Kolom Juara R. Ginting: BEDA ANTARA TEORI DAN FAKTA — Terkait Keberadaan Kampung-kampung Karo di Langkat Hulu dan Deli Hulu

Ada anggapan kalau orang-orang Karo yang tinggal di Langkat Hulu dan Deli Hulu adalah pendatang dari Dataran Tinggi Karo. Anggapan ini sebagian memang benar berdasarkan fakta karena sejak Jaman Kolonial banyak pendatang dari Dataran Tinggi Karo ke Langkat Hulu dan Deli Hulu. Tapi, kita punya data-data yang kuat untuk menemukan sebuah fakta bahwa, sebelum kedatangan orang-orang Eropah ke Langkat maupun Deli, sudah ada kampung-kampung Karo yang bangunan-bangunannya bercirikan arsitektur tradisional Karo.

Belum ada satupun data yang bisa menetapkan sejak kapan kampung-kampung Karo itu ada di sana.

Lalu, dari mana munculnya anggapan bahwa orang-orang Karo pendatang di Langkat Hulu dan Deli Hulu serta mengklaim seluruh Langkat dan Deli adalah tanah ulayat Melayu? Menurut M. Joustra, itu adalah klaim Sultan Deli terhadap J. Nienhuis. pionir perkebunan tembakau di Deli (1862). Kebutuhan perluasan perkebunan ke arah hulu membuat para pengusaha perkebunan mengikuti klaim Sultan Deli ini.

Mereka tidak menyangka kalau perluasan perkebunan ke bagian hulu dari Deli dan Langkat menjadi penyebab utama pecahnya Perang Sunggal.

Kampung Karo di Deli (Dijepret pada tahun 1905)

Adapun menurut Karl J. Pelzer, sepanjang perluasan perkebunan tembakau terbatas di wilayah Melayu, orang-orang Karo tidak bilang apa-apa. Tapi, seketika perkebunan tembakau diperluas ke wilayah orang-orang Karo di Deli, maka Perang Sunggal pun meledak.

Maka Netzer yang menjadi Residen Siak saat itu menaruh tanda tanya, apa sebenarnya yang terjadi di Deli sehingga berakibat pecahnya Perang Sunggal yang mereka sebut Perang Batak (Batak Oorlog) itu? Netzer mendatangkan Halowijn untuk melakukan investigasi.

Salah satu hasil terpenting dari investigasi Halowijn adalah bahwa Deli terdiri dari Deli Hilir dan Deli Hulu. Perbatasannya menurut Halowijn di pusat Kota Medan sekarang (Kantor Pos).

Berdasarkan investigasi Halowijn, Netzer mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh dari Dataran Tinggi Karo di Sibolangit. Netzer mencatat 120 pria Karo turun dari Dataran Tinggi Karo dengan pakaian adat lengkap. Tentu saja hanya saya yang mengetahui mengapa mereka menurunkan jumlah 120 orang mewakili seluruh wilayah Karo Gugung.

Para tokoh Karo Gugung itu menyarankan Netzer untuk memisah Deli Hulu dengan Deli Hilir dalam pembicaraan sewa menyewa tanah.

“Sewa menyewa tanah di Deli Hilir, silahkan berbicara dengan Sultan, sementara sewa menyewa tanah di Deli Hulu silahkan berbicara dengan Raja Urung setempat,” kira-kira begitulah gagasan para tokoh Karo Gugung.

Netzer ternyata tidak mengikuti saran itu. Uang sewa tanah tetap dibayar sepenuhnya ke Sultan Deli yang mengklaim semua wilayah Deli adalah tanahnya. Perang Sunggal pun pecah lagi. Deli Tabaak Maschapij pun mengubah kebijaksanaan dengan membayar sewa tanah 1/3 ke Sultan Deli, 1/3 ke Raja Urung setempat, dan 1/3 ke penghulu-penghulu setempat.

Sebentar Deli agak tenang, tapi Perang Sunggal pecah lagi tak lama kemudian. Ini menunjukan bahwa, sebagaimana saya pernah tulis dalam sebuah artikel lain, ekonomi bukan masalah utama dari Perang Sunggal.

Sebelum kedatangan Nienhuis untuk membuka perkebunan tembakau di Deli (1862), telah ada laporan lengkap mengenai Deli yang ditulis oleh John Anderson (terbit 1826), Mission to the East Coast of Sumatera in 1823. Jadi, isi laporannya itu adalah pengalamannya mengunjungi Deli, khususnya Kampung Ilir (kampung Sultan Deli) dan Sunggal (kampung Datuk Sunggal) pada tahun 1823.

Dalam tulisan saya sebelumnya saya menggambarkan bagaimana Anderson dan rombongannya menempuh jalur sungai karena takut diserang Musuh Berngi. Di tulisan itu saya juga mendiskusikan mengapa takut Musuh Berngi padahal mereka melakukan perjalanan di siang hari. Dengan kata lain, pemahaman Musuh Berngi sebagai “serangan malam” yang awalnya ditulis oleh T. Lukman Sinar dan diikuti oleh Uli Kozok perlu dipertanyakan.

Baru setelah Sultan Ahmed (Datuk Hamparan Perak) datang dan bergabung dengan rombongan Anderson menuju Sunggal mereka bisa jalan darat. Kuncinya adalah bahwa Sultan Ahmed adalah “orang dalam” meskipun ayahnya Pengulu Buluh Cina (Melayu). Dia orang dalam karena ibunya adalah Beru Surbakti.

Dalam tulisan saya yang lain saya menjelaskan lebih lanjut kalau Karo menganut double descent (garis keturunan ganda). Menurut garis keturunan ayahnya, Sultan Ahmed adalah Melayu dan berarti orang luar bagi Deli Hulu (cq. Sunggal), sedangkan menurut garis keturunan ibu dia orang dalam.

Dengan bersama Sultan Ahmed, bebere mamana Datuk Sunggal, John Anderson dan rombongannya bisa mencapai Sunggal melalui jalan darat.

Untuk memahami perbedaan antara Deli Hilir dan Deli Hulu, kita bisa merujuk ke istilah frontier yang digunakan oleh M. Drakard dalam perbedaan Barus Hilir dengan Barus Hulu. Demikian juga di Deli, orang-orang luar seperti halnya ayah Sultan Ahmed tidak bisa memasuki wilayah Deli Hulu karena itu adalah tanah ulayat Karo.

Sultan Ahmed bisa masuk karena ibunya adalah Orang Karo. Seperti saya berani mengaku ANAK BERASTEPU dan warga Berastepu bangga memiliki saya si bebere Ulunjandi meski nama saya adalah Rimantha.

Sebaliknya orang-orang Karo bisa leluasa sampai ke pantai melintasi Deli Hilir. Itu fakta yang dilaporkan oleh John Anderson.

Ada apa? Mengapa orang-orang Melayu tidak bisa melintas garis frontier ke Deli Hulu sedangkan orang-orang Karo bebas sampai ke pantai?

Teori migrasi orang-orang Karo ke Deli dan Langkat tidak didukung fakta sama sekali. Teori tanpa didukung fakta adalah CENGAMEN, munggil si tek.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.