Kolom Eko Kuntadhi: GUNTING PITA AHY

Sebuah pidato. Dari ketua umum Partai Demokrat. Isinya menggelegar. Tentang gunting pita. Kata Mas AHY, Presiden Jokowi tinggal gunting pita. 70% sampai 80% proyek yang diresmikan oleh Jokowi dibangun pada zaman Pak SBY. Gunting pita. Lalu tepuk tangan. Dan klaim. Begitu mungkin maksud AHY. Benarkah?

Sebagian mungkin benar.

Pemerintahan saat ini adalah kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Jadi, banyak proyek yang dikerjakan pemerintahan sebelumnya, otomatis akan dikerjakan pemerintahan berikutnya. Syukur-syukur bisa diselesaikan.

Indonesia tidak mungkin bisa dipotong-potong hanya masa 10 tahunan. Atau masa seorang Presiden berkuasa saja. Seolah satu potongan milik si A, potongan lain prestasi si B. Dan kita menilai keberhasilan hanya melihat satu potongan waktu saja.

Bahwa ada yang dikerjakan di jaman Pak SBY, tentu saja ada. Begitupun Pak SBY juga melanjutkan pemerintahan Bu Mega. Bu Mega melanjutkan Gus Dur. Gus Dur melanjutkan Pak Habibie. Habibie melanjutkan Soeharto. Suharto meneruskan apa yang sudah dijalankan Bung Karno.

Meski pemerintah berganti, tetap saja pemerintahan berikutnya adalah kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya.

Bukan hanya pembangunan yang dilanjutkan. Juga beban. Misalnya utang negara. Jika pemerintahan zaman SBY berhutang, mau gak mau bebannya akan dipikul penerusnya.

Kemarin baru saja ada keputusan pengadilan di Sumbar. Pemerintah Indonesia harus membayar utang pada salah seorang warga yang meminjamkan uang pada negara sebesar Rp83 ribu rupiah pada tahun 1950.

Utang itu harus dibayarkan saat ini sejumlah Rp60 miliar. Mungkin dihitung dengan nilai uang dan bunga. Artinya secara hukum Pemerintah Indonesia, siapapun Presidennya, tetap badan hukum yang sama. Entitas yang sama.

Meski begitu setiap periode kepemimpinan punya kecenderungan atau gaya sendiri. Jika ingin membandingkan gaya SBY dan Jokowi, misalnya, saya lebih melihat pada efektifitas kepemimpinan.

SBY cenderung mengambil sikap politik permisif. Ia berusaha menjaga harmoni. Semua kepentingan politik ditampung demi harmoni tersebut. Bahkan kelompok-kelompok intoleran dibiarkan tumbuh. Semuanya demi harmoni.

Waktu itu, bahkan kampanye khilafah difasilitasi siaran langsung di TVRI. Persekusi pada jemaah Ahmadiyah dan Syiah terjadi secara telanjang. Sweeping yang dikakukan para laskar sering kita dengar.

Menjaga harmoni yang berlebihan, bisa terjebak pada pembiaran. Maka pada jaman itu kita menyaksikan banyak kekuatan politik yang berada di kubu pemerintah memanfaatkan posisi untuk mengeruk kapital dari berbagai proyek.

Di sektor minyak, selain kucuran subsidi gila-gilaan, SBY tetap memmbiarkan Petral menguasai impor minyak. Dolar bergelimpangan memgisi kocek para petinggi politik yang berkelindan dengan mafia.

Kasus Mega Proyek Hambalang. Kasus Impor daging sapi. Kasus korupsi cetak Alquran. Atau kasus-kasus sejenis yang melibatkan menteri atau petinggi Parpol.

Sementara rakyat dimanjakan dengan subsidi BBM yang memberatkan keuangan negara. Bayangkan dalam satu tahun, ada sekitar Rp300 triliun uang yang digelontorkan untuk subsidi BBM.

Pada zaman SBY sebetulnya Indonesia dapat durian runtuh dari batubara. Devisa kita lumayan karena harga batubara melonjak. Tapi, ya itu. Alokasi devisa kita gak maksimal. Cara menjaga harmoni politik lebih terkesan sebagai cara jangka pendek. Untuk jangka panjang justru seperti api dalam sarung. Panas, bo…

Type kepemimpinan SBY, agak berbeda dengan Jokowi. Jokowi mungkin type kepemimpinan yang memikirkan lebih jauh ke depan. Ia lebih memilih menyelesaikan problem saat ini, ketimbang memelihara harmoni palsu.

Makanya di awal kepemimpinannya justru ia langsung tancap gas mengurangi subsidi BBM yang kebablasan. Petral dibubarkan

Duitnya dialihkan untuk membangun infrastruktur.

Jokowi lebih memilih jalan BBM satu harga hingga rakyat di ujung Indonesia bisa merasakan keadilan, ketimbang hanya memanjakan rakyat Jakarta dan kota besar dengan BBM murah.

Sementara untuk kelompok-kelompok intoleran yang dalam jangka panjang membahayakan Indonesia, ia mengambil langkah tegas. HTI dan FPI diberangus.

Melihat dari cara alokasi budget saja orang sudah bisa memperkirakan pembangunan di jaman Jokowi jauh lebih pesat dibanding di jaman SBY. Dana desa yang digelontorkan bisa menjadi katalisator pembangunan di lingkup paling kecil.

Ada satu hal yang menarik. Jaman SBY memang ada BLT, bantuan langsung tunai. Rakyat antri di kantor pos untuk mencairkan duit. Wajah kemiskinan ditampilkan sangat vulgar.

Jokowi juga menerapkan pola bantuan serupa. Bedanya di jaman Jokowi pembagian bantuan ditransfer. Penerima bantuan tidak harus menunjukan wajah miskinnya di depan kamera TV. Mereka bisa mencairkan bantuan dari ATM. Mereka dibantu tanpa harus dikecilkan harga dirinya.

Jadi, ketika AHY kemarin bicara Jokowi hanya gunting pita saja, kita merasa lucu. Atau saat dia sesumbar soal BLT, kita hanya bisa tersenyum miris.

Memang setiap pemerintahan adalah pelanjut pemerintahan sebelumnya. Pelanjut proyek. Pelanjut keberhasilan. Juga pelanjut bebannya juga.

Kalau bebannya terlalu besar, yang diterapkan atas nama harmoni, justru itulah yang dirasakan sekarang. Pemerintah Jokowi praktis jadi tukang cuci piring dari bekas pesta sebelumnya.

Kalau piringnya gak dicuci sekarang. Pemerintah setelah Jokowi akan kerepotan. Sebab bagaimana kita bisa menikmati hidangan kemajuan kalau semua piringnya kotor. Bahkan pancipun belum dikembalikan ke tempatnya semula.

Kadang politik hanya butuh klaim. Tanpa membeberkan data. Sama ketika ada orang yang mengklaim, jaman Soeharto lebih bagus dari sekarang.

“Padahal di jaman Soeharto, makan telur saja satu dipotong dua,” celetuk Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.