Kolom Eko Kuntadhi: MEMBENGKOKKAN INFORMASI

Seorang anggota DPR dari Fraksi PKS mencecar Menko Perekonomian Darmin Nasution soal utang Pemerintah RI yang mencapai Rp 3.650 Triliun. Utang itu sebetulnya akumulasi dari utang pemerintah terdahulu. Jadi, bukan hanya utang pada jaman Jokowi saja.

Lagipula, utang pada pemerintah Jokowi memang dibutuhkan karena biaya pembangunan infrastruktur yang mahal. Sedangkan pendapatan sektor pajak cuma bisa menutup anggaran rutin seperti gaji pegawai dan biaya rutin lainnya. Sejak jaman rekiplik, bangsa ini teriak-teriak soal ketimpangan ekonomi tetapi langkah nyata untuk menguranginya relatif tidak ada. Nah, membangun infrastruktur di daerah adalah langkah yang paling jitu.

Membangun infrastruktur butuh duit. Salah satu sumbernya dari pinjaman. Makanya utang pemerintah meningkat. Tapi, karena duitnya digunakan untuk hal produktif maka hasilnya nanti akan positif. Bandingkan misalnya, pada jaman SBY, lebih dari Rp 300 Triliun dana APNBN tersedot untuk subsidi energi. Cuma habis jadi asap knalpot.

Ibaratnya di jaman SBY pemerintah berutang untuk biaya makan di restoran. Terasa enak saat makan, tapi ketika bayarnya, kita jadi sebel. Hasil dari utangan cuma foto selfie dengan piring penuh makanan. Sedangkan Pak Jokowi, dia berutang untuk membeli motor. Nah, motornya didaftarkan ojeg online. Dari hasl ngojeg, bisa bayar cicilan sekaligus bisa menafkahi keluarga dan membayar anak sekolah.




Lagipula menurut hitung-hitungan ekonomi rasio utang kita terhadap PDB masih di bawah 30%. Jadi masih sangat sehat. Bandingkan dengan Jepang yang rasio utangnya terhadap PDB mencapai 200% dan rasio utang AS di atas 100%.

Apakah anggota DPR dari PKS itu tahu informasi ini? Pasti tahu. Kenapa dia ngotot mencecar Menko soal utang ini?

Begini. Jarang masyarakat memahami duduk perkara hitungan ekonomi yang ruwet. Isu soal peningkatan utang pemerintah dari kacamata awam bisa ditafsirkan pemerintahan yang boros. Gagal membangun dan sebagainya. Jadi tidak perlu menjelaskan detilnya, cukup dibesarkan perkara utangnya. Maka terbentuklah persepsi negatif terhadap pemerintahan Jokowi.

Isu soal utang ini dilahap oleh publik yang awam dan dengki lalu dijadikan indikator penilaian negatif kepada pemerintah. Apakah mereka akan terbuka matanya setelah mendapat informasi seperti ini? Ya, gak juga. Wong mereka memang sengaja membutakan diri.

Sama seperti Fadli Zon. Kemarin Pak Jokowi muhibah ke luar negeri. Dia membawa serta keluarganya. Apa komentar Fadli Zon? “Dari jaman Soeharto, baru kali ini Presiden ke luar negeri sampai membawa cucunya.”

Apakah Fadli tidak tahu jika Soeharto sering muhibah ke luar negeri dengan rombongan yang sangat besar, sampai cucu-cucunya juga ikut serta? Apakah dia tidak tahu jika UU membolehkan Presiden membawa keluarganya dalam kunjungan kenegaraan? Pasti tahu. Lalu kenapa dia tetap berkomentar seperti itu. Sebab Fadli merasa penting untuk mempertahankan informasi negatif terhadap pemerintah.

Kasus lain soal tenaga kerja ilegal dari Cina. Sempat beredar isu bahwa ada 10 juta tenaga kerja ilegal asal RRC yang masuk ke Indonesia. Apakah para politisi yang ikut meramaikan isu itu tidak tahu 10 juta orang itu jumlahnya hampir sama dengan penduduk Jakarta? Pasti tahu.

