Kolom Juara R. Ginting: DEDUKSI, INDUKSI DAN PEMBATAKAN — Ibu Dari Antropologi Adalah Etnografi

Terkait quiz yang mempertanyakan mana kerbau jantan dan mana pula kerbau betina (lihat foto di bawah), seseorang menelpon saya mengatakan kerbau yang sebelah kanan adalah kerbau betina.

“Sebelah kiri adalah kerbau jantan,” katanya.

Saya katakan itu salah. Tapi, saya katakan lagi padanya, saya mengerti mengapa dia menduga kerbau yang sebelah kanan adalah kerbau betina.

“Kam menurunkan hipotesis secara deduksi,” kataku.

“Apa itu deduksi?” Tanyanya.

Kerbo Sada Nioga

“Kam menduga kerbau yang sebelah kanan betina karena tanduknya melebar, sedangkan yang satunya lagi tanduknya melengkung ke atas. Itu saya sebut deduksi karena kam berangkat dari gejala umum bahwa hewan jantan biasanya lebih cantik dibanding hewan betina.”

“Iya,” katanya sambil tertawa.

Memang pernah saya tulis kalau di ujung jahe (Hilir/ Barat) dari puncak atap rumah adat Karo digunakan tanduk kerbau betina, sedangkan di ujung julu (Hulu/ Timur) digunakan tanduk kerbau jantan. Saya tulis juga kalau saya sudah pernah memeriksanya dari rumah ke rumah dan dari kampung ke kampung.

Saya memeriksanya setelah mengetahui perbedaan tanduk kerbau betina dengan tanduk kerbau jantan. Tanduk kerbau betina melengkung indah ke atas, sedangkan tanduk kerbau jantan melebar dan agak lurus serta umumnya lebih pendek daripada tanduk kerbau betina.

Tidak ada masalah dengan deduksi kalau itu hanya sebatas hipotesis. Bagaimanapun juga ujung-ujungnya dalam pengambilan kesimpulan adalah fakta di lapangan. Masalahnya adalah, banyak orang bahkan yang mengakunya peneliti ilmiah menggunakan pendekatan deduksi untuk menyimpulkan apa yang dilihatnya di lapangan.

Kita ambil saja contoh tulisan-tulisan yang mengatakan pengeretret (lihat foto) adalah motif cecak. Penjelasan itu diulang-ulang oleh penulis berikutnya dan direproduksi dengan penjelasan bahwa motif cecak berkekuatan magis karena melindungi penghuninya dari nyamuk.

Masih pada tingkat logika penjelasan di atas sudah dapat diserang. Pertama, rumah adat Karo punya kolong tinggi sehingga sayap nyamuk tidak akan mampu terbang setinggi itu untuk memasuki bagian dalam rumah.

Ke dua, rumah-rumah di Karo Julu juga menggunakan motif yang sama sedangkan daerah ini berada pada ketinggian 1.300 meter dari permukaan laut yang kecil sekali kemungkinan nyamuk menjadi musuh utama.

Dari mana pikiran motif cecak itu muncul?

Saya telah melacaknya. Ternyata karena ukiran di dinding rumah adat Batak [Toba] ada motif mirip cecak. Sementara kebanyakan orang yang mengacu pada literatur kolonial mengasumsikan Karo adalah Batak.

“Tentu saja ini juga cecak seperti di rumah Batak,” pikir mereka.

Rumah Adat Batak [Toba]

Padahal, akhir-akhir ini, diungkap oleh orang-orang Batak sendiri kalau itu bukan cecak, melainkan kadal (ilik). Saya telusuri lebih jauh, arkeolog terkenal Von Heine-Geldren pernah menulis kalau itu motif reptil. Orang-orang memahaminya itu tentu hanya cecak satu-satunya reptil yang bisa menempel di dinding.

Betapa liar tafsirannya, bukan? Dan, itu pula yang diberlakukan ke Karo. Begitulah bahayanya pendekatan deduksi dijadikan data lapangan.

Beda dengan pendekatan induksi, dimana temuan di lapangan (gejala/ peristiwa khusus) diusahakan bisa dipahami secara teoritik (gejala/ peristiwa umum). Misalnya ada temuan kalau rumah-rumah adat di Karo Barat berorientasi ke garis kontinum yang menghubungkan Titik Matahari Terbit (Timur) dengan Titik Matahari Terbenam (Barat), sedangkan di Karo Timur ke garis kontinum yang menghubungkan Hulu dengan Hilir sebuah sungai setempat.

Boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat dalam mengangkat gejala/ peristiwa khusus ini (data) ke pemahaman gejala/ peristiwa umum (teori). Dari banyak fenomena lainnya, saya memahaminya sebagai “socio-cosmic dualism”. Sebagian dari Karo society itu merujuk ke pergerakan matahari (panas), dan sebagian lainnya ke pergerakan air sungai (dingin).

Socio-cosmis dualism ini tersebar luas di Asia Tenggara bahkan hampir di seluruh Asia. Ungkapan Indonesia yang paling dekat dengan kasus kita adalah “bapaku langit ibuku bumi”. Dekat dengan kasus kita karena keduanya dalam bahasa kerennya merujuk ke celestial movement (pergerakan di langit) dan terestial movement (pergerakan di bumi).

Ungkapan socio-cosmic dualism lainnya adalah bendera kita Merah Putih. Memang belakangan digamiskan menjadi merah tanda berani putih tanda suci. Padahal, kental sekali sumbernya di dalam Kebudayaan Jawa dan terkonfirmasi di budaya-budaya daerah lainnya di Nusantara.

Bubur merah dan bubur putih diberikan kepada bayi saat ritual turun tanah. Ini merepresentasekan darah merah (ovum dari ibu pada saat menstruasi) dan darah putih (sperma dari ayah).

Cimpa unung-unung adalah sebuah penganan Karo yang terbuat dari tepung beras pulut (berwarna putih) dan di dalamnya ada gula berwarna merah.

Di Asia kita kenal konsep Yin dan Yang dari China serta menjadi bendera Korea Selatan pula. Demikian juga dengan Lingga Yoni dari Indonesia yang menyebar ke Nusantara.

“Di sanalah tanah tumpah darahku,” kata sebuah lagu, ditafsirkan sebagai tempatnya bertempur membela bangsa dan negara hingga tetes darah terakhir. Padahal, maksudnya adalah tempatnya lahir yang dalam Bahasa Karo biasa disebut “ingan pusungku ndabuh ndube” (tempat tali pusarku lepas ke tanah).

Demikian juga halnya dengan Rakut Sitelu yang dikatakan terdiri dari Sembuyak/ Senina, Anak Beru, dan Kalimbubu. Jelas sekali ini meniru Dalihan Na Tolu dari Batak. Ini adalah contoh lain dari deduksi yang disandingkan dengan asumsi bahwa Karo adalah Batak.

Sebagaimana tadi telah saya katakan di atas, kalau hanya sebatas hipotesis, ini tidak ada masalah menduga Karo juga menganut sistim yang sama dengan Dalihan Na Tolu. Tapi, ini dijadikan kesimpulan pertama kali oleh P. Tamboen dalam bukunya ADAT ISTIADAT KARO (Balai Pustaka, 1952). Penulis lain menyalin ulang kesimpulannya sehingga beranak pinak.

Ketika saya mempertanyakan mana wujud faktualnya di lapangan Rakut Sitelu ini, saya dituduh hanya mau membeda-bedakan dengan Batak dalam rangka perjuangan Karo Bukan Batak (KBB).

Banyak orang lupa kalau saya adalah seorang antropolog. Para antropolog sedunia sepakat kalau induknya Antropologi adalah Etnografi, yaitu penggambaran-penggambaran mengenai kelompok-kelompok manusia sebagaimana teramati di lapangan. Bahasa gamblangnya, berawal dan berujung pada peristiwa di lapangan.

Karena itu, perjuangan utama dari Gerakan Karo Bukan Batak adalah membongkar kesalahan literatur kolonial yang berpangkal dan berujung pada kepentingan kolonial (Dunia Barat). Selanjutnya adalah melucuti tulisan-tulisan yang menyalin ulang pendapat-pendapat literatur kolonial tanpa sedikitpun rasa tanggungjawab terhadap masyarakat yang bersangkutan.

Kita membatasi diri pada Karo sebagai sebuah suku mandiri dan bukan bagian dari kelompok manapun juga selain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Cara kita membongkarnya itu semua adalah dengan menghadapkan opini-opini yang dibangun di literatur dengan temuan-temuan di lapangan.

Begitu cara seorang antropolog bekerja yang masih setia mengakui ibu dari Antropologi adalah Etnografi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.