Kolom Joni H. Tarigan: SALAM CERIA DARI TOILET

kampung-karo
Suasana petang hari di sebuah kampung Karo (Dokan, 1989). Foto: Juara R. Ginting.

 

joni hendra tariganAyam berkokok walaupun hari masih gelap. Biasanya,hari akan mulai terang pada Pukul 06.00 WIB. Pandangan mata menjadi jelas sekitar pukul 07.00 WIB, itu pun jika tidak sedang kabut pagi. Biasanya ibu saya mulai menabuh gendang dapur sekitar Pukul 06.00 WIB. Bunyi piring yang saling bersentuhan akan terdengar, disambut desingan sendok yang meliuk-liuk di atas permukaan kuali. Tak lama berselang, dentuman batu membentur batu terdengar jelas. Itu bukanlah suara dari tambang batu cadas. Itu adalah bunyi dentuman  lagan (gilingan bumbu dari batu) dan anak lagan.

Bunyi-bunyi itulah yang selalu saling berersambut ketika hari tiba. Ayam berkokok diiringi musik ibu-ibu memasak di dapur.

Ketika matahari mulai cerah dan hangat, bapak mulai terbangun. Tanda-tanda bangun bapak biasanya batuk sedikit, tapi bunyi mengelegar, dan kemudian ditutup dengan menguap. Jika ibu memainkan musik di dapur, biasanya di kampung, sang bapak akan mendengarkan musik di kedai kopi sampil bercerita dengan teman-temannya.

Pagi yang dingin, disuguhi kopi yang panas, ditambah cerita sesama bapak-bapak di kampung, tentunya membuat mereka sulit untuk tidak kembali lagi ke kedai kopi. Jika ibu membuka harinya dengan membuat kegaduhan dapur dan menutup  harinya juga dengan kegaduhan di tempat yang sama, maka sama halnya dengan bapak. Mereka membuka hari di kedai kopi, dan mereka juga menutup aktivitas mereka di kedai kopi.

Begitulah apa yang pernah aku saksikan di kampung. Aku yakin kebanyakan bapak-bapak melakukan hal yang sama, demkian juga kaum ibu. Itulah kebiasaan orangtua di kampung selain bekerja seharian di ladang.

petani-kool
Petani Karo sedang memanen kool.

Terakhir pulang ke kampung, Paribun-Simalungun, keadaan itu masih sama walaupun kemajuan teknologi sudah sangat terlihat, terutama teknologi informasi. Merawat rumah , menjamin kehidupan anak-anak adalah tugas sang ibu. Tidak hanya tugas rumah dan merawat anak, bahkan mencari nafkahpun sudah menjadi tanggungjawab kaum ibu.

Mengandung, melahirkan, merawat  anak, dan juga mencari nafkah menjadi tanggungjawab ibu. Sedangkan kaum bapak, ceritanya kebanyakan ia tuangkan di kedai kopi. Anak pun kemudian lebih banyak bercerita kepada ibunya. Saya pun menyimpulkan, setelah menyaksikan bagaimana anak saya dikandung, dilahirkan, dan dirawat, bahwa kaum ibu itu adalah mahluk yang perkasa. Lemah secara tenaga, tapi tangguh hati dan pikiran mereka. Keteguhan hati dan pikiran mereka, tiada banding dengan seorang ayah berotot perkasa tapi lemah hati dan pikiran.

Cerita itu masih berlangsung dan mungkin pada umumnya itulah yang terjadi dalam kehidupan kampung, dan mungkin juga di perkotaan. Itu cerita kampung dimana aku lahir dan dibesarkan dan berikut ini adalah ceritaku di bagian Kabupaten Bandung ini. Masyarakat sekitar tidak jauh beda dengan kampung, tetapi aku punya cerita yang berbeda.

 * * * 

Sampai saat ini, anak kami sudah berumur 3 tahun 4 bulan, saya sangat mengagumi ibu dari anakku ini. Kekagumanku juga tentu tidak kurang kepada ibuku sendiri. Aku bahkan menganggap mereka adalah kaum yang multi talenta. Mulai dari mengandung, melahirkan, merawat anak dan merawat rumah.

Persoalan mencari nafkah, pada zaman ini, tentu tidak ada lagi bedanya antara pria dan perempuan. Aku bahkan berkesimpulan: “Kaum ibu kalah dalam mengangkat beban berat, tetapi tak terkalahkan dalam menjalani beban kehidupan ini.”

Rasa hormat kepada ibu inilah yang membuatku ingin melakukan sesuatu yang tidak sama dengan apa yang dilakukan kaum bapak di kampungku dulu. Aku meyakini, pertumbuhan anak tentu akan lebih baik lagi jika saja tidak hanya ibunya yang bertanggungjawab. Seorang  ayah dengan ototnya perlu melakukan sesuatu sehingga seorang anak punya otot yang kuat, dan hati yang tangguh penuh kelembutan. Sesuatu itulah yang mau aku ceritakan.

Hari itu, Sabtu 5 November 2016, adalah hari libur bagi kami bertiga serumah. Pekerjaan di lapangan juga tidak memerlukan tenagaku untuk masuk kerja. Terinspirasi dari bagaimana Ignatius Jonan merubah PT KAI, yakni bawang-preimengawalinya dengan kebersihan toilet, maka hari ini aku membersihkan toilet yang kami pakai sehari-hari.

Setelah semua bagian toilet serta kamar mandi bersih dan nyaman, maka saya kedatangan tamu. Anak saya datang dan menawarkan bantuan. Tidak berpikir panjang, kami pun bekerja bersama di toilet. Suasananya seperti bermain di taman bermain saja, dimana tempatnya sejuk dan menarik.

Saya membersihkan peralatan kamar mandi denga sikat, anakku dengan tangkas menyiraminya dengan air bersih. Walaupun kidal, anak itu lincah dan sangat ceria. Tidak puas dengan menyiram, anak itu memindahkan air dari ember yang besar ke ember besar yang lain. Dengan gayung yang kecil, tentu saja proses pemindahannya begitu lama dan melelahkan. Tetapi justru itulah yang membuat anak itu ceria. Sesekali saya memberi tantangan  untuk memindahkan air dengan tangan kanannya, dan dengan sigap tangan kanan itu mengayun memindahkan air.

Walau nafas tersengal, anak itu ingin membersihkan bagian lain kamar mandi yang sudah aku bersihkan. Kali ini aku menawarkan diri untuk menyirami bagian yang sudah disikat anak itu, walaupun sebenarnya sudah bersih. Begitu dinding disambar air bersih, dinding yang bersih menjadi bersih.

“ Wah…. bagus, nak, kamu luar biasa.”




Mendengar pujianku, anak itu pun mengucapkan terimakasih. Sebenarnya bisa saja semua saya bersihkan dengan cepat dan pekerjaan lain dapat dikerjakan. Akan tetapi melihat kemauan anak untuk belajar, aku pun dengan sabar melayani anakku. Aku ingin otot dan otaknya berkualitas. Maka dengan demikian aku merasa tidak adil jika pendidikan hidup anak kami ini hanya dibebankan kepada ibunya.

Itulah cerita kami dari toilet. Lewat toilet kami saling belajar bahwa hati yang bersih itu tercermin dari lingkungan yang bersih. Lewat toilet aku belajar menghargai dunia anak yang pada dasarnya ingin mendapatkan tempat untuk melakukan kebaikan. Tidak hanya otot, otak anak itu punya menjadi terlatih.

Inilah cerita kami dari toilet. Salam cerita dari kami yang sedang bergembira di toilet.

Salam semangat dan perjuangan.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.