Kolom Ita Apulina Tarigan: KETIKA MAUT MEMISAHKAN KITA

wardin 1Jam segini baru bangun sungguhan, setelah tadi bangun 2 kali lalu tidur lagi. Dapat bbm dari Averiana: Enggo seh tenahndu man Impalndu kakak, katanya. Lalu aku minta dia menyampaikan pesanku kepadanya, setelah kemarin sibuk dan lupa mengupdate Jimmy dan John. Sambil kedap-kedip berpikir dan mengingat banyak hal. 


Tadi, early in the morning, sebelum tidur bang Juara bilang: “Lanai kap lit penarunenta e, me. Radu lawes kel ia kerina.”

Aku mengerti maksudnya. Penarunenta maksudna, penarune yang selama ini mau bekerjasama dan berjalan bersama dengan kita-kita yang awam dan pemula tanpa memikirkan imbalan. Uga pe banci gelah jore kerina.

Pertama, kepergian penarune muda Bale Tarigan dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di Kabanjahe seusai mengiringi upacara kematian di sana. Penarune yang satu ini sejak kanak-kanak sudah dikenal sebagai penarune, meninggal dalam usia muda meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil. Si jenius yang menurut kita perjalanan musiknya masih panjang.

Kemudian abang Djasa Tarigan, terlalu banyak perjalanan bersama dalam soal revitalisasi musik tradisi Karo. Berkali-kali bergabung bersama Sora Sirulo. Iya, bergabung begitu saja dengan ongkos sekedarnya, sama seperti anak-anak sanggar lainnya. Kepergiannya mengejutkan banyak orang. Bagiku, sampai hari ini banyak hal-hal yang tidak bisa kuungkapkan tetapi jika dipikirkan sungguh membawa sedih.

Kemudian abang Jabal Sembiring. Penarune dan juga pembuat alat musik tradisi. Karena dia tinggal di Deliserdang tidak begitu dikenal di kebanyakan orang Karo. Semangatnya luar biasa. Pertemuan pertama kami di sebuah sekolah kuta-kuta di Sibiru-biru. Saat itu, dia mengajarkan tari dan memainkan ketteng-ketteng kepada anak-anak sekolah. Di rumahnya juga, dia masih mengajari anak-anak kampung bermain musik tradisi. Dalam beberapa kali pertunjukan Sanggar Seni Sirulo, dia selalu membawa anak-anak didiknya untuk mendapatkan pengalaman katanya. Aku yakin benih-benih kecintaan tradisi yang dia tanamkan akan berbuah kelak.

Lalu sekarang bang Wardin Ginting. Siapa yang tidak kenal dia sebagai pemusik tradisi yang masih banyak ingat dengan repertoar-repertoar kuno. Kerendahan hatinya sungguh tiada dua. Datang ke Sanggar, meski malam mengajarkan kami segala macam repertoar dan memperbaiki kesalahan-kesalahan gerakan tari, filosofis, syair-syair. Jika hari sudah terlalu malam, anak-anak sanggar memandu mobilnya, karena matanya sudah tidak awas akibat sakit gula.

Tangis kel aku. Perjalan panjang kita dengan orang-orang besar ini, lalu terhenti ketika maut menunjukkan taringnya. Kenapa maut begitu cepatnya mengambil mereka? Tahukah engkau kalau mereka adalah penunjuk jalan pulang bagi kami? Jiwa-jiwa yang tercerabut dari akarnya, yang sudah jauh dari akarnya, dari tanahnya? Kami masih butuh mereka!

Adek-adekku, aku ingin mengingatkan kalian satu hal. Adanya Sanggar Seni Sirulo adalah karena mereka-mereka ini. Mereka yang sudah lebih dulu di jalan itu, dan kita mengikutnya. Aku minta kita kenangkanlah mereka malam ini, dengan doa, tari, lagu, syair, mangmang, kulcapi, ketteng-ketteng, surdam, belobat dengan apa saja yang sudah pernah mereka ajarkan pada kita.

Dengan airmata aku rangkaikan huruf ini, kiranya Dibata si Mada Tinuang masih berbelas kasihan kepada kita untuk menghadirkan spirit mereka di tengah-tengah orang Karo.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.