Kolom Joni H. Tarigan: Aku Dilahirkan Telanjang





Ah, cuaca sangat dingin di Bandung bagian Selatan ini. Ya, saya tetap saja merasa kedinginan dengan suhu di bawah 25º C, walaupun sebelumnya sugnya  tidak mampu menahan diginnya udara luar. Itu ketika musim dingin 2009 di kota kecil Vlissingen, Belanda. Saya jadi merindukan musim dingin itu, karena begitu special dimana kulkas pun tidak ada isinya.

Sambil menahan dingin, saya dikejutkan dengan suara erangan kucing di depan jendela rumah kami. Di bawah siraman gerimis, akhirnya saya menemukan seekor kucing yang sedang membawa anaknya berteduh.

“Ma, rejeki pasti selalu menyertai kita. Lihat, ini kucing bawa anaknya lagi,” teriakku kepada istri.

Memang, selama tahun 2016, sudah 3 generasi kucing lahir di sekitar rumah kami. Bahkan saat awal kami pindah ke rumah ini, kami disambut dengan kelahiran seekor kambing.

Ada cerita, mungkin mitos, di tengah keluarga kami di kampung bahwa kelahiran kucing di rumah menandakan rumah itu mencitai kehidupan, dan karenanya rejeki kehidupan akan datang. Itulah sebabnya saya berteriak kepada istri bahwa kami akan mendapat rejeki. Untuk yang baik, tentu saja mitos ini kami pakai sebagai bagian dari penjagaan semangat kami melakukan kebaikan dalam hidup, yang pada akhirnya, kami ingin kebaikan itu membuat orang lain menjadi baik juga.

 


[one_fourth]Kelahiran[/one_fourth]

Sebagai manusia tentu saja kelahiran itu merupakan kabar gembira. Orangtua saya tentu bahagia ketika saya lahir. Saya kini sudah menjadi seorang ayah juga, dan memang sangat bahagia mendengarkan tangisan kelahiran putra saya. Kebahagiaan itu pun tidak lupa diungkapkan lewat syukur dan doa semoga anak kami menjadi abdi kebaikan. Hebat, bagi kami adalah ia akan menjadi jalan kedamaian bagi orang lain.

Pertanyaan ini pun kemudian muncul dalam fikiran: “Adakah seorang manusia lahir tanpa telanjang?”

Saya pun menjawab, berdasarkan pengalaman kelahiran putra kami, tidak ada yang lahir dengan berbalut baju, sehelai benangpun tidak. Saya ingat juga, kelahiran kucing, kambing, dan peliharaan lainnya, tidak ada yang lansung berbulu lebat untk menahan dingin, ketika lahir. Kesimpulan saya semua mahluk lahir dalam keadaan telanjang.

Saya pun berbicara kepada diri: “Semua makhluk lahir telanjang. Manusia juga lahir telanjang. Di sinilah titik dimana semua manusia itu sama, yakni telanjang  saat dilahirkan. Orang yang keluarganya berlatar belakang apapun tidak bisa menyangkal bahwa ia lahir telanjang.”

Kita dilahirkan telanjang, menurutk saya, tidak hanya telanjang badan. Pikiran dan hati kita pun masih telanjang. Mata kita juga sama telanjangnya. Pun demikian telinga masih telanjang. Telanjang lahir dan batin.

Setelah lahir, orangtua kita membalut kita dengan kain supaya mendapatkan kehangatan. Sejak itu pula kita sudah tidak telanjang lagi. Perlahan, seiring waktu,  pikiran, hati, panca indera kita pun sudah tidak telanjang lagi. Orang- orang di sekitar dan lingkungan kita yang menutupnya.

Bathin yang telanjang ketika lahir seperti kertas putih yang bersih tanpa noda.  Sebagai orang yang percaya akan Tuhan Yang Maha Esa, kepolosan jiwa itu adalah dasar yang sangat baik, manusia dilahirkan sama yakni dalam kebaikan dan untuk kebaikan.

Setelah tumbuh dewasa, seperti saat ini, kita melihat perbedaan yang tidak bisa kita hindari. Mungkin selama ada mahluk yang mengisi jagat raya, maka selama itu pula perbedaan itu tidak akan pernah lenyap. Di Indonesia khususnya, perbedaan itu justru menjadi alat perpecahan.  Jiwa yang telanjang atau polos itu kini sudah berbalut baju kehidupan.


[one_fourth]kita bisa mendiami bumi ini karena …[/one_fourth]

Perbedaan itu juga menjadi bagian dari kita untuk saling mencederai, saling menghujat, saling menghukum. Ada yang menghujat, ada yang terhujat. Perbedaan itu seharusnya tidak merubah kebaikan hidup. Jiwa yang polos itu seharusnya kita balut dengan pemikiran, perkataan, dan perbuatan yang  baik. Apa yang kita lihat dan alami saat ini adalah  jiwa yang memakai perbedaan tidak untuk saling menguatkan, kita seakan tidak sadar bahwa kita bisa mendiami bumi ini karena perbedaan Kutub Utara dan Kutub Selatan. Coba kita bayangkan apa jadinya jika tidak ada perbedaan Kutub Utara dan Kutub Selatan? Apakah kita masih bisa menikmati daratan dan lautan?

Kita butuh perbedaan yang saling mengisi kekosongan kita masing-masing. Tidak ada yang sempurna. Untuk kesempurnaan yang sejati, perbedaan itulah peluang kita menuju kesempurnaan hidup.




Kita lahir dan dikenakan baju oleh orangtua kita. Demikian juga kehidupan ini, kita orangtua memiliki peran penting dalam menentukan warna jiwa anak-anak kita. Kita orangtua juga seharusnya bertanggungjawab atas apa yang sedang terjadi di Tanah Air.

Mungkin kita orangtua belum mampu membalut jiwa anak-anak kita dengan baju kebaikan, bahwa berbeda itu anugerah, damai itu tidaklah damai jika orang lain tercederai. Harkat dan martabat seseorang tidak akan terangkat ketika merendahkan harkat dan martabat orang lain.

Sebagai orangtua, marilah kita hadapi tantangan zaman ini dengan kembali melihat bahwa kita dilahirkan sama, yakni telanjang lahir dan bathin. Mari kita bantu anak-anak kita agar hidup mereka terbalut dengan kebaikan dan kedamaian. Mereka memang akan tumbuh dewasa, akan tetapi kita berperan dalam membentuk pondasi pijakan hidup anak-anak kita, yakni kebaikan.

Salam Semangat dan Perjuangan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.