Kolom Juara R. Ginting: DOMINASI ASENG DI TIMNAS PRANCIS

Hampir seluruhnya pemain Timnas Prancis yang merebut Piala Dunia 2018 beberapa jam lalu adalah Aseng alias berasal dari luar negeri, terutama Aljajair yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Meskipun ada gerakan anti orang asing di Prancis khususnya terhadap warga yang berasal dari negara-negara Arab, jelas sekali tidak ada gerakan anti pemain asing di Timnas Prancis.

Keadaan di Timnas Belanda tidak jauh berbeda dengan Timnas Prancis walaupun di skuad Timnas Belanda masih terlihat beberapa pemain berkulit putih sedangkan di skuad Timnas Prancis hampir tidak kelihatan sama sekali.




Pada mulanya, para pemain kulit hitam di Timnas Belanda hanya yang berasal dari Suriname, yang penduduknya mayoritas beragama Kristen. Tapi, belakangan, sudah mulai bermunculan beberapa pemain asal Arab khususnya Maroko yang penduduknya beragama Islam. Demikian juga halnya dengan Timnas Inggris, seperti Belanda, sudah lama memasang para pemain kulit hitam walaupun belum sebanyak Belanda apalagi Prancis.

Sedikit lain dengan Jerman yang baru beberapa tahun belakangan ini memunculkan beberapa pemain asal luar negeri. Itupun sebagian saja yang kulit hitam, sedangkan lainnya berkulit putih asal Polandia.

Perkembangan di Jerman ini dapat menjadi sebuah renungan tentang keadaan di Eropah Barat secara umum. Tampaknya ada korelasi antara disertakannya pemain-pemain asal luar negeri dengan kolonialisme di masa lalu. Prancis dan Inggris adalah 2 negara paling banyak jajahannya di dunia. Keberadaan orang-orang asing di negara itu yang tercermin di dalam Timnas mereka terkait dengan kedatangan orang-orang asal jajahan mereka.

Belanda memang tidak banyak jajahannya, tapi negara ini sempat dibanjiri oleh para imigran asal Suriname sehingga ada kota baru di Belanda yang, bila kita memasukinya, terasa berada di sebuah negara lain dimana hampir semua penduduknya adalah berkulit hitam.

Pemain kulit hitam tidak banyak terlihat di skuad Timnas Spanyol maupun Portugis. Kalaupun ada beberapa imigran, mereka tidak telihat sebagai orang asing karena di banyak negara jajahan mereka telah terjadi mestisaze sehingga banyak warganya Mestizo atau di Indonesia dan Belanda biasa disebut Indo. Bila Indo adalah campuran Belanda dengan orang Indonesia yang ras Mongloid, Mestizo adalah campuran Spanyol/ Portugis dengan orang-orang Indian yang juga dari ras Mongoloid.

Kembali ke Timnas Jerman. Negara ini hanya punya Papua Newguenia sebagai jajahan. Selain memang hampir tak punya negara jajahan, orang-orang Jerman sempat berkarakter rasis dan fasis. Karakter ini meningkat drastis di masa kekuasaan Nazi yang dipimpin oleh Hitler. Negara ini nampaknya lama sekali berjuang melepaskan diri dari sebuah fakta sosial dimana memasang pemain kulit hitam di skuad Timnas mereka menjadi sebuah keengganan, untuk tidak dikatakan tabu.

Saya sempat terkejut beberapa tahun lalu ketika melihat Bambaguida asal Nigeria sebagai orang kulit hitam pertama bermain di skuad Timnas Jerman. Nantinya semakin meningkat jumlahnya dan termasuk pemain asal Polandia. Ini merupakan wajah baru dari Jerman yang tercermin di Timnas mereka. Pada saat bersamaan, mulai ada satu dua pemain asal Jerman yang bermain di Liga Primer Inggris. Sebelumnya, tidak ada sama sekali orang Jerman bermain di negara lain yang manapun juga.

Sepertinya, karakter Jerman yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial di luar komunitas Jerman adalah penyebab utamanya sehingga mereka kurang disukai oleh bangsa lain. Berbeda dengan orang-orang Belanda yang berjubel bermain atau melatih di luar negeri. Bahkan banyak sekali yang menjadi pelatih Timnas di berbagai negara. Selain di Inggris dan Spanyol, banyak pesepakbola Belanda yang bermain di liga utama Portugal, Jerman, Italy, Prancis, Skotlandia, dan beberapa negara lainnya.

Keterbukaan Jerman akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan toleransi di Eropah Barat, khususnya di dunia sepakbola. Contoh ekstrimnya adalah Timnas Prancis yang hampir sepenuhnya didominasi oleh yang bukan berkulit putih. Akan tetapi, di lain pihak, anti orang asing dan terutama anti imigran dari negara-negara Arab semakin meningkat. Bahkan beberapa partai politik sejak didirikan sudah langsung membidik sasarannya ke para imigran Arab.

Mengapa mereka tidak anti terhadap pesepakbola berkulit hitam atau asal Arab yang bahkan mendominasi Timnas mereka seperti di Prancis, Belanda dan Ingris? Saya kira pertanyaan ini dapat disandingkan dengan tidak adanya gerakan anti Wali Kota London yang muslim dan asal luar Inggris serta Wali Kota Rotterdam yang asal Arab dan menjadi salah satu tokoh muslim terpenting di dunia.

Saya kira jawabannya adalah soal untung rugi. Mau muslim atau apa saja kalau memang memimpin bagus, sehingga menguntungkan bagi mereka, tidak ada masalah bahkan mereka mengharapkannya.

Mengapa mereka membenci orang-orang asing khususnya asal Arab yang tidak bisa menguntungkan atau membanggakan negara mereka? Itu memerlukan pembahasan lain, tapi intinya adalah karena di dalam sistim negara mereka banyak jatah yang seharusnya mereka dapatkan (seperti subsidi, lapangan kerja kasar, perumahan, dan lain-lain) mengalir ke orang-orang asing yang secara hukum negara mereka memang berhak menerimanya. Selain itu, orang-orang kulit hitam dan asal Arab dianggap sebagai pelaku kriminal terbesar, termasuk terorisme.

Ringkasnya, ini bukan soal agama atau sentimen-sentimenan lainnya, tapi soal kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan hidup.

Apakah kebencian terhadap Ahok adalah soal untung rugi juga? Menurut saya, memang ada soal sentimen-sentimenan, tapi soal ini dipicu oleh untung rugi juga. Masalahnya yang menjadi pertanyaan adalah, untung ruginya siapa? Mungkinkah hanya soal untung rugi produsen nasi bungkus?

Selamat untuk para pendukung Timnas Prancis.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.