“Dorr dorr dorr,” begitulah desingan peluru dari para aparat, yang membuat pendemo mahasiswa berjatuhan di Jembatan Semanggi di Tahun 1998. Suasana kala itu sangat mencekam. Demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi sebuah ketakutan, tatkala mereka dikejar-kejar oleh serdadu bersenjatakan lusinan peluru tajam di senapannya.
Melawankah mereka? Ya, hanya batu seadanya yang menjadi amunisi mereka.
Tanpa perencaan sedikitpun untuk melawan aparat, apalagi bermaksut menghabisi nyawa para serdadu yang nyatanya hanya menjalankan perintah saja. Ya, mahasiswa kala itu hanya fokus terhadap apa yang menjadi tuntutan mereka, bukannya aksi anarkhis apalagi vandalisme yang dipertontonkan.
Bagaimana mahasiswa masa kini? Antara yang dituntut dengan apa yang dilakukan terkadang tidak sinkron. Lha, masak demo menuntut kesejahteraan rakyat, namun malah disusupi oleh bendera HTI dan jargon khilafah solusinya. Kan ini sudah keblinger warbiasyah.
Seperti saat Ketua BEM UI yang memberi kartu merah ke Presiden Jokowi, yang ternyata si ketua tersebut terindikasi kuat ikut gerakan HTI. Maka tidaklah heran, jika sebagian mahasiswa masa kini hanya pintar mengkafir-kafirkan dan pintar berbuat anarkhis saja.
Fokus mereka bukan lagi aksi mencintai bangsanya. Melainkan hanya memperjuangkan kepentingan dari kelompoknya serta khilafah yang mereka cita-citakan untuk bisa menggantikan idiologi Pancasila yang Berbhineka Tunggal Ika.
Bangsad untuk mahasiswa yang seperti itu. Terutama kalian para mahasiswa di Cianjur yang tega menghabisi nyawa seorang Polisi bernama Bripka Erwin Wildani dengan membakarnya hidup-hidup, saat Almarhum sedang melakukan pekerjaannya.
Cuk untuk oknum mahasiswa di Cianjur, hukuman berat pantas kalian miliki.
Selamat jalan kawan, semoga surgalah tempatmu di sana.
Engkaulah pahlawan demokrasi yang nyata.
Salam Jemblem..