Kolom Eko Kuntadhi: OBROLAN THOMPSON DAN THOMPSON

Saya baru tahu sekarang, fatwa Abujanda Permadi Heddy Setya bukanlah hal yang main-main. Saya pikir fatwa itu enteng saja : tidak lagi menulis soal Anies dan Sandi. Apa susahnya?

Ternyata, sekarang saya baru sadar. Aturan itu ternyata berat sekali. Saya yakin perasaan yang sama juga dialami Birgaldo SinagaDenny Siregar dan teman-teman lainnya. Kalau Kajitow Elkayeni dan Awan Kurniawan sudah sejak awal menyadari anjuran itu memang berat.

Waktu saya nanya kyai Enha, bolehkah saya melanggar fatwa Abujanda? Dia menjawab diplomatis. “Tanyakan Abujanda, dia mengeluarkan fatwa itu dalam kondisi sadar atau gak?”

Tapi, saya tetap mau patuh pada fatwa itu, meskipun disampaikan dalam kondisi gak sadarkan diri. Saya tidak akan menulis soal Anies-Sandi. Saya cuma akan menulis soal Thompson dan Thomson. Keduanya adalah detektif kembarsiam pada serial Tintin.




“Tanahabang itu semrawut karena pejalan kaki,” ujar Thompson. Jadi trotoar yang dirampas pedagang kaki lima bukan penyebabnya. Sebab, dalam fikiran Thompsonj berdagang di trotoar itu sesuai aturan Perda. Yang bikin kacau, ya pejalan kaki itu. Ngapain menganggu orang dagang?

“Tepatnya, pejalan kakilah yang bikin Tanahabang macet,” cetus kembarannya.

Bagaimana sosilusi? “Nanti kita akan minta walikota untuk memikirkan caranya,” ujar Thompson.

“Tepatnya kita akan minta Bang Japar untuk cari solusinya mengatasi kesemrawutan tanahabang,” ujar kembarannya lagi.

“Iya, itu adalah cara yang tepat. Kita akan minta pedagang untuk memikirkan jalan keluarnya,” tambah Thompson.

“Benar sekali. Kita akan minta pihak Camat untuk menangani kesemrawutan di Tanahabang itu.”

“Setuju. Kita akan melibatkan bang Japar agar tanahabang tidak semrawut lagi.”

“Iya benar. Pedagang nanti akan mencari jalan sendiri agar tidak semrawut,” Thompson terus menimpali.

“Itulah yang kami inginkan. bang Japar bersama camat akan mencari jalan sendiri agar bisa menanggulangi kesemrawutan.”

“Itulah kami, saling mengisi ide dan saling melengkapi,” ujar Thompson dan Thomson bersamaan. Keduanya lalu berselfie, yang satu cemberut, satunya lagi memasang gaya bangau tongtong.

Bagaimana dengan program perumahan rakyat dengan DP 0%? “Ohh, jelas, konsepnya adalah rumah tapak. Bukan seperti Ahok yang akan membangun rumah susun. Kita akan siapkan rumah itu buat rakyat miskin Jakarta.”

“Ingat, intinya keberpihakan pada rakyat miskin. Rumah itu nanti ditujukan pada rakyat miskin dengan penghasilan minimal Rp 7 juta sebulan,” ujar Thompson.

“Iya, mereka miskin sekali. Minimal harus punya penghasilan Rp 7 juta,” timpal Thomson.




“Kami akan membuat rumah tapak berlapis,” ujar Thompson.

“Tepatnya rumah lapis ke atas,” timpal Thomson.

“Ini berbeda dengan rumah susun. Ini adalah rumah lapis.”

“Tepatrnya rumah lapis tidak sama dengan rumah susun. Rumahnya berlapis-lapis sampai ratusan. Bukan bersusun-susun,” Thomson mencoba menjelaskan lebih rinci.

“Ini memang dua hal yang berbeda. Kalau rumah susun itu rumah yang disusun berlapis ke atas. Kalau rumah lapis itu adalah rumah berlapis ke atas dengan disusun.”

“Betul, betul, betul…”

“Husshh! Ente Thompson apa Upin, sih?”










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.