Kolom Asaaro Lahagu: Sikap Sangat Tegar Ahok dan Aksi Sumpah 112

 

Setelah menyaksikan debat final 102 dan aksi doa yang dibumbui sumpah 112, masyarakat Jakarta semakin yakin dan mantap dalam menentukan pilihannya. Publik Jakarta yang sudah waras, debat menjadi salah satu barometer untuk menentukan siapa pasangan yang paling layak memimpin Jakarta 5 tahun ke depan. Sementara aksi sumpah 112 berbau politik  terpaksa digoreng habis-habisan hingga gosong sebagai perlawanan akhir kepada Ahok.

Mendekati detik-detik pencoblosan suara, Rabu 15 Februari mendatang, gambaran dan kecenderungan pemilih semakin tampak. Masyarakat Jakarta semakin realistis untuk memilih pasangan yang programnya jelas, terukur, dan masuk akal. Maka tidak heran jika mayoritas survei menjelang pencoblosan, menempatkan Ahok unggul, disusul Anies dan  di posisi buncit, Agus.

Tentu saja yang paling menarik untuk ditelaah adalah fenomena luar biasa Ahok. Bagaimana tidak, Ahok yang terus ditarik jatuh, tidak kunjung jatuh. Ia yang diserang dari berbagai front, juga masih belum keok. Ahok yang didemo berkali-kali, juga tidak hancur. Bahkan sematan tersangka kepadanya pun tidak cukup membuatnya jatuh tak berdaya.

Keselarasan antara ucapan dan tindakan Ahok dalam segala gerak-geriknya, menjadikan serangan terhadap dirinya mental. Ahok telah mengajari publik, bagaimana seharusnya bertahan dalam setiap serangan dengan modal kejujuran, integritas dan keikhlasan untuk mewujudkan keadilan sosial.

Harus diakui bahwa kinerja luar biasa Ahok dalam membangun Jakarta telah menyihir publik Jakarta. Sosoknya yang blak-blakan, tegas dan meledak-ledak, berbanding lurus dengan etos kerjanya yang membahana. Tak sulit untuk melihat bukti-bukti kinerja Ahok itu saat ini. Jakarta di era Ahok bergerak sangat dinamis menuju kota kelas dunia.

Dalam debat, Ahok-Djarot tetap terlihat di atas angin. Pasangan ini terlihat sangat menguasai tema dan sub tema debat. Program mereka dalam membangun Jakarta masuk ke nalar dan sulit mengkiritiknya dengan logika waras. Ahok-Djarot dengan sangat mudah menangkis semua serangan dari Agus-Sulvi dan Anies-Sandiaga dengan menunjukkan bukti kerja tak terbantahkan. Inilah yang membuat banyak orang datang mendukungnya.

Dukungan yang datang dari PDIP, Golkar, Hanura dan Nasdem, Teman Ahok, kaum nasionalis, kaum beragama moderat dan berbagai kelompok masyarakat, adalah bukti daya tarik dari seorang Ahok. Ahok memang mutiara indah. Ia tetap berkilau dan memancarkan cahaya.

Setelah era Ali Sadikin yang fenomenal itu, Jakarta harus menunggu kurang lebih 40 tahun untuk mendapat kembali sosok pemimpin hebat seeperti Ahok. Tak berlebihan jika era Ahok disia-siakan, maka mungkin dalam kurun waktu 50 tahun ke depan, baru ditemukan kembali pemimpin yang keberaniannya sama.

Tak dipungkiri bahwa berbondong-bondongnya artis dalam mendukung Ahok yang termanifestasi dalam konser dua jari tanpa dibayar, dana kampanye partisipatif melebihi target dari warga, pembelian sendiri baju kotak-kotak adalah fenomena dukungan langka bagi seseorang pemimpin hebat di negeri ini. Iinilah kekuatan politik Ahok. Dukungan langka kepada pemimpin yang langka.

Lewat kejujuran, integritas dan ketulusan membangun ibu kota yang telah terbukti mengubah wajah ibu kota, maka partai-partai dan pemimpin partai di belakang Ahok-Djarot, tidak repot-repot mempromosikan Ahok. Megawati, Wiranto, Surya Paloh, Setya Novanto, Djan Faridz tidak terlihat susah payah mencari dukungan kepada Ahok.

