Kolom Eko Kuntadhi: AYO JOGJA, KITA PERANG MELAWAN KLITIH!

Saya kaget membaca berita tentang seorang anak, usia SMU, tewas disabet senjata tajam pada tengah malam di Jogja. Pelakunya adalah segerombolan anak kecil juga. Remaja SMU. Usia pelakunya sekitar 14-15 tahun.

Nama korbannya adalah Daffa, pelajar SMU Muhamadiyah 2 Jogjakarta.

Jadi ceritanya Daffa subuh itu mau cari lauk buat sahur. Ia naik motor bersama beberapa temannya. Di jalan bertemu dengan kelompok anak lain yang juga mengendarai motor.

Entah kenapa, kelompok yang ditemui ini memancing Daffa dan teman-temannya untuk membututi. Sampai di sebuah jalan sepi. Anak-anak itu turun, menunggu kelompok Daffa mendekat. Lantas : Streeettt!

Sebilah gir sepeda yang ditajamkan menebas wajah Daffa. Kepalanya luka. Wajahnya remuk. Darah bercucuran subuh itu. Dan nyawa Daffa tidak bisa lagi ditolong.

Apa motif pembunuhan itu? Tidak jelas. Tidak ada satu bendapun milik korban yang diambil. Artinya, pembunuhnya tidak punya motif ekonomi.

Apakah bermotif dendam? Tidak juga. Dari penelusuran, Daffa baru saja malam itu bertemu dengan algojo yang membantainya.

Perang antar genk? Kayaknya gak. Antara korban dan pelaku baru saja berjumpa di jalan itu. Dan mereka tidak sedang berkelahi.

Lalu apa motif pembunuhnya? Nah, ini yang membingungkan. Ternyata gak bermotif apa-apa. Mungkin hanya iseng. Mengisi waktu luang. Lalu crash! Matilah Daffa.

Betapa mengerikan gambaran ini. Ada sekelompok anak iseng di malam hari dengan mencari korban secara acak di jalanan. Untuk dibacok. Dikepruk kepalanya. Disabet clurit. Atau ditimpa batu ketika korbannya sudah terperosok.

Begitu saja. Tanpa babibu.

Warga Jogja menamai fenomena ini dengan istilah Klitih. Kata klitih diambil dari istilahan Bahasa Jawa Klitah-Klitih yang artinya sekadar iseng atau sekadar mengisi waktu luang. Nah, fenomena anak-anak muda Jogja psikopat sebagai pembantai di jalanan ini lalu dinamai Klitih.

Cara warga Jogja menamai dengan istilah Klitih saja ini sudah menunjukan betapa mengerikan fenomena ini.

Bayangkan. Satu tindakan biadab yang memakan banyak korban. Bahkan sampai korban jiwa. Pelakunya adalah anak-anak tanggung bersenjatakan clurit, parang, gir sepeda yang ditajamkan.

Lalu hanya distempel dengan kata Klitih, dianggap sekadar iseng, sekadar mengisi waktu luang.

Mendengar Klitih orang yang memahami Bahasa Jawa mungkin akan membayangkan kayak anak sedang membaca komik atau main game online. Atau main petak umpet dan gobak sodor.

Tapi permainan anak-anak ini agak beda sedikit. Bedanya mereka menyabet orang dengan clurit atau parang. Darah yang mancur darah beneran. Teriakan kesakitan korban, teriakan real. Nyawa korban, nyawa seorang anak yang punya orangtua.

Tapi terjadi begitu saja. Cuma iseng.

Membaca kasus ini, ketika saya mendengar kata Klitih, justru di kepala saya gemanya jadi lebih seram dari garong, begal, rampok, bahkan lebih mengerikan dari teroris. Garong sampai teroris berlaku sadis karena punya tujuan. Punya motif. Baik ekonomi maupun ideologi.

Tapi ini, anak-anak di bawah umur, berbuat sadis karena iseng? Korbannya random. Siapa saja yang ditemui di jalan.

Bukankah dari pilihan kata kata itu saja perlu menjadi perhatian bahwa betapa seriusnya fenomena ini.

Pantas saja karena kengerian dari istilah ini para pemangku kepentingan di Jogja, mulai dari Gubernur yang juga Sultan Jogja sampai aparat kepolisian mengimbau masyarakat tidak menggunakan istilah Klitih.

Sultan Jogja juga beberapa waktu lalu sempat mengimbau masyarakat jangan membesar-besarkan kasus Klitih ini. Bupati Sleman bahkan sampai mengatakan Klitih itu adalah sejenis kreatifitas anak-anak muda yang salah arah.

Baru belakangan Sultan meminta apparat menindak tegas pelaku Klitih. Ketika korban jiwa mulai berjatuhan lagi.

Kayaknya sikap menyangkal dari para pemimpin ini harus mulai dikurangi. Jujur saja bahwa kini ada fenomena mengerikan yang terjadi di kota gudeg itu. Dan hal ini perlu ditangani serius.

Saya menangkap keseriusan soal ini. Ketika saya menuliskan di akun medsos saya, ternyata banyak testimoni dari warga Jogja yang saya dapatkan.

Apa yang mengisahkan pernah hampir jadi korban Klitih, alhamdulillah dia lolos dari kejaran anak-anak itu. Ada yang berkisah temannya meninggal, tapi bukan langsung dibunuh oleh kelompok anak-anak ini.

Temannya menghindari sabetan pedang, lalu memacu motornya karena ketakutan. Akibatnya menabrak batu besar dan akhirnya tewas.

Ada yang pernah jadi korban dan sampai sekarang luka di pahanya belum pulih benar.

Orang-orang tua dari luar kota yang anaknya sekolah atau kuliah di Jogja, kini bertambah khawatir. Mereka bukan hanya khawatir anaknya ikut pengajian HTI dan terjerembab ke jurang radikalisme. Kini juga khawatir anaknya jadi korban kekerasan jalanan.

Jogjakarta dari kota yang adem dan berbudaya ini, kini berubah menjadi kota dengan ‘jam malam’ partikelir akibat ulah segerombolan anak beringas.

Sudah banyak korban akibat Klitih ini. Semua orang di Jogja harus tegas. Ada yang meninggal dunia. Ada yang luka parah sampai sekarang masih trauma hidupnya. Dan seluruh warga Jogja seperti tinggal di kota Zombie. Sangat mengerikan.

Yang perlu dilakukan adalah tindakan nyata. Pertama, cari pimpinan dari geng-geng anak-anak muda itu. Bukan hanya menindak pelakunya. Cokok pimpinannya atau orang yang berpengaruh di kalangan mereka.

Ke dua, penetrasi organisasinya. Anak-anak muda itu tergabung dalam kelompok-kelompok kecil atau geng. Telusuri gengnya dan lakukan penanganan terhadap organisasi tersebut secara serius.

Ke tiga, satukan masyarakat Joga untuk menangani fenomena ini. Aktifkan kembali keamanan masyarakat menyeluruh.

Dan yang gak kalah penting, lakukan pembinaan serius kepada anak-anak muda Jogja. Jangan biarkan mereka mencari jatidiri pada kelompok-kelompok beringas itu.

Jika saya amati pelakunya, wajahnya masih polos-polos. Lemak bayi belum seluruhnya luruh dari wajahnya. Tapi, ketika mereka bersatu dalam kelompoknya mereka menjadi luar biasa keji. Agresifitas komunal membuat mereka berubah.

Dari anak manis kini menjadi monster.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.