Kolom Eko Kuntadhi: KITA BERHUTANG PADA SIAPA TAHUN INI?

Entahlah. Siapa yang berhutang. Ketika Copernicus mengajukan sebuah teori: Bumi berputar mengelilingi matahari. Namanya teori Heliocentris. Sementara dalam kitab suci diyakini bumilah pusat rotasi. Mereka menyebutnya geocentris.

Tapi Copernicus tidak ngotot.

Agama saat itu juga tidak powerfull seperti sekarang. Dia belum berkembang menjadi institusi persekusi. Agama hanyalah keyakinan pada Zeus dan objek di luar sana yang mengatur kehidupan manusia.

Galileo Galille tahu teori itu. Ia ikut mengembangkan. Satu putaran rotasi bumi menandakan perubahan tahun. Kita tahu, Galileo akhirnya dimusuhi pemegang otoritas agama. Mereka takut, pendapat Galileo bisa menggoyang iman. Karena bertentangan dengan tafsir gereja soal Alkitab.

Galileo harus berhadapan dengan otoritas yang menentukan surga dan neraka. Ia harus berhadapan dengan sekolompok orang yang mengangkat dirinya sendiri menjadi ajudan Tuhan.

Saya pernah membaca sebuah buku yang berisi surat-surat adik perempuan Galileo kepada kakaknya. Adeknya adalah seorang biarawati, yang mengabdikan hidupnya untuk pelayanan.

Surat-surat itu mengisahkan sebuah pergulatan penting antara rasionalitas dan keimanan. Pergulatan antara doktrin dan ilmu pengetahuan. Galileo, seorang yang rasional tetapi juga punya keyakinan kukuh pada agamanya.

Ia berada di persimpangan jalan. Galileo memilih rasionaitasnya. Ia tidak mengambil langkah pengampunan jika harus membohongi pikirannya sendiri. Ia ikhlas distempel sesat hanya karena tidak mau tunduk pada doktrin yang irasional.

Untung seorang petinggi gereja memahami pikiran Galileo. Ia meminta lelaki itu menjauh, mengasingkan diri.

Tapi gereja berkembang. Pikiran-pikiran tidak lagi diadili inkuisisi. Pada akhirnya mereka mengakui kebenaran ilmiah. Mencabut persekusi pada Galileo.

Dan sekarang kita menikmati acara pergantian tahun dengan meriah.

Malam nanti, ketika kembang api ramai menjangkau langit, kita berhutang pada Copernicus dan Galileo.

Di kala lain. Dalam agama yang lain. Sekelompok orang beragama ngotot mengatakan bumi datar. Hanya karena tafsir mereka tentang kitab suci. Kelompok ini ada dalam Islam. Bahkan mereka mengkafir-kafirkan siapa saja yang meyakini bumi itu bulat.

Tapi kita belajar geografi. Belajar tentang prilaku planet. Belajar tentang makna alam raya. Pengetahuan saat ini tidak bisa lagi diringkus oleh doktrin.

Kita semua yang lebih mempercayai guru geografi dan fisika ketimbang ustad semprul pembawa doktrin bumi datar. Kita tahu drama Galileo sudah berakhir ratusan tahun lalu.

Kita gak mau lagi, ada orang yang mengatasnamakan agama mempersekusi nalar kita. Kita mungkin hidup mirip dengan Galileo.

Malam ini kita merayakan pergantian tahun. Sebuah perhitungan waktu berdasarkan putaran rotasi bumi, planet di Bimasakti yang porosnya adalah matahari.

Kita merayakan sebuah lintasan waktu. Kita merasa berubah. Merasa bergerak. Merasa berjalan ke satu arah.

Ke manakah akhir perjalanan itu? Tidak ada jawaban pasti. Semuanya hanyalah asumsi.

Pada tataran itulah sebuah doktrin dibutuhkan. Agar menjadi penghangat bahwa kehidupan kita punya arti. Bayangkan jika kita tidak meyakini kehidupan setelah kematian. Kita akan hampa. Kita tidak punya pegangan. Kita seperti benda yang berakhir begitu saja.

Apakah enak hidup dalam kehampaan seperti itu? Rasanya memang gak enak.

Pada pertanyaan-pertanyaan yang ilmu pengetahuan tidak sanggup merambahnya, kita akhirnya pasrah pada doktrin. Pada keyakinan. Dalam bahasa agama — kita pasrah pada iman.

Kita pasrah ketika nalar tidak lagi bisa menjangkau kepastian.

Malam ini, kerlip bintang masih seperti jutaan tahun lalu. Cahayanya syahdu. Kilatannya lembut. Gemintang itu, nanti malam mau ditantang oleh cahaya kembang api. Yang berniat menyainginya.

Cahaya kembang api memang meriah. Tapi sebentar masanya. Cepat berlalunya. Gemintang di atas sana mungkin tersenyum menyaksikan kehebohan itu.

“Lihatlah, kesombongan kembang api itu. Padahal hanya sebentar cahayanya. Hanya sekilas masa hidupnya,” ujar gemintang kepada awan yang merangkak.

Hidup kita memang seperti kembang api. Sekali berarti, sudah itu mati. Di bawah sinar bintang, kita hanyalah kerlip kecil yang suka menantang keabadian cahaya. Dengan perasaan yang pongah dan sombong.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.