Kolom Eko Kuntadhi: MACRON, ERDOGAN SAMPAI JOKOWI JADI KORBAN HOAX ANAK KECIL

Masih ingat kasus guru di Perancis yang tewas digorok gerombolan radikal? Mulanya kisah di sebuah sekolah menengah, di pinggiran Kota Paris. Menurut alkisah, guru di sebuah sekolah meminta murid yang beragama Islam keluar kelas sementara. Pasalnya dia mau menunjukan gambar Nabi Muhamad. Nama gurunya Samuel Patty.

Kebetulan ada anak berdarah Timur Tengah yang bersekolah di situ.

Ia menceritakan kejadian tersebut kepada ayahnya. Ayahnya menyebarkan info kepada komunitasnya. Isu terus melebar. Menyembur ke mana-mana. Kelompok Islam radikal yang emosinya bergerak lebih cepat dari bayangannya sendiri, langsung bereaksi.

Oleh mereka, guru Samuel Patty dibunuh secara bengis. Lehernya digorok.

Kasus itu menghebohkan dunia. Perdana Menteri Macron mengecam perlakuan kaum biadab itu, seraya membela kebebasan berekspresi di Perancis. Ia membela guru Samuel Patty. Dunia Islam lain lagi. Mereka menganggap Macron memberi ruang kebebasan di negerinya untuk menista Nabi.

Kontan negara-negara berpenduduk muslim bereaksi. Indonesia menegur Duta Besar Perancis. Erdogan mengecam dengan keras statemen Macron. Tapi kamu tahu gak apa yang sebenernya terjadi?

Sebuah berita yang ditulis The Guardian, 9 Maret 2021 mengungkapkan hal lucu. Lucu tapi mengiris hati. Membuat saya sempat terkesiap. Rupanya tragedi itu diawali dari kebohongan siswi usia 13 tahun. Ia diskor dari sekolahnya, mungkin karena kelakuannya. Nah, karena khawatir dimarahi bapaknya, siswi itu berbohong.

Ia gak ngaku diskor. Ia hanya mengisahkan bahwa guru sekolahnya sengaja memulangkan siswi beragama Islam, karena guru itu mau menunjukan kartun Nabi kepada murid-murid lainnya. Kisah itu dinyatakan tanpa pretensi apa-apa. Siswi remaja itu hanya mau lolos dari kemarahan ayahnya.

Sayangnya, bapaknya termasuk orang beragama yang Baperan. Si bapak menceritakan kisah bohong putrinya ke orang lain. Lalu kisah itu menyebar. Sampai ke seisi komunitas muslim di Paris. Padahal, kata Guardian, siswi itu hanya menghindari hukuman dari bapaknya. Ia menggunakan isu agama untuk bersembunyi dari kemarahan orangtua.

Yang namanya Ortu, kalau menghukum, paling disuruh bersihin kamar mandi sama gak boleh pegang HP seharian. Paling tinggi disentil kupingnya. Tapi ada daya. Isu sudah terlanjur menyebar. Membakar Perancis. Nyawa seorang guru jadi korban.

Saya ingat, kehebohan kasus ini juga diangkat teman-teman di Cokro TV. Dengan segala sudut pandangnya. Dan kita semua tertipu. Tertipu oleh ulah seorang gadis kecil. Sebetulnya kita tertipu oleh persepsi kita sendiri. Soal-soal agama seringkali membuat orang menjadi cepat beringas.

Apalagi kalau dibumbui dengan kata penistaan. Ditambah ada segerombolan orang yang hobi mengangkat isu ini ke permukaan seolah Islam selalu disudutkan.

Persepsi bahwa Islam kerap disudutkan itu yang membuat orang cepat bereaksi dengan kasar. Psikologi rendah diri yang teramat sangat. Saya ingat kasus sejenis terjadi di Tanjung Balai Asahan. Mulanya obrolan emak-emak di warung. Seorang Tionghoa mengeluhkan suara speaker masjid yang terlalu keras. Suaminya sedang sakit.

Lalu apa yang terjadi?

Isu bahwa ada orang Tionghoa menistakan suara adzan merebak. Tukang kipas bermain. Mengipas-ngipasi keadaan. MUI ikut menari juga pada kasus itu. Rakyat Tanjung Balai tersulut emosi. Mereka protes. Hasilnya sebuah vihara dan beberapa rumah terbakar.

Ibu yang cuma ngobrol di warung, dijatuhi hukuman. Pidananya berat ; menista agama! Sebetulnya bukan perilaku yang disengaja yang membuat ibu Meiliana jadi pesakitan. Tapi cara beragama yang mudah tersinggung yang akhirnya membakar Kota Tanjung Balai (Sumatera Utara).

Baru saja kemarin saya ikut mengadvokasi kasus Nakes di Pematang Siantar. 4 Nakes pria melakukan disinfektan pada jenazah pasien Covid-19. Kebetulan pasiennya wanita. Lalu disebar isu. Jenazah wanita muslim dimandikan oleh Nakes pria bukan muhrim.

Padahal yang dilakukan adalah disinfektan jenazah. Bukan memandikan. Tapi dasar gerombolan gila kasus dan keranjingan jihad, mereka menghebohkan kasus ini dengan isu penistaan agama. Empat Nakes sempat dijadikan tersangka. Tuduhannya menistakan agama.

Untung Kejaksaan Siantar sigap. Kasusnya digugurkan karena gak memenuhi pasal. Kesemua kegilaan atas nama agama ini bermula dari hal sepele. Dari anak yang berbohong pada ayahnya. Dari gosip emak-emak di warung sayur. Atau dari keluh kesah suami yang istrinya meninggal karena Covid-19.

Tapi akibatnya luar biasa. Bahkan sampai seluruh dunia ikut heboh. Semua ini mungkin karena sikap rendah diri dan insecure yang terus dipompakan kepada Umat Islam. Mereka memandang pihak lain dengan rasa curiga berlebihan. Bahkan ujungnya punya alasan untuk menyakiti seperti yang terjadi pada guru Samuel Patty di Perancis.

Sikap seperti itu kita tahu, ujungnya membawa petaka. Bukan kedamaian yang didapat. Tapi justru permusuhan. Bahkan hanya karena soal-soal sepele yang dibalut pikiran curiga.

Kita bersyukur, kemarin dua tokoh agamawan bertemu di Irak. Ayatullah Sistani sebagai tokoh Islam Syiah. Dan Paus Franciskus sebagai tokoh Katolik. Mereka menyerukan perdamaian. Mereka hendak membuka tabir kecurigaan yang sering menghinggapi para penganut agama terhadap agama lainnya.

Sebuah seruan indah dari dua tokoh berbeda agama. Dalam salah satu momen pertemuan kedua petinggi agama itu, ada sebuah poster indah. Isinya kutipan dari Imam Ali Karamullahu Wajhah: “Kita semua adalah saudara. Jika bukan saudara seiman. Kita bersaudara dalam kemanusiaan… “

Terhadap saudara, sudah semestinya syak wasangka tidak ditaruh di depan.

“Mas, ada siang ada malam, ” tetiba Abu Kumkum berpantun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.