Terkait tulisan mengenai gua umang kemarin, saya mengatakan kurangnya minat generasi muda mengunjungi semua Gua Umang yang saya sebutkan. Kali ini, saya menjelaskan mengapa penting sekali melihat langsung Gua Umang itu daripada sekedar membaca literatur atau media sosial.
Sedari kecil hingga saya menyelesaikan perkualiahan S1 (1986), saya mendengar ada ucapan kalau semua warga Desa Amburidi (Dataran Tinggi Karo) memiliki gondok (barut) di leher.
Anggapan ini berkembang di tengah-tengah masyarakat dan saya sendiri mempercayainya. Kita juga mendengar adanya ulasan-ulasan lisan maupun tertulis mengapa itu sempat terjadi. Salah satunya adalah karena warga setempat mengambil air minuman langsung dari mata air sementara dari mata air sangat minim Jodium. Penjelasan ini didasarkan pada teori bahwa penyebab utama munculnya gondok adalah kurangnya mengkonsumsi jodium.
Bahkan dosen saya yang orang Karo dan profesor doktor pula dalam bidang Antropologi seingat saya pernah bercerita di depan kelas tentang warga Amburidi yang gondokan ini. Katanya, kalau kita ke sana, mereka akan mengejek kita jelek karena tidak punya gondok.
Pada Tahun 1989 saya mengunjungi Amburidi dalam rangka memeriksa keadaan semua rumah adat Karo di Taneh Karo. Memang desa ini saat itu sangat terisolir. Dengan sepeda motor GL100, dari Kutabuluh kami melintasi Kuta Male dan kemudian perladangan Amburidi.
Hingga tiba di pemandian (tapin) desa itu, sebuah sungai kecil, saya melihat banyak sepeda motor tergeletak begitu saja. Semuanya jenis trail. Memang, kalau bukan saya pengendaranya, sudah sering kali mesin sepeda motor terantuk batu jalanan. Sementara mesin trail jauh lebih tinggi dari sepeda motor saya.
Kami lanjut dari pemandian itu menuju pemukiman dengan mendaki jalan setapak yang sangat ….. sangat terjal. Setibanya di pemukiman, seluruh warga kampung tumpah ruah keluar dari rumahnya hanya untuk melihat kedatangan kami. Nantinya baru saya mengerti, mereka terkejut mendengar ada sepeda motor yang berani mendaki jalanan tanjakan itu (bila terjatuh, jurang dalam menanti).
Di situlah saya mendapat kesimpulan tidak ada satupun warga Amburidi yang mengidap gondokan.
Sebegitu lamanya orang-orang Karo percaya para warga Amburidi menderita gondokan. Ada pula penjelasan yang seolah-olah ilmiah mengapa itu sempat terjadi (kurang Jodium). Bahkan ada cerita kalau kita ke sana akan diejek jelek karena begitu biasanya mereka dengan leher gondokan.
Nyatanya, setelah melihat dengan mata kepala sendiri, anggapan itu salah sama sekali.
Demikian juga anggapan mengenai Karo adalah bagian Batak. Sebegitu lamanya literatur mengcopy-paste literatur pendahulunya tanpa pernah sedikit pun meragukan atau memang tidak berani untuk meragukannya. Padahal, dasar ilmu pengetahuan adalah keragu-raguan.
Saya sudah pernah mengatakan, kepastian hanya terdapat pada religi, sementara ilmu pengetahuan selalu berangkat dari keragu-raguan. Dari sudut pandang ilmu pengetahuan, semua teori, asumsi maupun anggapan di tengah-tengah masyarakat bisa dan perlu diragukan.
Kalau kita bukannya berkecimpung serius di dunia ilmiah, cukup membuka diri bahwa sesuatunya masih bisa dimentahkan dan relakanlah itu.
Demikian juga dengan gua umang. Sepanjang kam belum melihatnya dengan mata kepala sendiri, kam hanya mengeksploitasi foto dan tulisan-tulisan mengenai gua umang sebagai “peluru” untuk adu debat dengan orang-orang Batak.
Kam akan lebih takjub lagi bila sudah melihatnya langsung. Biarkan saja agen-agen pembatakan dengan teori-teorinya yang seolah ilmiah itu. Orang-orang Karo sudah saatnya merasakan di tubuhnya objek-objek Budaya Karo itu. Dari sana kita akan mampu membangun teori-teori baru mengenai Suku Karo yang mandiri.