Kolom Eko Kuntadhi: AHOK MEMBACA AL QURAN

“Di sini gua juga hampir khatam baca Al Quran loh. Gua kan SD sama SMP di sekolah Islam, jadi gua inget-inget dikitlah,” kata Ahok, kepada Ignatius Haryanto, ketika 10 orang penulis berkesempatan menjenguknya.

Menurut Ahok, dia mendapatkan Al Quran dari seorang ibu. Sayang dia tidak menceritakan lebih detil ibu yang memberikannya kitab suci tersebut.

“Nah gua baca juga tuh surat Al Maidah, bagus isinya,” kata Ahok, meneruskan.

Saat saya membaca kisah ini, saya teringat masjid KH Hasyim Asyari yang pembangunanya digagas Ahok. Kebetulan saya pernah menikmati sejuknya masjid megah di Jakarta Barat tersebut. Saya juga teringat masjid di Balai Kota hasil peninggalan Ahok.

Fikiran saya juga melayang kepada ratusan marbot masjid yang mendapat jatah umroh. Juga orang-orang yang setiap pagi memenuhi pelataran Balaikota untuk mengadukan masalahnya. Sebagian besar mereka adalah beragama Islam, mengadukan masalahnya kepada seorang Gubernurnya.




Ahok, mantan Gubernur berdarah Tionghoa dan beragama Kristen itu mengisi waktu luangnya dengan mereguk keindahan asma Tuhan. Dia membaca Alquran, menikmati keindahan bahasa dan hikmah di dalamnya. Tanpa harus menukar keyakinannya.

Sebab kitab-kitab suci itu sejatinya memang hadir untuk mereka yang berfikir. Manusia-manusia yang jiwanya terbuka untuk menerima kebaikan dan keindahan kalam Tuhan.

Lelaki yang dipenjara karena dianggap terpeleset perkataannya tentang Alquran kini mencoba menjelajahi makna-makna dalam setiap ayat. Dia tahu, meskipun karena kepentingan politik dia ditelikung dengan mengatasnamakan kitab suci, tapi kitab suci adalah kitab suci. Kitab yang mengejawantahkan sabda Tuhan untuk manusia.



Hanya saja, ada manusia yang menggunakan kitab suci untuk memetik keuntungan sendiri. Kitab suci yang mahaluas dan mahaagung itu, ditekuk hanya sebatas pemahamannya saja. Pada akhirnya fikiran dan pemahamannya itulah yang dianggap lebih suci dan kitab suci.

Inilah yang sering kita dengar dari jargon kembali kepada Alquran dan hadist. Padahal jargon itu bisa diselewengkan menjadi hanya merujuk kepada pemahaman mereka saja mengenai Alquran dan hadist. Bukan kembali kepada Alquran dan hadist sebagaimana aslinya. Ujungnya kembali pada keinginannya saja.

Mereka mengangungkan tafsirnya terhadap kitab suci. Mereka menekuk kemahaluasan firman Tuhan hanya sebatas pengertiannya yang terbatas. Sebab saat mendekati kitab suci, ada perasaan bahwa pemahaman sayalah yang paling benar. Keyakinan sayalah yang paling unggul. Seperti ada perasaan tinggi hati ketika mendekati firman Tuhan.

Jika semua orang memiliki perasaan seperti itu, apakah mungkin seorang penganut Kristen taat seperti Ahok, mau membaca kitab suci agama lain?

Saya membayangkan Ahok membaca Alquran dengan pikiran yang terbuka. Dengan bathin yang siap menerima hujan hikmah. Perasaan yang sama dialami ketika dia membaca Alkitab. Dengan rasa hormat yang sama. Dengan ketakjuban yang sama.

Sebab bahasa-bahasa langit itu hanya bisa dinikmati oleh jiwa-jiwa yang merekah. Oleh hati yang jembar dan perasaan yang lapang.

Di Mako Brimob, dalam kesehariannya Ahok hampir khatam membaca Alquran. Dia bebas menjelajahi ayat demi ayat dari setiap firman Tuhan. Ikut menikmati hikmah sebagaimana layaknya kebanyakan kaum muslim. Dia tahu, bukan karena kesalahannya menyebutkan ayat Alquran yang menyebabkan dia mendekam di penjara sekarang. Respeknya pada kitab suci, tidak akan pernah pudar. Hanya karena kepicikan politik saja, yang membuat dia ‘nyantri’ di ruang tahanan Mako Brimob.

Pencapaian kebeningan hati memang harus dimulai dengan kerendahatian. Sebab, tidak mungkin orang yang sombong mau menjelajah hikmah dari kitab suci orang lain. Dia bisa menikmati keindahan firman Tuhan tanpa harus menukar keimanannya.

Kata Jalaluddin Rumi, “hanya hati yang dipenuhi cinta yang dapat menjangkau langit tertinggi.”








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.