Kolom Eko Kuntadhi: PENCURIAN DILAN

Saya dulu termasuk rajin mengikuti tulisan Pidi Baiq via blognya. Tulisannya lucu, menyentil, sering menggugah dan asyik. Buku-bukunya juga saya konsumsi. Ada Drunken Monster, Drunken Mama, Al-Asbun Manfaatulngawur, juga Novel Dilan. Membaca Pidi Baiq, kita sering menertawakan diri sendiri. Dan hidup selalu diisi dengan keceriaan.

Saya ingat slogannya yang ngetop, “Jangan Lupa Bahagia.” Saya juga berteman via FB dengan kang Pidi Baiq.




Selain menulis, Kang Pidi atau sering dipanggil Ayah oleh para penggemarnya, juga musisi. Grup band The Panasdalam bergenre musik humor yang cerdas. Dia sendiri mentasbihkan sebagai Imam Besar Panasdalam. Jauh sebelum orang lain diangkat sebagai Imam Besar FPI.

Profesi lain yang digelutinya adalah ilustrator, dosen ITB, Ketua Front Pembela Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu. Pokoknya Imam besar ini lengkaplah.

Tidak heran jika si Ayah punya banyak penggemar. Setelah menerbitkan novel Dilan yang berkisah tentang cowok SMA di Bandung, capaian penggemarnya bertambah. Anak-anak ABG ikut ganderung. Apalagi setelah novelnya diangkat menjadi sebuah film. Nama Dilan, tokoh dalam Novel itu tambah melambung.

Menurut si Ayah, Dilan ditulis sejak 2013. Diperkenalkan via blognya terlebih dahulu. Lalu pada 2014 terbit novel Dilan yang pertama.

Tapi belakangan nama Dilan diambil sebagai karakter tokoh kampanye PKS, yang mensasar anak muda. Orang mempertanyakan apakah si Ayah ada perjanjian khusus dengan PKS hingga karakter utama dalam novelnya kini menjadi maskot PKS? Istilahnya PKS membayar royalti mwmanfaatkan tokoh Dilan. Jika benar, betapa kecewanya para pembacanya.

Ternyata si Ayah telah memberi klarifikasi, bahwa dia tidak ada perjanjian apapun dengan PKS. Dia juga mengungkapkan posisi netralnya salam urusan partai. Artinya nama Dilan dicomot begitu saja lalu dijadikan maskot PKS.

Yang menarik, sudah jelas-jelas ‘mencuri’ PKS masih berkelit. Mereka bilang, tokoh Dilan ala PKS diciptakan sendiri tahun 2015. Padahal jelas-jelas novel Pidi Baiq sudah terbit tahun 2014. Dan karena punya basis penggemar, tokoh Dilan dengan sendirinya sudah ngetop.

Ada dua yang dimanfaatkan PKS dari Pidi Baiq. Pertama Dilan sebagai karakter diangkut begitu saja tanpa permisi. Atau tanpa penghargaan pada karya orang lain. Ini semacam pencurian juga.

Ke dua, karena Pidi Baiq juga punya basis penggemar yang banyak dan meluas, PKS mungkin hendak mencuri suara dari penggemar si Ayah. Tentu saja Kang Pidi Baiq dua kali dirugikan. Selain tokoh ciptaanya diboyong masuk partai, juga dia jadi disalahsangkakan orang. Orang menyangka si Ayah sudah dapat ‘hidayah’, dengan masuk PKS. Padahal Bidi Baiq sampai sekarang mungkin gak pernah berjumpa hidayah nurwahid secara langsung.

Sebagai partai yang ngakunya dakwah, saya bingung jika soal pencurian sederhana ini saja dihalalkan. Bukannya meminta maaf sebagai bagian dari etika Islami, malah ngotot tokoh itu diciptakan sendiri. Seolah si Ayah-lah yang mencuri ide dari kreator kampanye PKS itu. Kayak maling teriak maling.




Jangan-jangan logika korupsi gak apa-apa, anggap saja seperti ghanimah (rampasan perang) sudah begitu mengakar. Makanya mencuri juga dihalalkan.

Jadi maling saja berdosa. Jika jadi maling sambil berteriak orang lain maling, dosanya gak cukup diangkut sebecak.

“Nama saya Dilan…”

“Nama lengkapnya siapa, dik?”

“Partai Keadilan Sejahtera…”










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.