Kolom Eko Kuntadhi: FILM PROPAGANDA

Pernah nonton film Rambo? Saya rasa Anda kenal dengan aktor laga Sylvester Stallone yang sendirian mengobrak-abrik pasukan musuh. Di tengah hutan tropis Vietnam, Rambo berperang dengan dada telanjang, seperti mau lomba binaraga. Dia tidak kuatir digigit nyamuk. Kulitnya mungkin kebal dengan semak berduri khas hutan tropis.

Dia ditembaki, diserang oleh segerombolan musuh, ditangkap, tapi gak mati-mati. Sepertinya jika memang ada prajurit seperti itu, dia sakti mandraguna. Sekali kaplok, tentara Vietnam semaput.

Kabarnya film ini sangat disukai Ronald Reagan, Presiden AS yang berkuasa pada saat Rambo diproduksi. Reagan berkepentingan untuk membangkitkan kebanggaan rakyat terhadap AS. Jangan heran jika dibuatlah sekuel Rambo berikutnya.




Tapi apakah film ini menggambarkan kenyataan? Gak juga. AS keok di Vietnam. Mereka menarik pasukan karena banyak menderita kekalahan. Tapi, yang namanya propaganda harus terus disebarkan agar rakyat AS bisa melupakan kepahitan kekalahan mereka di negeri kecil Asia itu.

Atau kamu pernah nonton film Cowboy gaya lama. Dalam film itu digambarkan suku Indian adalah musuh yang suka menyerang dan merampok penduduk kulit putih. Padahal kenyataanya, suku Indian adalah penduduk asli Benua Amerika.

Justru orang kulit putihlah yang datang mengambil paksa tanah-tanah suku Indian. Mereka menguasai padang rumput luas dimana suku-suku Indian menjadikannya untuk lokasi berburu dan mencari penghidupan.

Jika orang Indian berburu untuk konsumsi mereka hari ini dan sisa binatang buruan lainnya dibiarkan liar begitu saja. Tidak demikian dengan bangsa kulit putih. Kalau mereka berburu, mereka kenal konsep menabung dan jual beli.

Mereka juga berburu untuk dijual, baik kulit maupun dagingnya. Akibatnya sekali perburuan tidak cukup satu-dua ekor. Mereka membantai binatang buruan sebanyak-banyaknya. Alam tidak terjadi keseimbangannya.

Novel petualangan Old Shaterhand karangan Karl May lebih objektif melihat persoalan ini. Dengan tokoh Winnetou, sang kepala suku, menceritakan bangsa kulit merah yang saat itu menjelang kepunahan.

Tapi sebagian besar mengenal AS dari film Cowboy dulu. Barangkali sampai sekarang propaganda bahwa suku Indian adalah penjahat dan bangsa kulit putih adalah jagoan masih tersisa di benak kita.

Film memang bisa jadi semacam ajang propaganda yang sadis. Dalam film tidak penting sebuah kejadian itu fiksi atau berdasarkan data sejarah. Publik akan memamah biak dengan suka rela. Jangan heran jika setiap rezim membutuhkan film sebagai jargon untuk kampanye.

Orde baru juga punya film propaganda, salah satunya adalah Penghianatan G-30-S/PKI. Film ini adalah penggambaran tragedi 1965 dengan versi penguasa Orba pada saat itu. Banyak ahli sejarah memaparkan keadaan yang berbeda dari yang dilukiskan film tersebut.

Dalam film tersebut memang sangat kental penggambaran nuansa heroik Angkatan Darat. Jangan heran jika pihak Angkatan Udara RI, kabarnya pernah meminta film itu tidak lagi diputar karena merugikan image mereka.




Orba sudah tumbang. Sebetulnya sejarah bisa kembali dikuak. Banyak buku yang menggambarkan kondisi pergolakan 1965 dan 1966 dengan lebih objektif. Pada beberapa kejadian malah bertolak belakang dengan isi film tersebut.

Bagi saya, film G-30-S-PKI ya seperti film Rambo atau film-film Cowboy jaman dulu. Atau seperti kisah Annabelle dan Tom and Jerry. Cukuplah ditonton sebagai hiburan. Bahkan karena berangkat dari kisah nyata, kita perlu menyaksikannya dengan kritis.

Sebagai referensi sejarah untuk memahami periode kelam bangsa ini, tentu saja isi film itu amat sangat tidak cukup.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.