Kolom Eko Kuntadhi: INDONESIA JAUH LEBIH PENTING DARI SEKADAR SUARA PILPRES! (Sirulo TV)

Ketika Jokowi menghabiskan banyak energi dan sumberdaya ekonomi membangun Papua, apakah tindakan itu melulu menghitung dampak politik? Penduduk Papua hanya 3 juta orang. Sedangkan Papua Barat 800 ribu. APBN 2019 yang dialokasikan untuk Papua sebanyak Rp 20 triliun, dan Papua Barat Rp2 triliun. Belum lagi proses pembangunan akses jalan. Jaringan listrik sampai daerah terpencil. Program BBM satu harga yang rumit itu.

Bahkan Jokowi bolak-balik sampai ke daerah paling terpencil.

Jika tujuannya hanya meraup suara untuk Pilpres, ya, gak banyak manfaatnya. Jika cuma itu tujuannya, untuk Papua cukup pegang kepala-kepala suku. Bahagiakan mereka. Suara akan datang sendiri. Tapi, rakyat Papua tetap tertinggal.

Tapi, toh, cara itu gak dilakukan. Jokowi ingin membangun rakyat Papua. Bukan hanya meraup suara. Dia mau bercapek-capek untuk rakyatnya. Gak melulu mikirin apa manfaat politik untuknya.

Demikian juga ketika Jokowi menggelontorkan banyak dana membangun daerah perbatasan, apakah politik budgetingnya melulu mempertimbangkan suara untuk Pilpres? Rasa-rasanya gak. Berapa besar, sih, jumlah penduduk di Pulau Miangas?

Kalau Jokowi mau menang Pemilu mudah. Simpel saja. Fokuskan saja anggaran untuk membangun daerah yang padat penduduknya seperti Jawa dan Sumatera. Atau kota-kota padat di Sulawesi dan Kalimantan.

Tapi itu gak dilakukan.

Jokowi membagi kartu Keluarga Harapan. Setiap keluarga akan mendapat Rp 10 juta setahun, dibagi setiap tiga bulan sekali. Kartunya berbentuk seperti kartu ATM.

Mereka bisa mengambil uang di mesin ATM. Sama seperti pegawai kantoran sehabis gajian. Tidak ada pertunjukan kemiskinan seperti dulu waktu BLT. Tidak ada liputan media. Tidak ada nenek-nenek yang terinjak dan pingsan. Akibatnya tidak ada dampak politik elektoral buat Jokowi.

“Saya gak mau orang miskin dipertontonkan hanya untuk mendapatkan suara. Saya mau mengangkat harkat mereka,” ujar Jokowi sekali waktu.

Kalau hanya ingin menang mudah, Jokowi gak harus repot-repot menjaga APBN dengan ketat. Contoh saja pendahulunya yang mengambil politik bagi-bagi di periode pertama. Kemungkinan besar ia akan melenggang dengan mudah untuk periode ke dua.

Tapi itu tidak dilakukan.

Ada banyak kesempatan jika Jokowi hanya memikirkan soal elektoral. Tapi ia memilih kerja keras. Lebih memilih pembangunan yang adil.

Tapi, saat Jokowi mempertimbangkan untuk membebaskan Abubakar Baasyir, sebagian orang malah menudingnya itu cuma langkah meraup suara.

Bahkan yang menyebalkan, mereka menuding suara yang mau diraup Jokowi adalah suara kaum radikal. Padahal mana ada gerombolan radikal itu mau ikut Pemilu? Mereka mengharamkan NKRI. Wong, kabarnya Baasyir sendiri menolak menandatangani kesetiaan pada negara ketika proses pembebasaannya.

Justru langkah membebaskan Baasyir berpeluang menggerus suara Jokowi dari kelompok minoritas. Tapi kenapa tetap dilakukan oleh Jokowi?

Saya meyakini ini bukan soal Copras-capres belaka. Keputusan itu menyangkut persoalan yang lebih besar dari sekadar Pilpres.

Baasyir itu salah satu pemimpin yang omongannya didengarkan gerombolan teroris. Ia pernah memegang posisi sebagai Imam yang meliputi Asia Tenggara. Artinya, di mata gerombolan itu, posisi Baasyir sangat penting.

Persoalannya sekarang Baasyir sakit keras. Sementara masa tahanannya masih 6 tahun lagi. Bayangkan jika ia mati di penjara. Isunya akan dimainkan bahwa pemerintah Indonesia menjalimi ulama sampai mati.

Isu itu akan digoreng habis-habisan untuk membangkitkan seruan jihad.

Gerombolan teroris se-Asia akan bergerak memasuki Indonesia. Mereka juga didukung teroris dunia yang memang sedang mencari sarang baru. Setelah kehancuran di Suriah dan Irak.

Jadi, jika Baasyir mati di penjara, isunya dimungkinkan akan dibakar gila-gilaan. Seperti mengundang burung pemakan bangkai mematuki tubuh kita. Jihadis dunia jadi punya motivasi masuk ke Indonesia. Disambut gerombolan politisi ngehe yang ngebet berkuasa. Lalu esok, kita membaca berita negeri ini sudah tersandra gerombolan teroris.

Jadi naif jika kita memandang bahwa pembebasan Baasyir adalah langkah untuk menarik suara. Lho, boro-boro nambah. Malah ada resiko berkurang. Coba lihat saja obrolan di medsos.

Persoalannya, sebagai Presiden Jokowi gak mungkin membiarkan kemungkinan buruk melanda negerinya. Jikapun langkah itu justru merugikan posisi politiknya. Kerugian kehilangan potensi suara, jauh lebih sedikit ketimbang kerugian kehilangan Indonesia.

Sebab Indonesia jauh lebih berarti dari sekadar Pilpres. Jauh lebih penting dari sekadar memuaskan rasa sakit hatimu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.