Kolom Eko Kuntadhi: NYI RORO KIDUL ITU BERNAMA SUSI

“Kita sepakati hasil negosiasi ini. Tidak boleh ada tambahan kapal centrang lagi. Tidak boleh markdown. Kalau masih melanggar, tahun depan akan ditenggelamkan,” ujar Susi Pudjiastuti, di hadapan para nelayan yang melakukan demonstrasi.

Lihat videonya di bawah

 

Nelayan-nelayan itu demo menentang kebijakan Susi yang melarang menggunakan alat tangkap cantrang. Alasannya simpel. Mereka tidak mau mengubah alat tangkapnya karena sudah terbiasa menggunakan cantrang.

Kenapa cantrang dilarang oleh Susi?

Begini. Alat tangkap cantrang itu menjaring ikan di laut tanpa pilih-pilih. Lebaran alat tangkap yang besarnya bisa ratusan kali lapangan bola itu menggasak ikan apa saja yang ada di lautan. Kebanyakan justru ikan kecil.

Selain itu, centrang beresiko merusak ekosistem laut. Jika ekosistem laut rusak, otomatis ketersediaan ikan di lautan kita juga akan terganggu.




Biasanya alat tangkap model centrang digunakan kapal-kapal besar. Ijin untuk kapal 30 GT memang dikeluarkan oleh Pemda. Sedangkan kapal di atas ukuran itu, ijinnya harus ke Pusat. Tentu saja ijin kapal di Pusat jauh lebih ruwet. Sedangkan jika mereka urus ijin di Pemda, bisa cincai.

Masalahnya, banyak orang yang nakal. Ngakunya besaran kapal di bawah 30 GT, padahal realnya bisa mencari 70 GT. Makin besar kapal, makin lebar pula cantrang yang dioperasikan. Makin besar pula kerusakan yang diakibatkannya. Makanya Susi menegaskan kepada nelayan, jangan markdown ukuran kapal.

Kenapa Susi kemarin ngotot melarang cantrang?

Ikan di laut itu berkembang alami. Tidak ada yang menabur benih di sana. Sementara nelayan mengandalkan pertumbuhan alami itu untuk penghasilannya. Jika dalam satu tangkapan ikan-ikan kecil digasak semua, lalu bagaimana populasi ikan itu bisa berkelanjutan?

Jika ketersediaan ikan di laut tidak bisa terjaga masa depannya, lalu bagaimana nasib nelayan tangkap di masa depan? Susi justru memikirkan masa depan para nelayan. Dia ingin anak-anak nelayan tangkap tetap bisa menikmati kekayaan laut kita nantinya. Makanya Susi kemarin ngotot melarang cantrang.

Jadi ini soal sustainable. Soal keberlanjutan hasil laut kita.

Sambil berfikir soal keberlanjutan, Susi juga menempuh jalan keras untuk menjaga kedaulatan laut. Ribuan kapal asing ditangkap. Ratusan ditenggelamkan sesuai amanah UU.

“Kita harus berdaulat di laut kita sendiri,” ujarnya, disambut gemuruh suara demonstran.




Negara-negara lain komplen akibat kerasnya sikap Susi. Para penikmat industri ikan juga komplen akibat sikapnya melarang cantrang. Belakangan DPR juga menyarankan Susi. Bahkan Menko Luhut Panjaitan juga mengomentari secara terbuka. Susi ditekan kanan-kiri.

Perempuan cerdas dan berani tamatan SMP ini boleh dibilang luar biasa. Dia diserahkan tanggungjawab mengelola wilayah 2/3 dari Indonesia. Sementara menteri-menteri lain sibuk di darat, cakupan wilayah kerja Susi adalah sebagian besar wilayah Indonesia. Negeri maritim ini memang 2/3 wilayahnya terdiri dari lautan.

Selama puluhan tahun laut-laut kita dikeruk oleh para pencoleng. Isinya diobrak abrik. Susi datang memikirkan masa depan hasil laut kita. Tapi, itulah dilemanya. Hasil sekarang yang banyak, atau hasil masa depan yang terjaga. Susi kini dikejar oleh hasil sekarang yang banyak. Pasalnya, nilai ekspor hasil laut kita agak menurun.

Padahal, hasil perikanan tangkap hanya menyumbang 37% hasil ekspor. Selebihnya adalah dari budidaya. Jadi, kalau mau jujur, kebijakan tenggelamkan kapal dan pelarangan centrang bukan inti masalah untuk meningkatkan ekspor.

Tapi, sekali lagi, ini soal industri besar. Soal protes negara lain juga. Ada kepentingan besar yang bisa menggerakkan opini. Sementara yang dibela Susi adalah para nelayan kecil. Jutaan nelayan kecil yang hanya mengandalkan perahu tempel dan alat tangkap sekadarnya. Mereka semua tidak punya kekuatan untuk membantu posisi Susi.

Tapi, memang, nelayan centrang adalah juga rakyat Indonesia. Mereka punya modal dan kekuatan untuk memobilisasi opini. Di tengah tahun politik ini, akhirnya Susi harus sedikit mengalah. Presiden paham posisinya, lalu dicarikan jalan tengah.

Centrang boleh beroperasi, asal ijinnya sesuai prosedur. Batas waktunya belum ditentukan. Tidak boleh markdown ukuran kapal. Tidak boleh menambah kapal baru. Itulah batas toleransi maksimal.




Susi seperti Nyi Roro Kidul, sekerasnya menjaga kekayaan laut kita. Bertahta di lautan. Tapi, di tahun politik itu, Nyi Roro Kidul pun harus bisa bernegosiasi dengan ratusan kepentingan yang mengepungnya. Kesaktian Nyi Roro Kidul sangat terasa, ketika dia turun sendiri menghadapi ribuan orang yang mendemo kebijakannya.

Lalu nelayan centrang pulang dengan perasaan senang. Dan, Nyi Roro Kidul itu kembali ke laut. Minum kopi sambil angkat kaki di atas parahu. Di tangan Susilah, 2/3 wilayah Indonesia terus diawasi.

“Mas dulu Indonesia juga punya Susi yang kekuasaannya besar. Tapi dia tidak segarang Susi Pudjiastuti dalam menjaga laut kita,” ujar Bambang Kusnadi.

“Susi siapa Mbang?”

“Susilo, mas….”










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.