Kolom Juara R. Ginting: GAPURA KARO DI BUKITLAWANG — Melawan Ketidaktahuan

Tulisan pada foto di atas bernada sinis terhadap sebuah gapura di pintu masuk objek wisata Bukitlawang (Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat). Dari kalimat yang ditulis pada foto terlihat adanya 2 kemungkinan:

1. Si penulis merasa penampakan-penampakan budaya suku hanya terbatas pada wilayah pemerintahan suku itu yang dalam hal Suku Karo adalah Kabupaten Karo.

Karena Bukitlawang berada bukan di Kabupaten Karo, maka si penulis menganggap pembangunan gapura itu adalah sebuah gerakan ekspansionis dari Suku Karo. Padahal, jelas sekali pembangunan gapura itu dilakukan pemerintah daerah setempat, yakni Pemkab Langkat.

2. Si Penulis tidak mengetahui kalau wilayah Langkat secara tradisional terbagi ke dalam Langkat Hulu dan Langkat Hilir.

Di Masa Pre Kolonial, Langkat Hilir dihuni oleh orang-orang Melayu, sedangkan Langkat Hulu oleh orang-orang Karo. Sejak Kolonial, terbangun sebuah pandangan kalau orang-orang Karo yang ada di Langkat Hulu adalah migran dari Dataran Tinggi Karo. Padahal, pandangan ini tidak pernah terbukti secara ilmiah akademik.

Telah banyak bukti sudah sejak sebelum Kolonial ditemukan kampung-kampung Karo yang ditandai pula oleh adanya rumah-rumah adat Karo termasuk jambur, geriten, sapo page, lesung, dan lain sebagainya.

Asumsi bahwa orang-orang Karo di Langkat Hulu adalah migran dari Dataran Tinggi Karo serasa diperkuat oleh anggapan bahwa Karo adalah bagian dari Batak. Ini sudah lama terbantahkan secara ilmiah akademik dan sekarang dalam tahap sosialisasi yang masih harus berlangsung.

Secara genetik, Balai Arkeologi Aceh-Sumut sudah membuktikan kalau DNA Karo dan Gayo sangat dekat dan keduanya sangat jauh dengan Batak [Toba]. Lebih lanjut, Balai Arkeologi mengatakan Batak belum ada 1.000 tahun di Sumatera, sedangkan Karo dan Gayo sudah lebih 7.000 tahun.

Demikian juga secara sosial-budaya tidak ada kontinuitas antara Karo dan Batak. Meski tradisi perkawinannya berbeda antara Karo yang di Langkat dengan Karo yang di Dataran Tinggi Karo, perkawinan sesama Karo cukup dengan satu tradisi pesta perkawinan, yaitu tradisi di kampung pengantin perempuan.

Lain halnya bila Karo dan Batak saling kawin, harus melalui dua upacara perkawinan; yaitu Adat Karo dan Adat Batak. Itu artinya Karo dan Batak adalah DISCONTINUE.

Para antropolog sudah membuktikan bahwa upacara perkawinan di mana saja di dunia ini adalah untuk mengintegrasikan keluarga baru ke dalam sebuah society. Kalau Karo dan Batak tergabung di dalam satu society, tak perlu ada dua upacara adat.

Sekarang ini, mayoritas penduduk Bukitlawang adalah dari Suku Karo dan Suku Jawa serta sebagian kecil dari Suku Melayu. Suku Jawa jelas sekali adalah buruh kebon yang didatangkan oleh Belanda. Suku Melayu mulai menyebar ke Langkat Hulu sejak tersedia lapangan pekerjaan di Jaman Kolonial di kantor-kantor pemerintahan, terutama Kesultanan Langkat yang menyatakan dirinya Melayu.

Di Masa Pre Kolonial, pekerjaan orang-orang Melayu hanyalah nelayan (sangat sebagian kecil bertani). Karena itu mereka cenderung tinggal di dekat pantai.

Bahasa sehari-hari di Bukitlawang adalah Karo, Jawa dan Inggris di samping tentu saja Bahasa Indonesia. Orang-orang Karo lancar berbahasa Jawa dan orang-orang Jawa lancar berbahasa Karo.

Pengetahuan seperti ini semua perlu disosialisasikan, tapi butuh waktu yang panjang. Kacar-kacar kucur-kucur, anjar-anjar usur-usur.

Jangan lupa dengan perumpamaan saya, tempatkan diri kita (Karo) sebagai Sang Kancil diantara Harimau dan Buaya. Lawan kita yang paling berat bukan siapa-siapa, tapi adalah KETIDAKTAHUAN.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.