Kolom Juara R. Ginting: INFORMASI BUDAYA BAGAI AIR TUMPAH KE PASIR (Bagian 1)

Beberapa hari lalu saya menulis tentang kain (uis) Karo bernama Batu Jala. Seseorang yang sudah malang melintang di dunia fashion show mancanegara, dengan bahan kain tradisional, merespon tulisan itu dengan ucapan terimakasih.

“Meskipun nantinya menjadi lupa [atas informasi ini], tapi saya sudah menyimpan tulisannya,” katanya.

Membaca komentarnya, saya berdua hati. Di satu sisi saya puas karena dia menghargai informasi yang saya bagikan. Tapi di sisi lain, dia jujur, mengatakan nanti akan lupa juga [pada informasi itu].

Saya katakan dia jujur karena pada kenyataannya bukan hanya dia seperti itu. Ini saya sadari beberapa tahun lalu. Saat itu, facebook Karo diramaikan oleh keberadaan kampung Pertibi Lama (Kecamatan Merek, Kabupaten Karo).

Issue awalnya tentang cocoknya tanah di daerah ini untuk menanam kentang jenis Granola. Lalu, seseorang yang sering berkunjung ke kampung itu, dalam kaitannya dengan pertanian, mengatakan rumah adat Karo di kampung itu hampir punah.

Lalu, saya menulis bagaimana kampung itu merupakan bagian dari Urung Sipitu Kuta Ajinembah. Ada dua urung bernama Sipitu Kuta. Satu ibu negerinya Ajinembah, dan satu lainnya Tengging (sekarang lebih sering disebut Tongging). Pertibi Lama ini masuk ke Urung Sipitu Kuta Ajinembah.

Sebagai selingan, saya tambahkan informasi bagaimana penghulu lama (turun temurun) dari kampung ini adalah sahabat karib dari kakek saya yang merupakan penghulu lama Lau Riman, kampung bersebelahan dengan Pertibi Lama. Kedua kampung ini dipisah oleh Gunung Siosar yang sekarang menjadi tempat perumahan pengungsi korban letusan Gunung Sinabung yang pernah dikunjungi oleh Jokowi.

Menurut ayahku, kakek dan pengulu lama Pertibi selalu bersama bila ada panggilan para penghulu ke Kantor Raja Urung di Ajinembah.

“Setibanya kalian di Pertibi, langsung cari keturunan penghulu lamanya. Perkenalkan dirimu cucu penghulu Lau Riman,” kata ayah saat saya sampaikan rencana menembus hutan Siosar dari Lau Riman ke Pertibi di tahun 1989.

Betul saja. Kami disambut hangat oleh keluarga putra penghulu lama itu dan ditawarin menginap di rumah mereka setelah kuperkenalkan siapa kakek.

Karena orang-orang mengkhawatirkan rumah-rumah adat di kawasan itu, saya pun menulis keunikan rumah-rumah adat di sana.

Kupaparkan, umumnya rumah-rumah adat di Taneh Karo sudut pangkal kayu (bena kayu) berada di sebelah kiri bila kita memasuki rumah ini dari beranda hilir (ture jahe). Tapi, uniknya, semua rumah di Urung Sipitu Kuta Ajinembah maupun Urung Sipitu Kuta Tengging sudut pangkal kayu ada di kanan.

Kekecualian adalah rumah-rumah di Dokan. Walaupun kampung ini masuk ke wilayah Urung Sipitu Kuta Ajinembah, sudut pangkal kayu ada di kiri bila kita memasuki rumah dari beranda hilir, mengikuti pola umum rumah-rumah adat di Taneh Karo.

Tapi, tunggu dulu. Saya temukan artikel pendek dari missionaris Guilamme yang juga menggambar posisi kedelapan tempat tinggal keluarga (jabu) di sebuah rumah adat di Bukum, sebuah kampung Karo di Kecamatan Sibolangit (Kabupaten Deliserdang). Itu dia gambar saat dia bertugas di sana sebelum pindah ke Kaban Jahe dan menjadi pemicu perang perlawanan Garamata (Kiras Bangun) di Dataran Tinggi Karo.

