Kolom Eko Kuntadhi: PAPUA KEMEWAHAN DAN AIR MATA

Saya pernah ke sebuah lokasi yang susah diakses di Papua. Posisinya di atas gunung. Perjalanan ke sana hanya via pesawat kecil, berisi 5 – 6 orang. Distrik Puldama, di Pegunungan Oksibil. Tidak ada akses jalan. Gedung sekolah dengan fasilitas seadanya. Hanya ada satu guru untuk seluruh murid SD.

Itupun statusnya honorer.

Ada Puskesmas. Tapi jaraknya sehari jalan kaki. Cuma ditunggui oleh mantri lulusan SMU. Kalau ada pasien, sakit apapun, obatnya sama: vitamin C dan aspirin.

Masyarakatnya tinggal di honay, rumah jerami. Hidup di sana, waktu seperti berjalan pelan. Lelet sekali. Sebab gak banyak aktifitas yang dapat dilakukan. Suasana gelap gulita tanpa penerangan.

Untung saja waktu itu ada program desa terang dari ESDM. Setiap honay dapat satu panel surya, dua lampu, dan batere penyimpan energi. Jadilah ada setitip cahaya di setiap honey itu bila malam turun.

Komunikasi dengan dunia luar terhenti. Wong, gak ada sinyal. Paling ada satu pesawat walkie talkie untuk menginformasikan pesawat yang landing di jalur berbatu itu.

Di Nduga, lain lagi kisahnya. Satu Kabupaten Nduga, jalan aspal paling hanya 5 kilometer saja. Selebihnya jalan seperti kubangan kerbau. Bayangkan, bagaimana kemajuan bisa menyentuh rakyat dengan kondisi transportasi seperti ini.

Keterbelakangan. Isolasi akibat alam yang keras. Pada akhirnya membuat masyarakat di pegunungan Papua sulit untuk berkembang maju. Wajar jika di sana akhirnya berkembang KKB karena mereka merasa diperas oleh Jakarta.

Padahal, kalau mau jujur, Pemerintah Pusat telah mengucurkan dana tidak sedikit ke Papua. Dana Otsus disalurkan untuk Papua dan Papua Barat sangat besar. Jumlahnya sampai Rp 8,6 triliun setahun.

Tapi, ke mana dana itu mengalir? Kenapa jalan-jalan di Papua masih seperti kubangan kerbau padahal sudah banyak sekali support dikucurkan Jakarta? Bagaimana kondisi sekolah di sana? Puskesmas. Sarana publik lainnya?

Kalau kita ke Jayapura atau Fakfak mungkin lain cerita. Kondisinya tidak beda dengan kota-kita lain di Jawa. Tapi coba tengok Nduga, Pegunungan Jaya, Puncak Jaya, Asmat. Kita akan menemukan wajah kemiskinan bercampur dengan keterbelakagan. Mereka seperti diisolasi oleh keterbatasan jalan dan akses transportasi.

Sekalinya mau dibangun jalan, KKB menembaki para pekerja. Sepertinya mereka memang sengaja untuk membiarkan Papua terisolasi. Tidak bisa ditembus. Atau menghalangi kemajuan.

Untuk apa?

Mungkin dana Otsus yang besar itu hanya dinikmati segelintir elit Papua saja. Berputar di sana untuk dirinya sendiri. Biasanya ketika Jakarta mau mengoreksi penggunaan dana Otsus, KKB langsung beraksi. Kekerasan seperti jadi bargaining agar Jakarta jangan pernah menanyakan kemana duit pusat dialirkan.

Tapi sampai kapan kita biarkan saudara-saudara kita di Papua menderita? Sampai kapan mereka dicekoki kebohongan bahwa mereka miskin karena kekayaan Papua diangkut ke Jakarta?

Padahal aset yang didapat Jakarta dari Papua, dibanding yang dikembalikan lagi ke sana dalam berbagai bentuk DAK, DAU, Dana Otsus boleh dikatakan berimbang. Masalahnya, duit itu larinya ke mana?

Inilah masalahnya. Pemerintahan dulu sering malas mengutak-atik elit Papua karena ancaman kekerasan KKB. Ketika korupsi mau ditangani, mereka pasti memainkan isu ketidakadilan rasial. Padahal ujungnya demi hanya memuaskan keserakahan saja.

Jika tidak cepat ditangani masalahnya, kasihan rakyat Papua. Khususnya yang tinggal di pegunungan. Mereka dicekoki kebencian kepada pendatang agar tetap mengisolasi diri. Agar para elit bebas merampok. Kemiskinan dipertahankan untuk minta dana Otsus. Kekerasan jadi sarana bargaining. Dan para elit mendapat hasil paling banyak.

Bu Sri Mulyani sebel karena permainan seperti ini. Pak Jokowi juga sudah capek. Niat baik Pemerintah Pusat justru dihambat oleh elit di daerah.

Maka diambil lah langkah itu. Persetan dengan ancaman KKB. Persetan dengan gaya elit Papua yang selalu mengumbarkan masalah rasial. Para koruptor harus ditangani.

Sudah jadi rahasia umum, para kepala daerah di Papua, lebih banyak berkantor di Jakarta dengan segala kemewahannya. Ketimbang mengurus kemiskinan di daerahnya. Mereka gak peduli dengan kemajuan rakyatnya.

Maka, sebulan belakangan ini, dua kepala daerah Papua disasar. Pertama adalah Bupati Meembrano Tengah, yang kini kabur ke Papua Nugini. Dia mungkin kabur membawa segepok harta rampasan duit rakyat.

Kini Lukas Enembe, Gubernur Papua yang diseret KPK. Yang paling nyesek, PPATK menyingkap sekitar Rp 560 miliar duit negara masuk ke perjudian di LN. Mungkin Las Vegas. Mungkin Marina Bay. Entahlah.

Sudah jadi rahasia umum, kader Partai Demokrat ini memang sering nongkrong di pusat-pusat judi dunia. Dua tahun lalu, bahkan foto Lukas sedang duduk di depan meja judi sempat viral.

Menkopolhukam Mahfud MD bilang, kasus ini satu dari puluhan kasus korupsi di Papua dengan jumlah duit sahohah. Pernyataan Mahfud ini menandakan pemerintah sudah gerah dengan kelakuan elit lokal. Mereka menari dan bergelimang kemewahan dengan tetap mempertahankan kemiskinan warganya.

Jika perilaku elit Papua tidak cepat diberesin, rakyat Papua akan terus menjerit. Dan kemiskinan sering kali seperti jerami.

Mudah terbakar…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.