Kolom Eko Kuntadhi: LUPUS TELAH PERGI

Saya dibesarkan dengan ditemani banyak tokoh imajinatif yang keren. Selain Winnetou dan Old Shatterhand yang sampai sekarang saya puja. Minke yang cerdas dan berani itu. Ada banyak lagi tokoh lainnya.

Tintin dan Snowy, Asterix dan Obelix, Genk Sapta Siaga, Kiki dan Senopati Pamungkas juga Imung.

Si Buta dari Gua Hantu, Panji Tengkorak, Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, dan segerombolan tokoh imajinatif selalu berdesakan di ruang memori saya.

Ada satu tokoh penting yang menghiasi masa remaja saya: Lupus. Remaja jambul usia SMA dengan permen karet yang menggelembung di mulutnya.

Lupus ini gambaran remaja kreatif lengkap dengan keceriaannya. Kadang naif. Kadang menawan. Kadang menampilkan kelucuan yang asyik. Serial Lupus terbit di sebuah majalah anak muda, Hai. Potongan cerpen dengan ritme kisah yang seru.

Penulisnya Hilman Hariwijaya. Saat menulis kisah-kisah Lupus, Hilman juga masih muda. Jadi sebetulnya ia sedang menuliskan dunianya sendiri. Dalam sudut pandang yang serba ceria.

Sosok Lupus berbeda dengan Rangga dalam film AADC. Rangga adalah lelaki perenung. Bacaannya karya sastra seperti buku puisi Chairil Anwar. Sementara Lupus adalah anak muda biasa. Mungkin kalau dia hobi baca, pilihannya sejenis komik Smurf atau Tintin.

Tapi bukan kayak Roy, dalam serial Balada Si Roy karya Golagong. Roy berkarakter pemberontak dan petualang. Sementara Lupus lebih ceria.

Tokoh imajinatif anak muda yang menurut saya lumayan ok, saat ini adalah Dilan. Pidie Baiq sangat penulis melukiskan keseruan jalinan asmara Dilan dan Milea yang tidak lebay. Entahlah, saya selalu suka tokoh-tokoh yang tidak lebay. Mereka hidup seperti anak muda biasa: yang kocak, yang naif, yang seru.

Jaman itu mungkin sudah berlalu, sebelum kita dijejali oleh kisah seperti Kupinang Kau dengan Bismillah atau Ayat-ayat Cinta. Atau kisah roman dengan beban agama yang kebangetan.

Penulis muda pasca Lupus banyak dibebani oleh sabda-sabda moral yang terlalu berat. Tokoh-tokoh mudanya tampil seperti Somad atau Felix Siuaw yang doyan berkutbah.

Bedanya, tokoh itu dalam kisahnya digambarkan lebih ganteng ganteng atau cantik, cerdas dan kaya. Tapi sebetulnya sama saja. Tokoh muda disana tukang ceramah. Tukang menasehati. Kehidupannya digambarkan seperti selalu berada di atas mimbar masjid. Akibatnya, ketika membaca kisah-kisah itu saya kehilangan suana kemudaan di sana.

Yang saya dapati hanya wajah Arie Untung atau Tengku Wisnu. Gak ada lagi wajah kayak Lupus atau Kiky.

Sebetulnya cara kita berfikir dipengaruhi oleh bacaan yang kita konsumsi. Pikiran-pikiran saya sekarang mungkin ada pengaruh Lupus, Tintin, Smurf, Asterix, Mahabharata, atau Lantip (tokoh dalam novelnya Umar Khayam).

Mereka datang beriringan dalam kepala saya. Dan saya yakin, itu juga terjadi pada banyak orang. Bacaan mempengaruhi cara pandang kita terhadap dunia.

Bayangkan sekarang, ketika bacaan anak-anak kita sudah dijejali dengan doktrin yang kasar dan telanjang. Ketika tokoh-tokoh imajinatif berusia muda ditampilkan seperti ustad setengah jadi. Segala keceriaan menghilang, segala keseruan menyusut. Yang ada hanya halal dan haram belaka.

Anak-anak dan adik-adik kita, tidak lagi mengalami masa indah seperti dulu yang saya alami. Sekalinya memuja tokoh, mereka berebutan menjadi serba Korea : dimana wajah para bintangnya mirip semua.

Syukur jika saat ini masih ada yang menggemari Harry Potter atau kisah kaum hobbit di serial Lord of The Ring. Setidaknya ruang imajinasi mereka masih terisi dengan tokoh yang tidak cengeng.

Hari ini, Hilman Hariwijaya sang penulis Lupus sudah pergi. Karyanya tanpa sadar telah membantu saya beranjak dewasa.

Terimakasih brother. Tulisan Anda pernah menjadi teman yang sangat akrab ketika saya sekolah.

Saya tetap ingat kisah itu, saat Lupus mengejar bus kota dan mendapatkan Seraut Wajah Manis di Dalam Bus.

Selamat jalan Hilman…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.