapol (lawan politik) Jokowi memang lebih banyak dilemanya. Prabowo dengan masa lalunya, dan punya problematik besar untuk menetapkan cawapresnya. Kalau salah pilih bisa mengakibatkan tidak ada partai lain yang mendukung. Tanpa dukungan partai lain, percuma nyapres, karena tidak memenuhi batas threshold kalau hanya sendirian (Gerindra saja).
    SBY punya problem lain, putranya AHY belum bisa maju sendiri, sementara harus nebeng dulu, betul juga memang, ‘berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’. Harapan besar masih meluap-luap terutama dari sang ayah demi putra tercinta. Problemnya, nebeng siapa dan kemana, nebeng oposisi atau pemerintah. Anies punya probelm dengan parpolnya artinya tidak punya parpol, tidak mungkin maju sendiri.

    PD/SBY bisa maju dengan menampilkan sang putra tercinta sebagai cawapres. Dan betul juga kayaknya kalau kombinasi Anies/AHY lebih menakutkan bagi petahana Jokowi. Ulasan AL (SS) masuk akal, taktik perangkap bisa dipakai disini, artinya supaya yang maju nyapres ialah Prabowo, karena statistik elektabilitasnya sudah dikenal, termasuk didalamnya kenegatifan masa lalunya. Prabowo/AHY sebagai lawan lebih ‘ideal’ he he . . walaupun barang dikali tetap masih bisa hanyut terapung.

    Dari segi internasional, lapol (lawan politik) Jokowi juga sudah semakin jelas bisa terlihat. Ini terutama kalau kita perhatikan dari usaha-usaha divide and conquer internasional selama ini, tujuan menjatuhkan pemerintahan nasionalis Jokowi. Bikin teror Thamrin misalnya, yang gagal total berkat kesiagaan dan kegigihan aparat keamanan pemerintahan Jokowi. Dan malah terorisme semakin tertelanjangi . . . ‘made in USA’ dan ‘war on terrorism is a big lie’ (prof Chossudovsky) karena tujuannya jelas menakut-nakuti dan memecah belah dengan tujuan utama NWO itu.

    Terlihat jelas seluruh dunia bahwa terorisme semakin meredup, karena semakin tertelanjangi dihadapan publik dunia. Terorisme tidak ada lagi gunanya kalau publik dunia sudah mengetahui ‘rahasia’ dibelakangnya. Inilah jasa internet, media independen seluruh dunia dan ratusan juta publik dunia ikut aktif partisipasi, mencari, menyiarkan, meluaskan informasi dan pengetahuan yang sudah ratusan tahun ditutup ketat.

    Usaha divide and conquer lainnya terlihat jelas juga, seperti gerakan pecah belah tujuan makar 411, 212, ratusan ribu akun biaya tinggi Saracen, dan lebih menggiurkan usaha memecah belah TNI, POLRI, BIN, dengan isu ‘5000 senjata’ ilegal Polri/BIN. Semua usaha divide and conquer ini berhasil ditumpas oleh aparat keamanan negara pemerintahan Jokowi.

    Kombinasi gerakan internasional dengan gerakan pertarungan politik secara nasional, adalah kombinasi yang paling membahayakan kesatuan dan kekuatan nasional. Pengalaman Indonesia 1965 bukti yang nyata dan tidak akan terlupakan, terutama karena penderitaan rakyat yang sangat tinggi dan perampokan habis-habisan SDA Indonesia. Kekuatan internasional ini melihat dengan jelas sekarang apa yang bisa dimanfaatkan untuk merongrong dan menjatuhkan kekuasaan yang ada dan yang jelas adalah kekuatan nasional sejati menjaga kepentingan nasional rakyatnya, rakyat Indonesia.

    Saling menjerat dan perangkap-perangkapan dikalangan elit politik pasti tidak akan dilewatkan begitu saja oleh kekuatan internasional tanpa memanfaatkannya. Karena itu kewaspadaan dikalangan elit yang cinta NKRI dan kewaspadaan dikalangan publik, harus selalu dijaga dan ditinggikan. Perangkap pecah belah yang berhasil ditunggangi kekuatan luar, itulah perangkap paling berbahaya. Perangkap ini sudah dipasang sejak revolusi Perancis. Perangkap divide and conquer ini paling jelas dan paling konkret bisa terlihat ialah setelah keluarnya Manifesto Partai Komunis Marx 1848. Perangkap ini bermaksud memecah dunia jadi terbelah dua. Dan kita secara konkret kejeblos kedalam perangkap itu pada tahun 1965, banyak rakyat mati dan SDA dikuras habis, triliunan dolar menguap tanpa bekas.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.