Kolom Ita Apulina Tarigan: IBU PERTIWI DI 69

ita-13.jpgSuatu malam, Ibu Pertiwi pernah datang kepadaku. Tidak ada kata terucap, hanya tatapan sayang dan senyuman hangat, sehangat pelukan.


Duka lara sirna sesaat tetapi kemudian membuat rindu semakin menyesak dada. Kesadaran mengatakan, mungkin Ibu Pertiwi tidak akan kelihatan lagi untuk waktu yang lama.

Aku cari dia di sawah yang menghijau. Kata belahan jiwaku dia mungkin bersemayam di sana. Hijau daun padi melambai diterpa angin. Tertunduk lesu menatap bata-bata bersusun yang sebentar lagi menjadi gedung tinggi. Dia tidak ada di sana.

Lalu, aku bertanya kepada angin dan matahari.

“Bagaimana mungkin kami hidup jika Ibu kami tidak ada bersama kami?”

Matahari tertawa sangar menyengat kulit. Lentikan cahayanya berkata: “Sejak kapan kau mencintai ibumu? Renta uzur usianya, dihantam cangkul, traktor, bor, meneteskan airmata menahan sakit, tapi kamu anak-anaknya hanya tertawa dan pura-pura tuli.”

Setelah 69 tahun ini, mungkin Ibumu akan kami ambil. Tinggalah kamu di tanah tak berjiwa, bendera tak bernyawa. Waktumu tak lama. Jika ingin Ibumu kembali tunjukkanlah kau punya cinta. Cinta tidak kenal menyerah, meski sakit terus berjuang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.