Kolom Asaaro Lahagu: Taktik Jitu Tito dan Tamasya Al-Maidah yang Terkulai

Pukul 08:00 pagi tadi [Rabu 19/4], saya mencolos di TPS 109 Cengkareng, Jakarta Barat. Sejak Pukul 05:00 pagi atau 3 jam sebelum jadwal pencoblosan, saya diam-diam survei 2 pasar dan 3 pemukiman padat penduduk radius 5 kilometer dari rumah saya. Ada 3 masjid yang benar-benar saya perhatikan. Saya ingin memperoleh informasi sekecil apapun berkaitan Pilkada hari ini.

Sayapun mengamati sekitar masjid. Saya ingin melihat apakah ada pengerahan massa? Apakah ada provokasi lewat pengeras suara? Bagaimana wajah orang-orang di sekitar rumah padat penduduk? Apakah ada hujan sembako? Adakah hal-hal yang mencurigakan? Saya mencoba bertanya secara bisik-bisik kepada sejumlah orang yang saya pilih secara random. Ternyata apa yang ditakuti selama ini hanyalah bayangan.

Jalan, pasar, masjid dan pemukiman padat yang saya lewati, aman-aman saja. Tak ada provokasi, tak ada pengerahan massa, bahkan tak ada spanduk provokatif di sana. Wajah-wajah orang terlihat gembira, senang dan antusias karena hari ini hari libur bagi warga Jakarta. Sejumlah penduduk mencoba meluangkan waktunya ke pasar untuk berbelanja sebelum mencoblos. Beberapa penjual sengaja menutup kiosnya hanya karena urusan mencoblos.

Ketika jam menunjukkan pukul 12:00 siang, sambil mengetik di layar Smartphone, saya terus amati berita-berita pencoblosan. Kesimpulan sementara saya adalah dalam Pilkada kali ini, dimana-mana terlihat ada antusiasme warga untuk mencoblos. Warga di TPS-TPS terlihat sudah berdatangan Pukul 07.00 pagi. Situasi di sekitar TPS-TPS terlihat sangat kondusif. Kehadiran negara sungguh terasa. Di setiap TPS ada 2 tentara dan 1 polisi. Ini benar-benar pengamanan super hebat dari negara. Ketakutan, ancaman dan intimidasi dari kaum sumbu pendek tak terdengar dan terlihat sama sekali. Negara benar-benar hadir.




Tamasya Al-Maidah yang digembar-gemborkan sebelumhya wujudnya hanya sekelebat dan akhirnya terkulai. Lalu mengapa Tamasya Al-Maidah 1,3 juta itu terkulai sebelum mekar? Jelas hal itu bukan tanpa sebab. Penyebabnya adalah taktik jitu Kapolri Tito yang membuat para pemimpin Tamasya Al-Maidah mati kutu. Apa taktik jitu Tito itu?

Pertama, ketegasan Tito yang dua kali melakukan penangkapan terhadap sejumlah pemimpin demo sebelumnya. Para Koordinator Tamasya Al-Maidah tidak bisa lagi bergerak leluasa. Mereka terus dihantui oleh para intel yang terus mengikuti rapat-rapat mereka. Para pemimpin lapangan Tamasya Al-Maidah tak berani melakukan pertemuan terbuka. Ada rasa was-was dalam diri para pemimpinnya. Karena, jika salah bertindak, mereka bisa dijerat pasal-pasal pelanggaran hukum.

Dilandasi oleh kekhawatiran akan terus diawasi, koordinasi penyelenggaran Al-Maidah di lapangan mandek. Itulah sebabnya Ketua Gema Jakarta Ahmad Lufti Fathullah, selaku penyelenggara Tamasya Al-Maidah membatalkan gerakan itu. Alasannya jelas. Ahmad Lutfi ketakutan jika para pesertanya tidak terkontrol, terpancing, membuat suasana panas dan mengganggu kondisi pelaksanaan pencoblosan. Apa artinya? Artinya koordinasi mandek.

