Kolom Eko Kuntadhi: BERJUANG SAMPAI TITIK MALU PENGHABISAN

Setelah kedok hoaxnya atas kasus Ratna Sarumpaet dibuka ke publik, para pendukung Mr. P mengalihkan tembakan ke pertemuan IMF-World Bank yang akan diselenggarakan di Bali. Mereka menuntut pertemuan kelas dunia tersebut dibatalkan. Dibatalkan? Mereka pikir pertemuan IMF-WB ini kayak arisan emak-emak?

Serangan ini lebih terkesan untuk menutupi malu ketimbang sebagai kritik sehat.

Apa yang mereka tuntut? Biaya pertemuan tersebut Rp 885 miliar. Kata mereka cuma buang-buang duit doang. Apalagi Lombok dan Bali baru saja terkena bencana. Disusul Palu dan Donggala.

Iya, anggaran yang disiapkan pemerintah untuk perhelatan tersebut memang Rp 885 miliar. Biayanya untuk vanue, penyelenggaraan, promosi acara sampai keamanan. Sementara penginapan, makan, hotel, transportasi seluruh peserta ditanggung masing-masing.

Artinya, duit itu bukan buat mengongkosi orang asing beraktifitas di Indonesia. Tapi sebagai tuan rumah, kita perlu melayani menyiapkan diri dengan baik.

Anggaran yang keluar dari pemerintah juga akan berputar di Indonesia. Bukan terbang ke luar negeri. Secara ekonomi dari anggaran itu saja sudah memberikan dampak bagi rakyat.

Belum lagi pengeluaran yang akan dibawa oleh 32 ribu delegasi dari 189 negara. Mulai dari kepala negara, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Sentral sedunia, pengusaha kelas kakap, sampai eksekutif perusahaan semua tumplek.

Kalau orang jenis VVIP yang datang, jangan disamain sama liburan kelas kambing. Yang tidurnya di mushollah dan numpang mandi di toilet mall. Tapi sibuk selfie-selfie di depan Hard Rock Hotel, buat diupload di FB.

Kalau kelas VVIP yang datang, gak cukup sewa satu kamar hotel. Biasanya mereka datang dengan asisten, sekretaris, atau ajudan. Coba hitung saja berapa biaya nginap, makan, transportasi, hiburan plus beli oleh-oleh. Semua duit itu dibawa mereka dari luar negeri, untuk dibelanjakan di sini. Yang akan menikmati, ya, Pak Made yang buka toko Souvenir di Kuta. Atau Sugiono, yang membuka bisnis rental mobil di Legian.

Hitungan kasar, diperkirakan duit yang akan dibelanjakan peserta bisa mencapai Rp 1,5 triliun. Sedangkan duit untuk perhelatan yang disiapkan pemerintah Rp 885 miliar. Itu juga baru kepakai separuh lebih sedikit. Yang harus diingat, semua duit itu berputar di Indonesia. Dampaknya, ya, buat rakyat Indonesia juga. Minimal buat masyarakat Bali.

Dari event ini saja ekonomi Bali menggeliat luar biasa. Pertumbuhan yang tadinya 5,9% langsung melonjak jadi 6,5%. Bukan hanya Bali. Masyarakat lain juga kecipratan. Ekonomi di Bayuwangi juga meningkat. Bahkan Lombok yang habis terkena gempa juga akan terbantu. Paket wisata menuju ke Mandalika atau Gili Trawangan dan Gili Air diserbu peserta.

Sebagian peserta akan menghabiskan sisa waktunya untuk berwisata. Mereka menyebar ke Lombok, Sumatera Utara, Jogjakarta, Labuan Bajo, sampai Raja Ampat. Di sana gak mungkin mereka cuma bengong doang. Pasti belanja belanji. Pasti keluarkan duit. Siapa yang akan mendapat duitnya? Ya, rakyat Indonesia!

Ketika Singapura mengadakan event serupa pada 2006, dampak langsung yang dibawa peserta kepada ekonomi Singapura mencapai 170 juta dolar AS. Padahal dari sisi peserta pertemuan di Singapura jauh lebih sedikit dibanding dengan IMF-WB Meeting di Indonesia. Dalam sejarahnya, pertemuan ini merupakan yang terbesar. Bahkan jauh lebih besar dari pertemuan di Davos.

Kita belum bicara dampak gak langsungnya. Ingat. Di sana berkumpul puluhan ribu petinggi perusahaan kelas dunia. Akan ada ribuan peluang kerjasama bisa dihasilkan. Kesempatan ini membuka peluang untuk dimanfaatkan pengusaha Indonesia.

Belum lagi kesempatan pemerintah Indonesia mengundang investor asing masuk. Pemerintah bisa menjadikan ajang ini sebagai promosi menawarkan keuntungan ekonomis. Nah, para investor asing itu akan gelontorkan duitnya, bikin pabrik, ikut membangun infrastruktur, bikin usaha. Membuka lapangan kerja. Duit berputar di Indonesia. Pajak masuk.

Tapi ada status twitter yang ditulis Hasan Haikal, yang menuntut acara tersebut dibatalkan karena hanya berisi canda, tawa, pesta.

Lho, acara meeting IMF-WB disamain dengan pesta ulang tahun ABG? Dia pikir bule-bule yang datang ke Bali untuk acara ini sekelas bule gembel di Jl. Jaksa (Jakarta)? Kayanya ustad ini butuh paket data, biar lebih terbuka isi kepalanya.

Kalau seorang Hasan Haikal yang ngomong ngelantur, kayaknya kita maklum. Ekonomi bukan bidang dia. Tapi ada juga ekonom seperti Rizal Ramli yang minta pertemuan ini dibatalkan. Mungkin karena dia harus menutup malu sudah ikut-ikutan menebar hoax Ratna Saumpaet. Hingga terpaksa pakai jurus dewa mabuk.

Yang paling aneh adalah, para pengkritik itu membenturkan acara ini dengan kondisi gempa di Palu dan Donggala. Mereka yang kemarin mengabaikan korban gempa tapi malah asyik menyebar hoax, sekarang bicara soal korban gempa?

“Kalau malu gak ketulungan, mending wajahnya dioperasi plastik aja ketimbang malah nyinyir,” ujar Abu Kumkum. Saya setuju.

Yang gak mereka hitung, satu-satunya jalan untuk memulihkan kondisi pasca gempa adalah aktivitas ekonomi harus kembali normal. Korban gempa tidak mungkin pulih hanya dengan bantuan. Kehidupan mereka akan bangkit apabila ekonomi mereka berputar kembali.

Nah, pertemuan ini juga bisa mendorong investor asing untuk menanamkan modalnya membangun kembali Palu dan Donggala. Memulihkan ekonomi yang sempat hancur akibat bencana.

Jadi justru di saat inilah pertemuan IMF-WB itu sangat berarti bagi Indonesia. Tapi, kenapa malah diminta batal? Aneh.

“Ingat slogan mereka, mas. Berjuang sampai titik malu penghabisan,” ujar Abu Kumkum lagi.

Husss…



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.