Kolom Eko Kuntadhi: KUCING! GUK, GUK, GUK…

Jangan meremehkan kekuatan kata-kata, ujar Anies Baswedan dalam sebuah debat Pilkada Jakarta beberapa waktu lalu. Belakangan saya baru sadar maksudnya. Bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan kata-kata. Coba kita dengar pidato Anies dalam perayaan ulang tahun FPI ke-19 di Lapangan Kamal Muara, kemarin.

“Ini adalah komitmen yang sudah saya katakan berkali-kali. Mari kita tunjukkan ke mata dunia bahwa 19 tahun perjalanan kemarin dan tahun-tahun ke depan menjadi tahun-tahun di mana masyarakat Indonesia merasakan kehadiran FPI sebagai penjaga kebinekaan,” ujar Anies Baswedan.

Sebagian orang menjadikan kata-kata untuk mewakili realitas. Bagi Anies kata-kata digunakan untuk mengaburkan kenyataan. Jadi jangan heran jika Anies mengatakan FPI adalah penjaga kebhinekaan.

Soal selama ini sepak terjang FPI justru anti kebhinekaan, sering memaksakan kehendaknya sendiri, itu tidak masalah. Cukup sematkan citra dengan mengubah kenyataan dengan kata-kata. Maka, prok, prok, prok, tolong dibantu, ya. Tolong dibantu ya.

Maka dalam sekejap FPI adalah organisasi yang begitu menjaga kebhinekaan di Indonesia.

Tapi, selama ini justru FPI yang selalu anti kebhinekaan. Bukankah mereka sering sweeping saat natalan? Bahkan mensweeping mall-mall. Mereka juga mengharamkan Gubernur Kristen. Mereka mempersekusi orang yang menyuarakan pendapatnya di media sosial?

Jangan bicara soal kenyataan. Mari kita anggap saja FPI adalah penjaga kebhinekaan. Anggap saja mereka pahlawan pluralisme. Nah, masalahnya selesai, kan?

“Tapi kelakuan mereka akan berubah?”

Yang penting diubah itu persepsi kita. Bukan kelakuan mereka. Jika FPI mensweeping siapa saja yang tidak sepaham dengannya kita bisa menganggap itu sebagai aksi menjaga kebhinekaan. Jika mereka menyerang orang beragama lain, itu juga aksi penjaga kebhinekaan. Jadi yang penting itu anggapan kita. Soal tindakan, sih. Biarkan saja.

Jadi saudara-saudara, sebangsa dan setanah air. Jika besok orang miskin Jakarta tidak punya rumah. Kita harus percaya jika pemerintah bilang, Jakarta sudah bebas dari tunawisma.

Jika untuk memiliki rumah DP 0% harus berpenghasilan Rp 7 juta ke atas, kita harus percaya bahwa orang-orang miskinlah yang akan disubsidi. Jika birokrat dan DPRD semakin foya-foya dengan duit rakyat, kita harus percaya bahwa mereka hidup melarat. Dan seluruh uang APBD digunakan untuk memakmuran masyarakat. Jika sungai di Jakarta kembali kotor tanpa perawatan, kita harus percaya bahwa sungai-sungai kita menjadi lebih kinclong.

Jika Jakarta banjir lagi, kita harus percaya, itu cuma pemindahan kolam renang untuk rakyat. Jika RPTRA jadi ajang cari jodoh, kita harus percaya itu program syariat di taman kota.

Ohh, ok. Jika sebuah benda berwarna biru dan orang bermaksud mengubah warnanya menjadi hijau. Orang biasa akan mengubahnya dengan mencat benda tersebut dengan cat hijau.

Berbeda dengan orang yang hanya bertumpu pada hanya kata-kata. Dia tidak perlu mencat. Tidak perlu melakukan apa-apa. Cukup katakan, “Benda itu sekarang warnanya hijau.”

Maka, baginya benda itu sekarang sudah berubah hijau.

“Tapi kan, itu masih biru,” ujar Bambang Kusnadi.

“Kalau kau anggap biru, ya akan biru terus. Coba dong kamu ubah keyakinanmu bahwa benda itu hijau. Maka dia akan menjadi hijau…”

Saya jadi ingat seorang anak yang ingin memelihara anak anjing jenis Siberian Husky. Ibunya yang melarang, karena bagi ibunya anjing adalah hewan yang diharamkan agama. Maklum ibunya hanya mengikuti pandangan yang berlaku umum.

“Ya, sudah, ma. Kita panggil saja dia dengan sebutan Kucing.”

Lalu ibunya setuju. Bagi ibunya Kucing adalah hewan yang boleh dipelihara. Maka seluruh keluarga memanggil anak anjing yang lucu itu dengan sapaan Kucing.

“Kuccinngggg…,” panggil anak itu.

“Guk, guk, guk…”

Bergembiralan semua keluarga. Mereka kini memelihara Kucing jenis Siberian Husky.

Sekali lagi. Jangan meremehkan kekuatan kata-kata!











One thought on “Kolom Eko Kuntadhi: KUCING! GUK, GUK, GUK…

  1. “Ini adalah komitmen yang sudah saya katakan berkali-kali. Mari kita tunjukkan ke mata dunia bahwa 19 tahun perjalanan kemarin dan tahun-tahun ke depan menjadi tahun-tahun di mana masyarakat Indonesia merasakan kehadiran FPI sebagai penjaga kebinekaan,” ujar Anies Baswedan.

    Wow . . . baswedan jadi betul edan . . . kalau mau jadi penjaga kebhinekaan kan tidak jadi penjaga islam atau pembela islam alias FPI. Pilih salah satu lah, jadi front pembela islam atau front pembela pancasila.

    edan . . . kebohongan kalau diucapkan terus-menerus lama-lama jadi kebenaran, ini dipegang oleh propaganda Hitler dalam membohongi rayat Jerman, Dan ini bisa jalan mulus ketika itu. Karena yang bersuara lain diciduk dan dibunuh seperti era Orba. Sekarang situasinya lain, era keterbukaan dan partisipasi publik yang luas. Orang ngomong dan membelejeti seperti pak Eko Kuntadhi tidak diciduk malam-malam seperti era Soeharto atau Hitler. Dan eko kuntadhi semakin banyak, jutaan . . . berlomba membelejeti pak edan itu.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.