Kolom Eko Kuntadhi: REUNI 212, MEREKA SELALU GAGAL MENGALAHKAN AHOK

Kaum 212 mau menggelar reuni di Monas. Gubernur 212 katanya mau hadir juga. Entahlah, mereka memang hobi bikin keramaian. Masa, demonstrasi ada reuni segala? Reuni untuk apa? Untuk perjuangan agama? Perjuangan dari apa?

Saya yakin mereka yang mau reuni itu menganggap Umat Islam di Indonesia ini bodoh kuadrat. Gampang ditipu.

Ketika demo 212 saat Pilkada, mereka bawa-bawa membela agama. Membela agama yang besar dan agung itu dari seseorang yang kepleset lidahnya. Dan orang itu sudah minta maaf. Dan semua tahu, kecuali lidah yang dianggap kepleset, Ahok punya jasa tidak sedikit bagi umat Islam Jakarta.




Ia menginisiasi pembangunan Masjid Raya Jakarta. Ia juga mendorong pembangunan masjid di balai kota. Ia memberangkatkan umroh para marbot dan pengurus musholla. Ia banyak membantu kehidupan rakyat Jakarta, yang nota bene sebagian besar adalah umat Islam.

Dalam hidupnya, Ahok tidak pernah memusuhi ajaran Islam. Ia memang berbeda agama. Tapi berbeda agama hanyalah berbeda cara mendekati Tuhan. Berbeda tidqk sama dengan bermusuhan. Hanya orang picik yang menganggap berbeda adalah sebuah permusuhan.

Mereka mengerahkan seluruh kekuatan umat hanya untuk melumatkan orang yang sedikit terselip lidah. Itupun karena omongannya diedit oleh Buni Yani. Dan Ahok sudah minta maaf. Berkali-kali. Tapi, adakah sifat pemaaf mereka tunjukan? Tidak.

Ok, anggap Ahok sempat terselip lidah. Tapi melawan orang yang hanya terselip lidah dengan mengerahkan ribuan umat Islam, apa gak berlebihan? Apa gak malah norak?

Ohh, kasian umat ini. Terus menerus menuntut pengakuan atas kebesarannya. Mungkin karena rasa minder dalam dirinya hingga sikapnya aneh-aneh terus. Selalu over acting.

Kelakuan mereka seperti preman yang sedang minum kopi di warung. Ada anak kecil gak sengaja menumpahkan kopinya. Anak itu sudah minta maaf berkali-kali. Tapi preman itu tetap marah. Lalu mengundang teman-temannya se-gank yang terkenal beringas untuk menghajar anak kecil itu. Dihajar sampai babak belur. Dihajar sampai ludes.

Lalu, para preman itu merasa menang. Para preman menganggap dirinya sebagai preman paling jago di muka bumi. Hanya karena mereka bisa mengalahkan seorang anak kecil polos yang tidak sengaja menumpahkan kopinya.




Nah, preman-preman itu mau memperingati hari kejayaan preman dengan menggelar reuni. Reuni para preman beringas karena berhasil mengalahkan anak kecil yang gak sengaja berbuat salah.

Sama kayak reuni 212. Reuni yang diperingati karena berhasil mengalahkan Ahok. Mengalahkan seorang yang sesungguhnya tidak bermaksud bermusuhan. Bedanya dengan preman, reuni 212 ini memakai simbol-simbol agama.

Jadi, mereka berfikir bahwa dengan simbol-simbol agama mereka menunjukan kemenangan Islam? Kemenangan dari siapa? Dari orang yang tidak sama sekali memusuhi Islam.

Aneh, kan? Mereka menang bertempur dari pihak yang bukan musuh.

Tapi masalahnya begini. Mereka merasa penting untuk terus menerus menglorifikasi diri seolah-olah menang. Seolah-olah hebat. Seolah-olah digjaya.

Sesungguhnya itu hanya ungkapan mental pecundang. Mental yang selalu merasa kalah. Ketika ada momen yang merasa menang sedikit saja, mereka akan terus mengingat-ingat hal itu. Selaku bernostalgia. Tapi bukankah justru hal itu menunjukan mereka gak punya prestasi lain yang bisa dibanggakan?

Inilah kami. Mewakili umat Islam yang kata Alquran sebagai umat terbaik. Tahukah kalian apa prestasi umat terbaik ini? Prestasi terbesar kami adalah berhasil menggelar demo 212.




Dan, karena itu satu-satunya prestasi. Maka mereka butuh untuk terus menerus membicarakannya. Terus menerus memperingatinya.

Ketika mereka hendak menggelar reuni 212 Desember ini, saya justru makin kagum dengan Ahok.

Reuni dan demo 212 itu justru menandakan bahwa Ahok tidak pernah mereka kalahkan. Mereka hujat beramai-ramai. Mereka nistakan beramai-ramai. Mereka cerca beramai-ramai. Bahkan sampai Ahok masuk penjara.

Tapi tidak pernah puas juga hati mereka. Kenapa? Karena Ahok ternyata tidak juga kalah. Mereka nista lagi, Ahok gak juga terjengkang. Setiap tahun mereka bikin reuni, Ahok tetap begitu saja. Seperti biasanya. Tidak lumat juga.

Mereka mungkin lelah dengan pertempuran di kepala mereka sendiri. Mereka mungkin capek dengan permusuhan yang menyembul dalam diri mereka sendiri. Tapi mereka gak jera juga. Mereka terus menerus marah. Mereka menggelar reuni 212 untuk memperingati kemarahannya itu.

Mereka ingin menari memperingati kemenangan. Tapi setiap kali mereka menggelar reuni, sesungguhnya mereka tetap tidak pernah merasa menang atas Ahok. Sebab reuni harus digelar lagi, dan lagi, dan lagi untuk mengalahkan Ahok lagi.

Mereka lelah. Justru karena Ahok menggapai mereka sebagai saudara sebangsanya. Bukan sebagai musuhnya.




“Jangan pernah lelah mencintai bangsa ini, ya Hok,” begitu nasihat ayahnya pada Ahok muda.

“Mas, ketimbang biayanya buat reuni 212 lebih baik disumbang buat kampanye Prabowo, kan?” Bambang Kusnadi memberi saran.

“Lho, reuni 212 itu kan, memang kampanye Prabowo, Mbang,” Abu Kumkum langsung menyambar.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.