Kolom Eko Kuntadhi: KYAI MARUF PERKENALKAN KARTU SAKTI, SANDI JUALAN KARTU MATI

Eko Kuntadhi 4Sedang ramai dibicarakan kartu-kartu usulan Jokowi-Amin. Setelah KIP dan KIP, Jokowi-Amin akan memberikan tambahan tunjangan pendidikan dengan KIP Kuliah. Lalu ada kartu Sembako Murah dan Kartu Prakerja. Sandiaga mengkritik dengan nyelonong memgusulkan cukup dengan e-KTP. Jadi gak perlu ada kartu lain. Semua bisa disatukan dengan e-KTP. Persoalannya, bagaimana murid yang mau dapat KIP sedangkan mereka belum punya KTP. Apakah Sandiaga mau menghapus subsidi buat anak sekolah?

Ke dua adalah soal validitas data. Kita tahu, dulu dasar pemikiran pembuatan e-KTP adalah agar semua data masyarakat bisa terkoleksi di sebuah kartu. Untuk itulah e-KTP dibuat.

Masalahnya rezim waktu itu memandang e-KTP bukan sebagai proyek besar yang berjangka panjang. Mereka justru menjadikan proyek ini sebagai bancakan. E-KTP hanya dipandang sebagai proyek pengadaan KTP mirip Kartu Kredit.

Padahal, di balik itu semua ada data kependudukan yang hendak disatukan. Maksudnya agar semua informasi tentang warga negara bisa terkoneksi. Mekanisme penyatuan data ini perlu kerja besar, serius dan rinci. Perlu energi dan biaya besar. Perlu manajemen yang solid.

Tapi, sialnya, para politisi busuk malah memanfaatkan e-KTP sebagai proyek korup. Logika proyek hanyalah pengadaan. Padahal e-KTP harusnya hanya ujung dari data penduduk yang terkonsolidasi. Akibatnya sampai sekarang data kependudukan belum semuanya terkoneksi. Masih terbaur.

Nah, Pemerintahan Jokowi sedang serius melakukan proyek single data. Tapi, sekali lagi, proses tersebut butuh waktu panjang. Sedangkan kebutuhan subsidi masyarakat tidak bisa menunggu semua data penduduk terkonsolidasi. Makanya sambil melakukan kerja besar konsolidasi data, pemerintah mengekuarkan kartu-kartu untuk tujuan khusus. Sebagai tanda subsidi bagi masyarakat.

Berbeda dengan Rezim SBY yang menggelar Bantuan Langsung Tunai berbentuk kas. Rakyat miskin antri di kantor pos. Terinjak-injak dan berdesakan. Kemiskinan ditampilkan ke ruang publik secara telanjang.

Sebagai sebuah kampanye politik, BLT memang efektif. Televisi menyiarkan rakyat yang antri mengambil uang tunai. Orang mengira pemerintah sedang berbaik hati. Wajah kemiskinan dipertontonkan.

Berbeda di Jaman Jokowi. Kartu-kartu yang disiapkan justru adalah lambang pemerintah menghargai rakyatnya. Orang-orang miskin dapat bantuan, tetapi tidak perlu berdesakan untuk antri. Duitnya ditransfer ke rekening. Melalui kartu itu mereka bisa mengambil di ATM.

Orang-orang miskin dimuliakan oleh Jokowi. Tidak dipertontonkan sebagai pertunjukan politik. Anak-anak sekolah yang mendapat KIP tidak perlu minder. Mereka bisa tetap punya harga diri karena temannya gak perlu tahu dia dibantu pemerintah.

Usulan Sandi bahwa bantuan akan diserahkan via e-KTP kedengarannya bagus. Tapi pada kenyataanya gak realistis. Justru di tengah data kependudukan yang masih belum selesai proses konsolidasinya. Menyelesaikan konsolidasi data ratusan juta orang perku waktu puluhan tahun. Sementara penduduk miskin butuh bantuan sekarang. Butuh penanganan lebih cepat.

Jokowi mengambil jalan simpel. Kedua program itu –konsolidasi data dan bantuam sosial– bisa berjalan paralel. Tidak harus menunggu seperti telur dan ayam.

Inilah yang membedakan antara program yang realistis dan program yang mengawang-awang. Program realistis Jokowi menyelesaikan masalah secara terstruktur. Sedangkan ide Sandi hanya janji ngedabrus.

Janji Sandi yang lain adalah membawa OK-OCE jadi program nasional. Bayangin. Di Jakarta saja gagal total. Terus dia tanpa malu membawa kegagalan itu untuk dinikmati seluruh rakyat Indonesia.

“Kalau Kyai Maruf memperkenalkan kartu sakti. Sandi malah sibuk dengan kartu mati. Jualan OK-OCE,” ujar Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.