Kolom Eko Kuntadhi: PEMECATAN TERAWAN — Dan Masalah Yang Makin Buram

Puyeng membaca kisah pemecatan dokter Terawan. Pada Muktamar IDI di Banda Aceh, Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) membuat rekomendasi. Rekomendasi itu dibacakan pada Muktamar. Isinya adalah dokter Terawan dipecat dari anggota IDI.

Apa konsekuensinya?

Karena IDI adalah satu-satunya organisasi profesi Kedokteran, jadi Terawan gak punya organisasi profesi lagi. Dia jadi dokter bebas. Gak terikat LSM apapun.

Apakah masih bisa praktek? Masih. Yang mengeluarkan dan mencabut izin praktek adalah pemerintah melalui Kemenkes. Bukan IDI.

Tapi masalahnya ada aturan, untuk mendapatkan izin praktek harus rekomendasi IDI. Kalau gak ada rekomendasi IDI, Depkes bisa menolak izin praktek.

Kalau pemerintah berkeras, Terawan masih bisa praktek. Tapi beresiko melanggar aturan.

Apa sih yang dilanggar Terawan sampai harus diadili MKEK? Itu dia, metode cuci otaknya.

Terawan memang mengerjakan metode cuci otak. Untuk pasien stroke maupun yang belum terkena stroke sebagai preventif. Sayangnya menurut MKEK, metode ini belum ada dasar ilmiahnya.

Sejak 2018 MKEK sudah punya keputusan : Terawan mengobati pasien tanpa prosesur ilmiah yang terukur. Terawan pernah dipanggil IDI menjelaskan tekniknya. Tapi waktu itu, para begawan kedokteran yang menyidang Terawan gak puas.

Mereka meminta Terawan bikin langkah uji klinis seperti layaknya semua tata cara pengobatan. Sayangnya Terawan cuek.

Padahal sampai saat ini ada 40.000 pasien yang ditanganinya. Saya gak tahu tingkat keberhasilannya. Tapi orang-orang pesohor seperti Aburizal Bakrie dan beberapa tokoh politik, pernah jadi pasien Terawan. Mereka merasa oke setelah diterapi.

Masalahnya, dalam dunia kedokteran sebuah pembuktian ilmiah bukan cuma didasari pada oke-oke para pasien tadi. Ada serangkaian uji klinis ketat yang harus diambil sebelum sebuah metode atau obat dinyatakan boleh diterapkan kepada manusia.

Hal itu yang masih mengganjal. Terawan, kabarnya, gak pernah mengikuti prosedur sesuai kaidah umum. Ia sering main terabas.

Pada 2018 rekomendasi keputusan terhadap Terawan sudah diambil. Tapi belum dieksekusi juga. Depkes sendiri waktu itu ogah-ogahan melangkah. Mungkin saja karena posisi Terawan sebagai Jenderal.

Iya, selain sebagai dokter spesialis radiologi (bukan ahli bedah syaraf atau bedah otak). Terawan juga anggota militer TNI AD. Ia kepala RSPAD.

Lantas Pak Jokowi mengangkat Terawan jadi Menkes. Lalu kembali memecatnya. Keputusan sejak 2018 itu terkatung-katung.

Nah, baru pada Muktamar IDI kemarin, keputusan terhadap Terawan diambil. Ia dipecat sebagai anggota IDI. Jeglek!

(Saya heran kenapa IDI sekarang memakai istilah Mukmatar untuk perhelatan besarnya. Mirip kayak NU atau Muhamadiyah atau Ormas Islam. Padahal sebelumnya setahu saya istilah yang dipakai adalah Kongres. Mungkinkah karena IDI kini sudah hijrah?).

Benarkah Terawan 100% melanggar kaidah ilmiah seperti yang disampaikan IDI? Ternyata ia dinyatakan lulus sebagai doktor oleh Universitas Hasanuddin. Bidang kajiannya adalah bedah otak itu!

Mungkin inilah pertanggungjawaban ilmiah seorang Terawan. Meskipun, bagi dunia kedokteran oret-oret di atas kertas disertasi gak cukup sebagai dasar ilmiah sebuah tindakan medis.

Itu latar belakangnya.

Tapi pemecatan Terawan mendapat reaksi keras juga. Terutama dari publik. Pembelaan pada Terawan terdengar luar biasa.

Saya memakluminya. Apalagi sebelum ini, IDI terdengar membela Sunardi, dokter yang mati ditembak Densus 88 karena terlibat teroris.

Saya merasa ada bias penilaian dalam melihat kasus Terawan. Bahkan ada juga yang bermain-nain dengan isu agama. “Apakah Terawan dipecat karena dia beragama Kristen? “

Pertanyaan dungu itu dilontarkan untuk menarik publik jauh keluar dari konteks.

Saya beneran bingung ketika soal Terawan ini dibetot ke tanah Cebong-Kadrun. Ditarik ke tanah agama. Disesapkan ke ranah politik. Sehingga substansi permasalahan jadi buram. Hanya karena kita hobi menarik segala masalah ke kotak hitam-putih.

Terawan mungkin kreatif sebagai dokter. Ia mencoba berbagai cara untuk menyembuhkan pasiennya. Sayangnya dunia kerja Terawan adalah dunia yang ketat. Dunia yang membutuhkan serangkaian jalan sebelum teknis pengobatan diakui sebagai terapi medis.

Bukan dunia Mbak Rara saat menghentikan hujan.

Ini sama ketika Terawan memperkenalkan vaksin Nusantara. Padahal yang dilakukan adalah terapi sel dentritik. Bukan metode vaksinasi. Makanya uji coba vaksin Nusantara tidak mendapat izin resmi dari BPPOM.

Dunia kedokteran berhubungan dengan nyawa manusia. Kadang pada konteks ini, kreatifitas bisa menjadi persoalan tersendiri.

Makanya saya agak malas melihat masalah Terawan dari sudut politis. Apalagi agama. Menghubung-hubungkan dengan Kadrun-Cebong.

Saya lebih enak menilainya sebagai problem profesi. Terawan bertindak sebagai Seniman dalam profesi yang menuntut aturan ketat. Itu saja.

Sama kayak Abu Kumkum. Ia pernah dijatuhi hukuman oleh Asosiasi Produsen Minyak Telon Oplosan karena pernah membuka rahasia kepada publik.

Ia mencampur dengan minyak pelet. “Makanya mas, bayi-bayi yang memakai minyak telonku selalu bikin gregetan buat diciumin. Itu karena rahasia ramuanku.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.