Kolom Darwono Tuan Guru: MUDIK LEBARAN vs SILATURRAHMI FITRI

Darwono Tuan GuruSungguh apresiasi setinggi-tingginya bagi saudara-saudara kita yang begitu antusias berani menanggung resiko apapun, utamanya kemacetan, melakukan perjalanan silaturrahmi ke sanak famili di daerah asalnya. Ketika di sosial media ada pihak yang mencoba mengkonfrontasi sibuk perjalanan silaturrahmi dengan fokus ibadah di sepuluh hari terahir, penuls coba luruskan persepsi mereka.

Perjalanan silaturrahmi juga merupakan ibadah, karena silaturrahmi sendiri sangat ditekankan dalam agama Islam. Apalagi jika perjalanan ini diniati untuk silaturrahmi sesuai yang diajarkan agama. Musafir silaturrahmi pun bisa menambah ibadah sepanjang perjalanan, dengan bersikap sabar, patuh aturan lalulintas, saling tolong menolong ketika ada masalah, bahkan dapat tadarus, dzikir maupun shalawatan. Ketika mata tak tahan lagi bisa diniatkan tidur yang dapat bernilai ibadah.

Jadi, menurut hemat penulis, baik yang fokus di mesjid atau menempuh perjalanan silaturrahmi sama-sama dalam rangka mengisi akhir Ramadhan.

Hanya saja, aktivitas suci perjalanan silaturrahmi itu, mengusik penulis, karena hal itu dilabelkan dengan istilah “mudik lebaran”. Ketidaksregan penulis terkait dengan esensi dari dua kata yang membentuk kata majemuk itu, yakni mudik dan lebaran.

idul fitri
Sumber: Fahdisjro

Mudik tentu saja merupakan kata benda, yang menunjukan aktivitas “menuju udik”. dengan demikian tujuan dari perjalanannya adalah udik, sedang pelakunya adalah orang udik. Dua kata udik (kata tempat) dan orang udik (pelaku) sama-sama memiliki konotasi yang kurang pas untuk saat ini. Bayangkan, aktivitas itu dapat diungkapkan dengan kata lain, orang udik kembali ke udik. Terbayang karakteristik orang udik, yang lugu, tertinggal dan “lola lolo”, yang dekil, sedang melakukan perjalanan ke tempat terpencil, tertinggal yang disebut udik.

Yang kedua, lebaran, mengandung konotasi bubaran, yang dimaksud adalah bubaran dari berbagai aktivitas ibadah ramadhan. Puasanya bubar, tadarus bubar, berinfak, shodaqoh, menjaga diri, tidak melakukan pertengkaran ataupun perkelahian, semua bubar, selesai! Apa yang dilakukan selama sebulan penuh seakan tidak berbekas, lebih khusus lagi konotasinya adalah puasanya hanya mendapatkan lapar dan dahaga.

Dengan demikian penggunaan kluster “mudik lebaran”, secara faktual sudah tidak tepat, secara ideal, tidak mencerminkan maksud suci atau hikmah dari ditetapkannya Syariah Saum Ramadhan. Coba kalau kita ganti Program Mudik Lebaran menjadi Program Silaturrahmi Fitri.




Silaturrahmi Fitri, menunjukan bahwa aktivitas itu dalam rangkan perjalanan suci menyambung tali silaturrahmi, dengan seabrek hikmah dan manfaatnya (baca tulisan kami Indonesia bersilaturrahmi dan bershodaqoh) yang dilakukan oleh manusia-manusia yang berkarakter kembali ke fitri, pada momen Hari Raya Idul Fithri. Karakteristik kembali ke fithroh ini terkait dengan SUKSES nya pelaku perjalanan itu dalam melaksanakan puasa yang benar. Yang telah menjalankan puasa dengan landasan yang benar yakni imanan wah tisaban. Shoimin yang dapat menjalankan puasa secara demikian, mereka akan mendapat ampunan dosa-dosa sebelumnya sehingga laksana bayi yang masih suci, masih fithrah.

Berdasar uraian di atas, sebaiknya sesama kaum muslimin tidak menggunakan istilah “Program mudik lebaran” tetapi gunakanlah istilah “Program Silaturahmi Fithri”, yakni perjalanan yang bertujuan menjalin tali silaturrahmi, pada hari dimana kita kembali ke fithrah kita, aidul fitri.

Semoga bermanfaat.








One thought on “Kolom Darwono Tuan Guru: MUDIK LEBARAN vs SILATURRAHMI FITRI

  1. Istilah ‘mudik’ memang lebih populer. Asalnya juga melukiskan keadaan sesungguhnya, ketika urbanisasi tahun 70-80an ke kota besar termasuka sangat populer ke Jakarta ibu kota RI itu. Ketika hari raya tiba, orang-orang udik ini yang sudah kangen akan kampung halaman dan sanak saudara, terutama orang tuanya, mudik dalam arti kata sebenarnya, kembali ke udik, karena memang dari udik (urbanisasi). Bagi penduduk asli Jakarta tentu tak perlu mudik, tetapi silaturhmi saja diantara keluarga di Jakarta atau kota besar lainnya. Ketika munculnya istilah ‘mudik’ ini pastilah ada juga disitu arti ‘ejekan’ sedikit kepada orang-orang udik itu. Siapa yang tak senang mengejek orang udik atau pakai istilah udik, seperti Jokowi juga ‘ndeso’ atau ‘ngudik’ hehehe . . .
    Tetapi betul sungguh memang nasihat penulis untuk mengarahkan kembali arti ‘suci’ dari ‘mudik’ itu. Arti ‘suci’nya itulah yang sudah banyak tak dihiraukan oleh penduduk negeri ini, dan perlu selalu diingatkan kembali seperti yang dilakukan penulis ini. Yang masih terus diingat dan melekat dikepala orang terutama pejabat korup ialah KORUPSINYA.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.