Saya melihat orang-orang berpengaruh di belakang Ahok, santai-santai saja dan tidak jungkir-balik memperjuangkan Ahok. Bahkan para pemimpin partai ini justru ikut menebeng para popularitas Ahok. Hal berbeda dengan Agus yang didukung mati-matian dengan segala cara oleh SBY dan Anies yang diperjuangkan dengan jungkir- balik oleh Prabowo.

SBY misalnya, terlihat bersusah payah untuk mengorbitkan puteranya Agus untuk melawan Ahok.  Pada awalnya publik tercengang akan manufer SBY itu dan membayangkan Agus sebagai calon pemimpin baru yang hebat. Namun publik setelah melihat kiprah Agus, ternyata tidak nyambungan. Hal itu bisa dilihat dari 3 kali debat yang tampak menghafal, tidak fokus dengan jawaban-jawaban normatif yang cenderung mengambang. Agus-Sylvi hanya terlihat kaya data untuk menyerang incumbent namun miskin program.

Berbeda dengan Ahok, kekuatan politik Agus berada pada kharisma ayahnya SBY dan orang-orang lain yang ada di belakangnya. Para pendukung Agus adalah loyalis SBY dengan uang berjibun. Instink dan strategi SBY pada akhirnya meleset. SBY menduga, bahwa dengan memainkan isu agama dan adanya ketiban rezeki untuk mendorong Ahok diadili, maka Agus akan berpeluang besar memenangi Pilkada DKI.

Aroma busuk kriminalisasi Ahok akibat tekanan massa menjadi kartu truf SBY dan Agus serta Anies untuk meraih kemenangan. Namun lambat laun kartu truf SBY itu semakin tak berguna ketika di pengadilan Ahok semakin membuktikan dirinya tidak bersalah. Publik pun paham bahwa komporan tidak karuan SBY, yang dalam kasus Rizieq tidak berteriak sama sekali, telah memulihkan dukungan publik kepada Ahok.

Hal yang sama juga berlaku bagi Anies. Mesin partai dan dukungan finansial dari Sandiaga harus dikerahkan  untuk mengorbitkan Anies-Sandi. Program Anies-Sandiaga memang terlihat santun, idealis, menarik namun sulit dimengerti. Ketika program Anies berhadapan dengan program nyata Ahok-Djarot, maka program Anies-Sandi itu terlihat kabur dan tak jelas.

Sematan sebagai menteri yang dipecat di kabinet Jokowi jelas sulit dihapus oleh Anies. Pun Anies yang didukung oleh ormas radikal FPI, membuat warga Jakarta enggan mendukung Anies. Apalagi Anies yang juga didukung oleh partai agama PKS, maka lengkaplah sudah Anies membawa wajah agama dalam politik. Ibu kota Jakarta tidak pernah bisa dipimpin oleh gubernur yang beraliran non-nasionalis.




Menjadi hal yang menyedihkan ketika dari ketiga pasangan calon itu hanya satu yang berdiri di atas kebhinnekaan. Lebih menyedihkan lagi ketika harus dikerahkan aksi 112 untuk ditunggangi demi kepentingan politik. Lebih mengerikan lagi ketika sumpah massal dilantunkan demi meraih kekuasaan. Akan menjadi hal yang miris ketika sumpah rohani tak dikabulkan dan malah berubah menjadi sumpah serapah. Jelas aksi sumpah 112 itu adalah perlawanan akhir kepada ketegaran sangat keras Ahok.

Kini, pasca debat final, publik Jakarta semakin sadar bahwa Ahok-Djarot sangat bisa diandalkan sebagai pelaksana tugas gubernur. Ahok sudah terbukti sangat tegar untuk berjuang melayani kembali masyarakat DKI Jakarta. Ketegaran dan kehebatan kinerja Ahok telah diakui sendiri oleh Sumarsono saat menjadi Plt. Gubernur DKI. Kini Ahok telah kembali dan menjadi gubernur aktif. Cahaya ketegarannya menularkant optimisme hebat para pendukungnya.

Warga Jakarta pun kini yakin bahwa gubernur bukan pemimpin agama. Gubernur hanya jabatan pelayan publik dan tidak terkait sama sekali dengan agama apapun. Untuk itu, tidak alasan bagi publik Jakarta untuk tidak mendukung Ahok-Djarot. Ahok tetap mutiara, sosok pemimpin langka di abad digital ini. Ahok yang sangat tegar, terus memancarkan cahaya yang sulit disembunyikan sinarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.