Kolom Boen Syafi’i: SEKOLAH NEGERI HARUSNYA NUSANTARA — Bukan Arabisasi

Sepertinya sulit jika kembali kepada peraturan seragam sekolah yang “asli”. Sulit? Ho’oh sulit, teramat sulit. Mengingat bangsa kita ini mayoritas penduduknya sudah memasuki fase mabuk agama.

Lihat ketika ada yang lagi berulang tahun, apa yang diucapkan?

Barakallah fil umrik. Saat mengharapkan yang sakit jadi sembuh, lalu berkata “syafakillah”. Padahal kosakata Arab mereka ya itu-itu saja.

Diajak ngobrol orang Arab yang lagi cari apem brewok di Puncak, paling juga pakai Bahasa Tarzan, itupun kadang pakai X juga.

Hari-hari ini negeri kita memang lagi puber-pubernya beragama. Dari ucapan hingga aturan sekolahan semua mengacu kepada Tradisi Arab. Tidak muridnya tidak pula para gurunya. Semua sami mawon alias podo wae.

Dulu kita bisa membedakan mana yang SMP dan mana yang Mts. Mana yang SMU dan mana yang Ma. Tetapi sekarang?

Tidak ada bedanya babar blas. Tampilan seragam murid dan para guru, keduanya sama. Padahal aturan seragam tertulis tegas tidak sama dengan sekolah naungan Depag. Tetapi gimana lagi? Wong lagi puber agama.

Hal ini tidak terjadi secara ujug-ujug tiba-tiba. PKS dan SBY lah yang harus bertanggungjawab dengan kondisi sekolah negeri yang kini penuh dengan simbol Arabisasi, bukan Nusantara.

Mari kita tata ulang sekolah-sekolah negeri yang berbasis nasionalis dan budi pekerti. Sedang yang berbasis agama, lengkap pemakaian seragam yang berbasis simbol-simbol agama biarlah Depag yang melakukannya.

Atau, jika aturan sekolah negeri yang berbasis Arabisasi ini mustahil untuk dirubah kembali, maka sudah semestinya Mendikbud mendirikan sekolah negeri lagi, yang benar benar lepas dari warisan SBY.

Dirikan sekolah negeri tandingan, yang entah apa namanya. Mulai dari SD hingga jenjang SMA, yang di dalamnya terlepas dari seragam bersimbolkan agama. Hidupkan lagi mata pelajaran budi pekerti, sedang agama jadikan ekstrakulikuler saja.

Nantinya biarlah seleksi alam yang berbicara. Apakah sekolah warisan SBY dengan simbolisasi agama yang diminati, ataukah sekolah yang baru, yang berlandaskan nasionalisme dan budi pekerti yang masyarakat gandrungi?

Sekolah adalah gambaran masa depan sebuah bangsa. Dari sini, toleransi dan keberagaman diajarkan untuk diterapkan.

Jika dari sekolah saja sudah terjadi perbedaan-perbedaan, maka jangan heran jika politisasi agama dan pendukung intoleransi akan berkembang pesat di masa depan.

Seperti pepatah Arab mengatakan:

“Al samsudin fil herry wiryawan bin al bechi, wal metafakta, caful caful caful..”

Salam Jemblem Masseee..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.