Jika 10 juta orang masuk ke Indonesia secara ilegal dibutuhkan setidaknya 40 ribu pesawat untuk mengangkutnya. Bagaimana 40 ribu pesawat datang ke sini tapi tidak terdeteksi. Rasa-rasanya tidak mungkin. Jadi, angka 10 juta orang masuk secara ilegal itu tidak rasional. Apakah mereka tahu angka itu mengada-ada? Tahu.

Kenapa saat bicara di publik mereka seolah tetap meyakinkan bahwa 10 juta tenaga ilegal itu adalah nyata? Sebab mereka berkepentingan untuk tetap mempertahankan informasi negatif pada pemerintah.

Ada lagi soal isu PKI. Rizieq and the gank masih sibuk mengatakan PKI akan bangkit. Dengan bermodal isu itu mereka menakut-nakuti rakyat. Amien Rais bahkan menuding Jokowi adalah anak PKI. Isu ini selalu digulirkan seolah PKI jadi ancaman nyata.

Apakah tokoh-tokoh besar itu tidak tahu jika komunis di dunia ini sudah ambruk? Pasti tahu. Apakah mereka tidak tahu jika yang namanya PKI sudah bubar sejak 1966 lalu? Ya, tahu dong. Apakah mereka bisa melacak dengan mudah latar belakang Jokowi? Bisa dan gampang. Kenapa mereka masih teriak-teriak PKI akan bangkit? Karena mereka penting untuk mengebui rakyat.

Ketika putra Jokowi Kaesang merilis vlog-nya, apakah mereka tahu vlog itu isinya sangat positif? Tahu. Kenapa ada juga anggota DPR yang memelesetkan bahwa Kaesang harus diproses polisi karena diadukan oleh seseorang? Sekali lagi karena isu negatif perlu terus dijaga.

Kasus lainnya adalah soal Ahok. Apakah mereka tahu Ahok adalah salah satu politisi yang bersih dan anti korupsi? Mereka jelas tahu. Apakah mereka tahu Ahok bekerja sangat serius untuk rakyat? Sangat tahu. Dengan kasat mata saja sudah terlihat hasilnya.

Lalu kenapa citra buruk terus mereka tempelkan kepada Ahok? Ini semua bertujuan untuk memelihara pengikut mereka.

Para tokoh yang membela Rizieq, apakah mereka tahu seorang warga negara yang baik mestinya mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di mata hukum? Mereka tahu.

Apakah mereka tahu seorang ulama adalah orang yang sangat berkepentingan untuk membersihkan namanya sendiri dari berbagai isu negatif, sebab nilai keulamaan di mata umat tergantung dari citra dan pembawaan dirinya? Mereka juga tahu. Sebab kebanyakan mereka adalah tokoh agama.




Lalu kenapa mereka ngotot bahwa Rizieq sedang dizalimi, padahal mereka sama sekali tidak mendorong Rizieq untuk membersihkan dirinya dengan menghadapi kasusnya secara jantan. Padahal sebagai ulama adalah kewajiban Rizieq untuk melaksanakan tabayun terhadap isu yang melilitnya hingga umat tidak terombang-ambing dalam lautan fitnah. Tabayun itu adalah dengan menghadapi proses penghadilan secara terbuka.

Mereka tidak mau lakukan itu, sebab tidak penting umat Islam mermandi fitnah atau bergulat dengan prasangka. Justru kondisi itu dibutuhkan untuk melanggengkan ketokohan dan kekuasaan mereka.

Jadi, para politisi dan pengasong agama itu sadar lumbung suara mereka adalah rakyat yang malas berfikir. Dengan memelihara isu yang menampilkan citra negatif kepada pemerintah mereka ingin tetap mempertahankan kebodohan pengikutnya.

Sebab dengan kebodohan pengikutnya itulah mereka bisa meraup untung. Mereka memang setia menjalankan slogan ini : Orang bodoh juga bisa berguna asal dimanfaatkan sesuai dengan kebodohannya.

“Sudahlah, mas. Ngapain pusing-pusing begitu. Kita gak perlu ngurusin Pak Jokowi lagi. Dia sudah kurus,” cetus Bambang Kuskus, sambil membenahi mangkok buburnya.






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.