Menjadi pertanyaan saya saat itu, apakah Bukum satu-satunya kampung di sekitar itu yang pangkal kayunya ada di kanan, seperti dua Urung Sipitu Kuta, atau memang di semua kampung sekitarnya.

Sampai sekarang pertanyaan ini tidak terjawab karena, pertama-tama, saya tidak pernah sampai ke daerah itu dan ke dua, tidak ada yang tertarik atas pertanyaan saya di facebook saat itu.

Padahal, saya sudah jelaskan keistimewaan posisi Bukum. Pertama, salah satu versi sejarah merga Barus mengisahkan ada 3 nenek moyang merga ini yang berasal dari Bukum. Putra sulung mendirikan Patumbak yang kemudian menjadi ibu negeri Urung Senembah. Putra bungsu mendirikan Barus Jahe yang kemudian menjadi ibu negeri Urung Sipitu Kuta Barus Jahe.

Di sebuah versi lain, dikatakan ritual peresmian rumah adat Karo pertama (tertua) di Ajinembah, yang kemudian menjadi ibu negeri Urung Sipitu Kuta Ajinembah, Sibayak Barus Jahe membuat upacara Putar (disebut juga Tepung Tawar) sehingga kekacauan di rumah itu menjadi tenang.

Lalu, menurut kisahnya, Sibayak Ajinembah mengkhibahkan sebagian wilayahnya ke Sibayak Barus Jahe. Tidak mengherankan bila Pemerintah Kolonial Belanda pada awalnya menyebut Urung Sipitu Kuta berpusat di Barus Jahe.

Secara samar pembaca tentu sudah melihat hubungan kental secara mitologis antara pendiri Sipitu Kuta, yaitu merga Munte, dengan pendiri Sibayak Barus Jahe yaitu merga Barus. Adakah hubungan mitologis ini punya korelasi dengan letak sudut pangkal kayu yang sama-sama di kanan?

Tidak ada yang tertarik atas pertanyaan saya. Sebaliknya ada yang marah karena menurut salah satu versi mitologi wilayah Sibayak Barus Jahe adalah pemberian Sibayak Ajinembah. Padahal, saya katakan menurut salah satu versi dan versi ini sudah pernah diterbitkan oleh missionaris J.H. Neumann dan sudah juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Ini sama dengan beberapa hari lalu saya menampilkan foto lama dengan menambahkan informasi kalau itu adalah Bukum. Lalu, ada yang bertanya apakah itu memang Bukum atau Basukum.

“Kedua desa ini berdekatan tapi kemungkinan itu maksudnya Basukum,” katanya lagi.

“Bukan, itu memang Bukum menurut keterangan foto itu,” jawabku.

Seseorang lain kemudian menasehati saya kalau Bukum dan Basukum itu berbeda. Saya jadi bertanya di dalam hati, “adakah saya mengatakan Bukum dan Basukum sama?” Kalau saya katakan sudah sedari dulu saya tahu Bukum dan Basukum itu adalah berbeda, mungkin mereka akan kecil hati.

Saya sudah berpengalaman di media sosial, banyak pembaca saya lebih tertarik pada kampung mereka sendiri daripada data dan informasi yang saya sajikan.

Mereka cenderung menggiring saya menampilkan betapa istimewanya kampung mereka atau betapa gagah perkasanya nenek moyang mereka walaupun kadang ada yang pengkhianat. Sama sekali tidak tertarik pada data dan informasi yang saya sajikan mengenai Karo meski berasal dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan bertahun-tahun.

Oh, ya, satu lagi keunikan posisi Bukum dapat ditemukan di salah satu laporan Belanda. Setelah mengangkat Sultan Deli sebagai pemimpin tertinggi di Deli, Belanda melihat kunci ketaklukan orang-orang Deli Hulu (Suku Karo) ada pada Pengulu Bukum. Mereka meminta Pengulu Bukum menghadap Sultan Deli.

Ini kata Pengulu Bukum.

“Sultan Deli yang harus menghadap saya ke sini!”

BERSAMBUNG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.