Kolom Bastanta P. Sembiring: TIDAK USAH ALERGI DENGAN HUTANG

Saya merasa heran belakangan ini masih ramai sekali ada kelompok masyarakat mencoba mencitrakan seakan malapetaka akan terjadi karena hutang negara saat ini. Padahal, sejak awal berdiri, negara ini sudah berhutang untuk menjalankan roda pemerintahan, ekonomi, pertahanan, infrastruktur, dsb. Itu terus berlangsung hingga saat ini. Jadi, tidak usahlah heboh kali menanggapi hutang, seakan itu hal yang baru dan masih asing bagi kita.

Padahal, panci, baju, motor, mobil, rumah, dsb juga hutang (kredit). Kenapa alergi dan takut yang berlebihan dengan hutang?!

Persepsi memang selalu dibangun, dipengaruhi dan diarahkan. Demikian juga hal hutang ini. Padahal semua kita terbiasa dengan hutang, tetapi seakan-akan saat ini kalau sudah berbicara menyentuh ranah politik, akan terjadi malapetaka karena hutang itu. Ujung-ujungnya terselip kampanye terselubung kalau pemerintah saat ini gagal karena punya hutang dan harus segera diganti.

Dua calon Presiden kita (Joko Widodo dan Prabowo Subianto) adalah pengusaha. Hal yang sangat mustahil kedua orang ini tidak terbiasa dengan hutang. Bagaimana dia membangun usaha jika tidak dengan hutang (pinjaman/kredit)? Kalau kam tidak percaya, silahkan tanya sendiri kepada mereka atau kepada pedagang dan pengusaha lainnya.

Namun, satu hal yang perlu menjadi perhatian serius, yakni, untuk apa hutang itu dipergunakan? Tidak kalah pentingnya adalah soal si pemberi hutang juga harus kita kenali, berkaitan dengan suku bunga, mekanisme bayar, dan tentu tidak terselip kepentingan lain selain soal uang dan bisnis, atau yang sangat memberatkan lainnya.

Kalau berhutang hanya untuk dibagi-bagi dan difoya-foyakan, tentu tidaklah bijak. Tetapi, jika dipergunakan untuk investasi, misalkan dalam mendirikan perusahaan baru atau membangun/ meningkatkan yang sudah ada, membangun infrastruktur, membangun generasi bangsa lewat pendidikan dan pelatihan, dsb, maka tidak ada salahnya berhutang. Karena akan menghasilkan juga di kemudian hari, sehingga hutangpun dapat dibayarkan tepat waktu.

Saya sendiri membangun usaha dari berhutang. Bayangkan. Saya sebelumnya seorang pengangguran yang tidak punya aset, orangtua pun seorang pinsiunan PNS yang hidup paspasan. Apakah saya harus memaksa mereka untuk menjual asetnya supaya saya punya modal usaha? Atau saya harus melakukan kejahatan agar dapat uang? Tentu tidak! Solusinya adalah hutang (pinjaman).

Perlu diingat! Orang yang menghargai hutangnya, tentu akan mendapatkan kepercayaan dari pemberi hutang. Contoh kecilnya, saya awal buka usaha dulu cuma dapat hutang dari Credit Union (CU) sebesar Rp 500 ribu, yang dengan cepat saya lunasi agar bisa mengajukan pinjaman lebih besar (istilahnya naik kelas). Kepercayaan itu terus saya jaga, hingga saat ini saya bisa dengan mudah ke mana saja untuk mengajukan pinjaman level puluhan hingga ratusan juta (karena masih segitu kemampuan saya).

Demikian juga dengan sales-sales kendaraan yang selalu menelepon dan menawarkan produk yang mereka anggap sesuai dengan saya. Dengan berbagai iming-iming kemudahan. Tentu karena mereka melihat prospek usaha dan riwayat saya dalam berhutang, maka mereka memiliki kepercayaan.

Sekali lagi saya katakan, jangan terlalu alergi dan anti pada hutang. Memang, perlu bijak dalam mengatur tujuan berhutang, tingkat kemampuan, dan tentunya hasil dari hutang itu harus nantinya mampu menutupi kreditnya (cicilan) beserta bunganya dan, setelah itu, memberikan keuntungan sebesar mungkin.

Banyak juga saya temui orang yang awalnya berhutang bisa membangun usaha dan kehidupan mereka menjadi lebih baik dan sejahtera. Mulai dari pedagang, petani, supir angkot, tokeh kelapa sawit, dll.  Saat kemarin pulang ke Medan, saya ketemu beberapa supir Grab yang sudah punya mobil sendiri lebih dari satu, punya rumah, dan punya usaha kecil-kecilan yang dikerjakan istrinya. Menurut pengakuannya, semua itu diperoleh melalui kredit (utang). Saya juga yakin, kalau anda-anda bahkan lebih mengenal dan lebih paham dari saya dalam hal berhutang ini.

“Kalau tidak utang, darimana bang?” kata salah satu pengendara Grab kepada saya.

Seperti itulah juga negara melalui pemerintah berhutang. Karena kita butuh dana dalam jumlah besar, agar percepatan pembangunan di negeri ini dapat berjalan baik.

Jadi, apakah anda menunggu punya uang banyak baru memulai usaha dan membangun, serta tetap alergi meminjam (berhutang)? Memang kalau punya orangtua atau kolega yang banyak uang dan sanggup menyokong dana, ya itu nasib baik anda yang perlu disyukuri.

Mejuah-juah Indonesia.

 

2 thoughts on “Kolom Bastanta P. Sembiring: TIDAK USAH ALERGI DENGAN HUTANG

  1. Uraian menarik soal utang.
    Utang negara Indonesia.
    Bandingkan dengan utang negara AS.
    Fed (perusahaan swasta) printing money dan meminjamkannya ke pemerintah AS. Ketika pemerintah AS berusaha printing money sendiri (Lincoln dan Kennedy) nasibnya menyedihkan. Jadi soal utang negara ini, AS sangat buruk nasibnya. Utangnya paling banyak kepada tukang cetak dolar. Cetak saja berapa maunya dan pinjamkan ke pemerintah AS atau pemerintah mana saja . . . ush.

    1. Untuk lebih menambah pengetahuan soal duit dan Fed
      bisa digoogle disini: “Manufactured Prosperity | Jeremiah Project”

      Antara lain ditulis:
      In violation of Article I, Section 8 of the U.S. Constitution, the Federal Reserve Act, signed into law on December 23, 1913 by President Wilson allowed a cartel of private bankers to create, buy the shares, and own the Federal Reserve System.
      The new owners of America’s treasury include the Rothschilds of London and Berlin; Lazard Brothers of Paris; Israel Moses Seif of Italy; Kuhn, Loeb and Warburg of Germany; and the Lehman Brothers, Goldman, Sachs and the Rockefeller families of New York.
      The privately owned Federal Reserve Bank was granted a monopoly for the issuance of banknotes in the USA – the Federal Reserve Note. Some people think the Federal reserve banks are United States Government institutions. They are not Government institutions. They are private credit monopolies which prey upon the people of the United States for the benefit of themselves and their foreign customers; foreign and domestic speculators and swindlers; and rich and predatory money lenders. As the Fed creates new money, it is then loaned back to the government charging interest. The government in turn levies income taxes to pay the interest on the debt. Bisa di google disini:
      “Manufactured Prosperity | Jeremiah Project”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.