Kolom Joni H. Tarigan: AKU TELAH KEMBALI

Aku tidak ingin menjadi seperti ayah kebanyakan di kampung dimana aku lahir dan dibesarkan. Ayahku sendiri adalah satu dari kebanyakan mereka, yang berharap anaknya menjadi yang terbaik tetapi sebagai ayah mereka tidak pernah terlibat sangat akrab dengan anak-anaknya. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu mereka di kedai kopi.

Kalaupun sedang di rumah, kata- kata “JANGAN” adalah pilihan kata yang paling sering mereka ucapkan.

Gilran saya sebagai ayah sudah aku lalui sejak 6 tahun dan 2 bulan yang lalu. Aku pun selalu berusaha agar  anakku tidak melihatku sama seperti aku melihat ayahku, yang seolah-olah menjadi orangtua itu adalah alamiah atau naluriah.

Keyakinanku memang menjadi orangtua itu bukanlah naluriah, tetapi ia juga harus dipelajari. Sebut saja mata pelajarannya adalah ‘PARENTING”.

Anak pertama kami sudah 6 tahun 2 bulan, anak ke dua kami pun bahkan sudah masuk bulan ke -7. Namun entah sudah berapa lama, anak kami yang tertua sangat jauh berubah. Kalau dulu, ia mengungkapkan kerinduannya dengan berlari dan melemparkan badannya ke pelukannku, ketika aku pulang dari pekerjaan. Ahir-ahir ini, aku pun sedih ke mana anakku yang dulu?

Ketika pulang kerja, hari sudah malam. Tidak berjumpa seharian tidak membuat anakku membukakan pintu. Jangankan pintu, menoleh dari jendela saja ia tidak.

Mamanya pernah cerita, suatu waktu aku pulang kerja dan aku panggil namanya “ FAEL”, anak itu hanya menyahut “Ma, papa pulang”. Mamanya pun memintanya membukakan pintu  spontan ia menjawab “Mama saja yang buka, aku lagi nonton.”

Sekalipun aku sadar bahwa aku tidak ingin dipandang sama seperti aku memandang ayahku, melihat kondisi ini, ternyata apa yang saya hindari justru saya lakukan. Anakku tidak merindukan kehadiranku, bahkan ketika ia berlibur ke rumah kakek neneknya selama 3 minggu, sama sekali ia tidak merindukanku.

Ahirnya seminggu yang lalu Rafael anak kami minta dibelikkan bola karet, selain dua buku cerita yang ia pilih di toko buku Gramedia. Sore itu juga kami langsung bermain dengan bola yang murah, yang dulu sudah pernah ia minta tetapi saya tidak ijinkan.  Permainan Minggu sore itu ahirnya terus berlanjut sampai Minggu sore 4 Agustus 2019, sudah seminggu lebih kami selalu bermain.

Ketika ia sedang tertidur pulas, aku sampaikan kepada istri “Abang sekarang kok banyak sekali berubah, ya? Kalaupun ada permintaanya yang tidak dipenuhi, sudah tidak semarah biasanya. Ia juga merespon pertanyaan dengan  sangat sopan.

Aku juga sangat bahagia, karena setiap aku pulang ia selalu berlari membukakan pintu dan gerbang.” Mendengar pernyataanku ini ibu anak-anakku ini berkata “Jadi, abang yang semakin nakal selama ini, siapa yang salah? Siapa yang berubah?”

Aku terasadar bahwa aku mencari anakku yang dulu cerita, sopan, dan selalu merindukan kedatanganku, sejatinya ia tidak berubah. Ia masih menjadi sosok yang sangat antusias, respect, dan sangat ingin tahu semua hal.

Ia tidak berubah, anakku tidaklah hilang. AKULAH YANG TELAH HILANG dari sosok yang mendengarkannya, menggendongnya, merangkulnya, mengajaknya bermain. Aku telah menjadi sosok yang menakutkan bagi anakku dengan banyak kata jangan dan amarah.

Aku beruntung karena hanya tersesat sementara. Tersesat dalam alam pikirku bahwa anakku terlah berubah. Akulah yang telah berubah, dan seminggu lalu aku sadar akulah yang salah.

Sejak itu, aku dan anakku kembali menjadi sahabat baik. Kami sama-sama bermain bola sebelum belajar malam. Kami sama- sama ke pasar, belanja kebutuhan dapur. Kemana-mana kami sama, menjadi “ The Best Friend” seperti dulu lagi.

AKU TELAH KEMBALI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.