Kolom Joni H. Tarigan: BELAJARLAH RESPECT KEPADA ANAKMU

Teman saya dari perusahaan mitra complain kepada saya karena tidak pernah datang setiap kali diajak main bola di lapangan besar. Saya katakan, sangat sadar bermain bola bersama teman-teman, baik satu perusahaan ataupun dengan teman mitra perusahaan, sangatlah baik. Akan tetapi, saya tidak bisa melakukan itu jika dilakukan di ahir pekan. Sederhana saja, sehari-hari kebanyakan waktu saya berada jauh dari keluarga.

Jika di ahir pekan saya pergi lagi, tidak adil bagi  mereka walau menyenangkan bagi saya sendiri.

Sabtu- Minggu kemarin ( 10-11 Agustus 2019) saya mendapat tugas  untuk menjaga pembangkit sebagai perwakilan perawatan. Supaya saya tidak kehilangan kebersamaan dengan keluarga, anak dan istri saya bawa menginap di fasiltas housing milik perusahaan. Tugas menjaga pembangkit terlaksana, kebahagiaan bersama keluarga juga  dapat kami nikmati.

Seperti biasa, anak kami Rafael sangat antusias jika kembali meginap di Pangalengan, tepatnya di komplek perusahaan. Di sela-sela jam kerja, kami selalu sibuk dengan banyak kegiatan.

Mulai mendaki bukit, mencari buah pinus, mengumpulkan ranting-ranting kering, mengamati  dan mencium wangi bunga-bunga yang beragam.

Kesempatan ini juga tidak aku sia-siakan, mengingat  kami kembali bersahamat tidak lebih dari 2 minggu lalu. Setiap ajakan Rafael, aku jawab tanpa kata tidak. Jika waktunya memang tepat, saya tawarkan waktu yang tepat.  

Dua hari kami di Pangalengan, Rafael menjadi sosok pendengar yang baik. Tidak seperti 2 minggu lalu, yang terkesan egois. Sesekali saya tidak bisa memenuhi permintaannya denga alasan yang memang ia bisa pahami, akan tetapi ia tidak marah seperti biasanya, ya nurut dan bahkan memberi semangat: “Ya, sudah, kalau papa ga bisa lain kali kita coba. Papa tetap semangat, ya!”.

Sekali waktu kami bertemu dengan teman kerja dan juga anaknya. Anak teman itu pernah sekali berkunjung saat adek Rafael lahir. Anak teman saya itu langsung nurut ketika disuruh orangtuanya menyalami saya. Setelah itu saya meminta anakku untuk menyalam temannya. Akan tetapi sampai saya menunjukkan raut wajah kecewa, tetap saja Rafael tidak mau. 

Ketika sedang bermain, dan ia tampak gembira,  saya bertanya kenapa tidak salam temannya?

“Ya, ga apa-apa, pa,” itu saja jawabnya. 

Anak ini biasanya punya alasan yang sangat kuat untuk melakukan sesuatu  atau tidak. Jika ia merasa tidak perlu, sekalipun kami marah ia tetap bertahan.

Ahirnya, aku teringat ketika temannya itu saat berkunjung ke rumah, anakknya sangat pendiam. Diajak main juga tidak ada respon. Bahkan Rafael sudah mengeluarkan buku-buku kesukaannya juga maiannya.

Inilah alasan anak kami tidak mau menyalami temannya. Ia sudah pernah menawarkan kebaikan, tetapi respon yang dingin temannya itu masih terekam jelas, sehingga ia memutuskan untuk tidak menyalami.

Pengalaman bermain dan bertemu dengan temannya ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Saya belajar anak-anak itu adalah sosok yang paling jujur. Sehingga jika ada sesuatu yang tidak lazim, saya harus sabar untuk bisa menggali kejadian di balik yang  terlihat. 

Terhadap saya, anak saya sangat hormat kepada saya, ketika saya memang mampu meberikan hormat kepadanya. Terhadap temannya, ia juga menunjukkan hormatnya jika temannya menunjukkan rasa hormat juga. Saya pun berkesimpulan, sebelum dihormati hormatilah orang lain terlebih dahulu.

Bagi kita orangtua, tidak perlu training pengembangan diri untuk mempelajar cara menghormati orang lain. Belajarlah kepada anak-anak kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.