Kolom Eko Kuntadhi: SERUAN KASIH SAYANG DI TENGAH SENGKETA

Siapakah contoh pemimpin yang dijadikan pujaan para kader PKS? Recep Tayeb Erdogan!

 

Bagaimana hubungan Erdogan dengan Israel? Boleh dibilang sangat mesra. Turki dan Israel sejak lama membangun hubungan diplomatik. Tentu banyak kerjasama diantara dua negara ini baik dari sisi perdagangan, politik dan kemiliteran. Tapi, bagi PKS, Erdogan tetaplah pemimpin pujaan mewakili umat Islam dunia. Peduli setan dengan kemesraan Erdogan dengan Israel.

Sambil memuja Erdogan, mereka kini mencaci maki kunjungan Kyai Yahya Tsaquf ke Israel. Padahal tujuan kehadiran Gus Yahya memberikan ceramah tentang perdamaian. Semua setuju, pembicaraan tentang perdamaian memang cocok disampaikan ke tengah-tengah bangsa yang sibuk berperang. Gus Yahya menyerukan itu, atas nama Islam yang rahmatan lil alamin.




Tapi, ceramah tentang perdamaian di Israel tampaknya lebih nista dibanding bekerjasama secara erat dengan negara tersebut. Jadilah Gus Yahya diserang karena memberikan kuliah di Israel, dan Erdogan tetap dipuja karena bekerjasama dengan Israel. Itulah cara berfikir paling menakjubkan.

“Yang mikir seperti itu, pasti orang PKS, kan mas?” ujar Abu Kumkum.

Ada lagi yang membingungkan. Wakil Ketua DPR Fadli Zon merongsong tentang kedatangan seorang Gus Yahya ke Israel. Fadli menuduh Gus Yahya tidak etis datang ke Israel. Bahkan ada cuitan Fadli yang akhirnya membuat warga NU marah. Sebab kesannya memang merendahkan Gus Yahya.

Cuitan ini direspon oleh Nuruzaman, kader Ansor yang selama ini aktif di Gerindra mengundurkan diri dan menyatakan bersiap melawan Gerindra.

Nuruzaman, kader NU yang mengundurkan diri dari Wasekjen DPP Partai Gerindra karena tidak senang Kiyai Yahya Cholil Staquf dicaki maki oleh Fadli Zon.

 

Afiliasi ideologis Nuruzaman memang beda dengan Fadli. Sebagai kader NU, Nuruzaman menempatkan kyai sebagai panutan yang harus dihormati. Itulah sikap santri. Makanya ketika kyai-nya direndahkan oleh Fadli, Nuruzaman ngamuk. Dia lebih baik kehilangan posisi di Gerindra ketimbang harus bergabung dengan orang yang menghina guru-nya.

Fadli menyerang seorang kyai yang sangat dihormati di kalangan Nahdiyin. Serangan Fadli bukan hanya menyentil Kyai Yahya Tsaquf dan Nurzaman, tetapi juga menyentil seluruh kader NU. Fadli mengusik sebuah organisasi besar.

Padahal sebagai pejabat negara, Fadli pernah petantang petenteng menghadiri kampanye Trump di AS. Berfoto-foto layaknya cheerleader. Kalau mau bicara etika, tindakan itu justru lebih tidak beretika. Seorang pejabat publik memberi dukungan politik pada salah satu Capres di luar negeri.

Sedangkan kehadiran Kyai Yahya Staquf ke Isreal sebagai pembawa pesan damai. Pembawa himbauan kesejukan. Dia hadir sebagai seorang Kyai, tokoh agama, dari sebuah negara muslim terbesar di dunia. Kyai Yahya Tsaquf memainkan perannya sebagai seorang ulama, sebagai guru, hadir sebagai seruan moral. Orang yang ke mana-mana menyerukan perdaiaman. Di hadapan publik Israel dia menawarkan sebuah makna tentang Rahmatan lil alamin. Di hadapan bangsa yang sedang menindas bangsa lain dia menyuarakan tentang makna kemanusiaan.




Dia tahu, kedatangannya akan dijadikan sasaran serangan. Dia mengerti, ada sebagian orang yang mengartikan bantuan untuk Palestina hanya bisa dilakukan dengan jalan perang. Jalan kekerasan. Jalan permusuhan. Jalan berdarah-darah. Maka orang yang menawarkan jalan damai akan diartikan sebagai musuh.

Bisakah di tengah jalan keras dan terjal itu, ada suara yang menyerukan tentang kelembutan dan damai? Ada suara yang menyerukan saling pengertian dan berhenti membenci. Ada suara soal rahmah? Harusnya bisa. Dan amat bisa.

Kyai Yahya Staquf sedang menyuarakan itu. Atas nama pribadinya. Sebagai warga NU. Sebagai warga Indonesia. Sebagai warga dunia yang capek dengan jerit tangis dan peluru di Palestina.

“Saya di sini berdiri untuk Palestina,” ujarnya mantap.

Sebab, Palestina tidak hanya butuh orang-orang sok jago yang hanya pandai berteriak perang. Konflik Palestina dan Israel juga membutuhkan kotbah kemanusiaan dan kasih sayang baik untuk dirinya maupun untuk musuhnya. Perang hanya salah satu cara. Ada banyak cara lain untuk menyelesaikan masalah. Bagi seorang kyai seperti Yahya Tsaquf, perjuangan bisa dilakukan dengan cara yang lebih adem. Cara yang menghargai peebedaan dan mendahulukan kasih sayang.

Jika semua orang hanya sibuk menyerukan perang, bagaimana nasib Palestina yang gak punya apa-apa berhadapan dengan Israel yang memiliki segalanya? Keuntungan apa yang didapatkan rakyat Palestina? Tapi sudahlah. Di Indonesia isu Palestina memang seksi diperdagangkan. Makanya dijadikan senjata menyerang lawan politik. Bahkan berceramah tentang kasih sayang di Israel saja dianggap jadi musuh.

Isu Palestina dan Israel juga seksi, untuk mereka yang sok heroik bahwa memperjuangkan hak rakyat Palestina hanya pantas dilakukan dengan senjata dan kekerasan. Seolah cuma itu jalan satu-satunya. Bagi orang sejenis ini, seruan moral Kyai Yahya Tsaquf di Israel akan dianggap sejenis penghianatan. Tanpa bermoral mereka mencaci maki orang yang sedang bergerak membawa misi perdamaian dan kemanusiaan tersebut.

Padahal perjuangan sebuah bangsa tidak cukup hanya dengan satu jalan. Indonesia dulu punya Dipenegoro dan Jenderal Sudirman. Mereka berjuang angkat senjata. Tetapi juga punya Sutan Syahrir dan Hatta, pejuang di meja diplomasi.

Keduanya saling melengkapi.

HEADER: Kiyai Yahya Tsaquf bersalaman dengan Jokowi disaksikan oleh JK dan Megawati Soekarno Putri (Foto: Antara Jateng)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.