Kolom Eko Kuntadhi: PENYULUT BOM

Bom Kampung Melayu hanya ujung yang meledak. Serpihannya terpental sampai jauh. Tapi, tahukah kamu, sesungguhnya sumbu bom itu sudah disulut cukup lama? Ketika laskar-laskar organisasi keagamaan dengan beringas mensweeping apa saja yang dianggapnya berbeda. Sesunguhnya mereka sedang menyulut bom.

Ketika anak-anak di sekolah diajarkan kebencian kepada orang yang beragama lain, sesungguhnya guru-guru mereka telah ikut menyulut bom.

Ketika para mahasiswa yang centil beragama mengobar-ngobarkan semangat jihad, lalu berbaris rapi meneriakkan pembentukan pemerintahan khalifah di Indonesia, mereka sedang menyulut bom. Ketika seorang yang memakai sorban berkata di sebuah acara televisi swasta, Ahok harus dipotong tangan dan kakinya, sesunguhnya dia telah ikut menyulut bom.

Ketika orang yang mengaku ulama lebih sibuk menjadi korlap demonstrasi ketimbang mengajarkan kebaikan akhlak. Para lelaki berjubah itu sedang menyulut bom. Ketika barisan demonstran dengan garang memaki warga Tionghoa dengan kata ganyang. Mereka telah ikut menyulut bom.

Ketika kata-kata kafir dilontarkan dengan nada penuh kebencian, mereka semua sedang menyulut bom. Ketika spanduk-spanduk di mesjid menyuarakan menolak mensholatkan jenazah orang yang berbeda pilihan politik. Mereka sedang menyulut bom. Ketika status di media sosial mengobarkan kebencian rasial dan agama, sesungguhnya pembuat status itu sedang menyulut bom.




Ketika demonstrasi berjilid-jilid tak berkesudahan yang dihiasi kata-kata kasar dan caci-maki para oratornya, sesungguhnya mereka semua sedang menyulut bom. Ketika mimbar-mimbar masjid dijadikan ajang kampanye politik yang mengutuk-ngutuk penuh kedengkian, yang menyebarkan bara permusuhan pada pemeluk agama berbeda, para khotib itu sesungguhnya sedang menyulut bom.

Ketika baiat para jawara untuk memenangkan pasangan gubernur tertentu, dengan tangan mengacungkan golok, mereka sedang menyulut bom. Ketika ajang kampanye dihiasi dengan intimidasi, mereka sedang menyulut bom. Ketika mulut politisi tua bangka terus menerus menyerocos menebarkan permusuhan dan kecurigaan tanpa bukti, sesungguhnya dia juga sedang menyulut bom.

Ketika kita diam saja dengan semua kedegilan itu, kita memilih menghindar padahal di depan mata sedang terjadi kegiatan merobek-robek bangsa ini dalam jurang kebencian. Kita juga ikut menyulut bom.

Lantas, ketika bom-bom itu benar-benar meledak di Kampung Melayu, kita semua kaget. Atau pura-pura kaget. Kita semua miris melihat serpihan tubuh yang tanggal dan sempal dari badan. Kita semua ngeri. Padahal, jangan-jangan, kitalah yang selama ini aktif menyulut dentuman bom itu di masyarakat.

Sebagian kita, mungkin saja sudah layak menyandang gelar teroris, dengan berbagai perannya…








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.