Kolom Ita Apulina Tarigan (Surabaya): MANUSIA MERDEKA

Ketika Belanda membangun perkebunan di Sumatera Timur, orang Karo adalah sumber gangguan kelancaran perkebunan. Menurut beberapa catatan harian para tuan kebun dan makelaar, orang Karo mereka beri julukan ‘vrijman’ yang berarti orang merdeka, yang kemudian kita pelesetkan menjadi preman. Kenapa mereka disebut orang-orang merdeka?

Yang jelas, kalak Karo tidak segan-segan membakar bangsal tembakau dan menolak tunduk pada colonial. Tidak ada yang bisa mengatur mereka bahkan para sibayaknya, sebab orang Karo tidak mengenal yang namanya feodalisme.

Ini juga sebabnya, akhirnya orang-orang kebun itu mendatangkan orang China daratan, orang Jawa dan Batak sebagai kuli. Pengalaman mengajarkan, orang Karo tidak bisa mereka andalkan untuk pekerjaan perkebunan. Selain itu, mereka juga takut pada orang-orang Karo.

Ketika Datuk Sunggal menghajar perkebunan, saya membayangkan sebuah rasa sakit karena cinta. Di satu pihak, Sultan Deli adalah anak berunya yang mengawini Beru Surbakti dan si anak beru inilah yang menjadi makelaar tanah. Di pihak lain, rasa cinta pada tanah dan masyarakatnya yang dikangkangi oleh kapitalis perkebunan.

Tersakiti, karena cinta kalimbubu kepada anak beru tidak mendapat respon yang seharusnya. Cinta tidak memberi jalan keluar, malah memperparah keadaan sebab konsekwensi cinta adalah memberi dan menuntut. Bagaimanapun, Datuk Sunggal harus memilih.

Di perjalanan sejarah selama 25 tahun dia berjuang sampai habis, di akhir cerita Datuk Sunggal ditangkap di Nang Belawan oleh pengkhianatan orang Karo sendiri, kemudian di buang ke Jawa Barat hingga matinya. Sakitnya tidak bisa pulang ke tanah kelahiran hingga akhir menutup mata.

Jika kemerdekaan memilih tidak selalu mendatangkan rasa bahagia, lalu, mengapa masih banyak orang rela berkorban nyawa demi kemerdekaan?

Merdeka tidak berarti secara absolut bebas melakukan apa saja. Merdeka itu, ketika kita dengan sadar membuat suatu keputusan yang bertanggungjawab dalam situasi dimana tidak banyak pilihan. Berani berkata ‘tidak’ pada sesuatu yang dijejalkan kepada kita sudah menegaskan bahwa kita adalah orang yang merdeka.

Merdeka adalah sebuah paradoks. Merdeka tidak menjamin hidup lebih baik, bahkan bisa jatuh ke dalam lembah sengsara. Tetapi merdeka berarti membebaskan diri dari luka, penindasan agar dalam kemerdekaan itu bisa menentukan dan membuat keputusan sendiri, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk bebas.

Bebas menjadi diri sendiri. Itu sebabnya kemerdekaan itu patut diperjuangkan dengan segala resikonya.

One thought on “Kolom Ita Apulina Tarigan (Surabaya): MANUSIA MERDEKA

  1. Back to your roots. Karo roots memang gemilang, indah dan merdeka, penjajah sendiri sebagai kekuasaan besar bisa merasakan dan mengakui, terlihat dari artikel tulisan Ita Apulina Tarigan.

    Karo semakin gigih terus berjuang lebih menyempurnakan kemerdekaannya dalam segala bidang, culture, ilmu pengetahuan dan juga secara psikologis. Untuk itu sekarang Karo mulai mengatur keserentakan langkahnya.

    Banyak ide, gagasan yang semakin dikembangkan lewat tulisan-tulisan, aksi dan kedinamisan yang semakin tinggi. Kebebasan Karo adalah roots yang sesungguhnya bagi perkembangan dan kemajuan Karo. Kebebasan sebagai etnis mandiri, jatidiri yang kuat dan jelas, semakin teliti mengawasi usaha-usaha pengaburan identitas Karo. Identitas yang kuat dan jelas bagi semua etnis, dan pengakuan serta penghargaan atas semua identitas, kultur/budaya dan daerahnya, merupakan basis kedamaian antar etnis di negeri multietnis Indonesia.

    MUG

Leave a Reply to MUG Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.