Lalu mengapa kemudian Tamasya Al-Maidah itu kembali digaungkan beberapa hari menjelang pencoblosan?

Pembatalan Tamasya Al-Maidah oleh Ahmad Lutfi, membuat internal kaum sumbu pendek berseteru. Ada yang yang setuju pembatalan dengan alasan logis namun ada pihak yang ngotot menyelenggarakannya. Ketua Panitia Tamasya Al-Maidah Ustaz Ansyuri ID Sambo tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa kegiatan Tamasya Al-Maidah jadi digelar untuk mengawal semua tempat pemungutan suara (TPS) yang jumlahnya 13 ribu. Tak tanggung-tanggung ada 100 orang yang akan menjaga satu TPS.




Lalu mengapa hari ini Tamasya Al-Maidah itu tak bergaung, tak bergigi, tidak mengglegar? Alasannya sederhana. Itu hanya gertakan belaka yang memalukan. Dengan kata lain, Tamasya Al-Maidah itu hanya perang urat syaraf semu. Tidak gampang mengerahkan 1,3 juta orang dari daerah ke Jakarta. Butuh dukungan logistik dan koordinasi tingkat tinggi untuk menyelenggarakan Tamasya Al-Maidah itu. Selain itu antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi terhadap gerakan itu sangat rendah.

Ke dua, maklumat yang dikeluarkan oleh kepolisian dan penjagaan ketat dari berbagai titik masuk ke Jakarta, membuat peserta Tamasya Al-Maidah terjepit. Pernyataan tegas dari kepolisian bahwa para peserta Tamasya Al-Maidah akan dipulangkan dan ditangkap jika membawa senjata tajam, sudah cukup membuat pesertanya ketakutan dan menjadi hilang semangatnya. Ternyata kalau aparat tegas dan all-out, kaum sumbu pendek yang koar-koarnya setinggi langit tidak lebih tong kosong yang nyaring bunyinya.

Sempat ada 10 orang yang mendatangi Masjid Istiglal di Jakarta Pusat pagi tadi, namun polisi segera mengalihkan mereka ke tempat lain. Ada juga sekelompok peserta dari Pangandaran, namun di Ciamis, polisi berhasil memulangkan mereka. Di 2 TPS di Bendungan Hilir, sejumlah peserta Tamasya Al-Maidah terlihat ngoto datang, namun semangat mereka untuk bertamasya kurang greget. Mereka hanya melihat-lihat sambil melongo menyaksikan warga Jakarta dengan gagah berani menyalurkan hak pilih mereka. Tentu saja intimidasi kepada pendukung Paslon no 2 pasti ada. Akan ada berita dan fakta yang akan menguak kebenarannya.

Ke tiga, ucapan-ucapan menohok dari para aparatur negara dan para tokoh-tokoh masyarakat membuat gaung dan gema Tamasya Al-Maidah terkulai. Panglima TNI Gatot Nurmantyo misalnya mengatakan bahwa ia rela menjadi terdakwa demi amankan Jakarta. Kalau sudah begitu ucapannya siapa berani berbuat kerusuhan dengan kedok Tamasya Al-Maidah?




Barangkali hanya kalimat inilah yang dilakukan oleh lawan-lawan Ahok termasuk Prabowo: “Hanyalah kecurangan yang bisa mengalahkan Anies. Jika Anies kalah berarti ia dicurangi”. Ah, nalar saya pun memberontak mendengar kalimat itu. Itu adalah logika jongkok yang terbalik bergelantungan nan mengerikan. Logika jongkok berikutnya yang tak kalah mengerikan: “Mari kita akhiri kegaduhan ini dengan menyingkirkan satu orang saja yang menjadi biang kegaduhan”.

Kura-kurapun berani menjawab logika itu dengan ucapan:  “Benar kawan, karena hanya satu orang itu yang lurus, adil, pekerja keras, tak mau berbagi untuk merampok. Dialah yang membuat kaum sumbu pendek terkencing-kencing di celana, dompet mereka kering-kerontang, usaha haram hangus dan aliran dana hibah macet total dan kemunafikan mereka terkuak”.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.