Kolom Juara R. Ginting: KEPUSTAKAAN DALAM ISSUE AMBURIDI DESA GONDOK — Masih Mengenai Fenomena KBB

Saat saya memosting mengenai issue Amburidi sebagai desa gondok kemarin, Edi Sembiring mengirimkan tautan berita Majalah Tempo (lihat tautan di bawah). Berita Tempo ini bagi saya ada positipnya tapi ada juga negatipnya. Positipnya, berita itu mengkonfirmasi adanya issue kalau Amburidi merupakan sebuah desa di Kabupaten Karo yang sebagian besar warganya menderita penyakit gondok (baruten dalam Bahasa Karo).

Negatipnya adalah terkesan dipaksakan kalau keadaan itu memang pernah ada. Sebagaimana di dalam kutipan ini:

“Itu dulu, tahun 1970-an, ketika gondok menjangkiti 75% penduduk,” kata Damenta Munthe, 55 tahun. Menurut Kepala SubBagian Informasi Pemerintah Daerah Tanah Karo itu, budaya ganjil ini sudah berubah berkat serangkaian penyuluhan serta distribusi garam beryodium, sejak 1974 (Dikutip dari Berita Tempo 20 November 2010) Cita-cita gondok – Indonesiana – majalah.tempo.co

Terkesan ada perbedaan kecenderungan pendapat pejabat pemerintahan dengan warga setempat. Sayangnya, Tempo tidak tertarik mendalami masalah ini lebih jauh. Sekarang, saya ajak pembaca menggunakan pisau analitik tentang kebenaran apakah memang pernah 75% warga Amburidi menderita gondok hingga Tahun 1970an.

Saya ke sana itu pada tahun 1989. Katakanlah kita mengukur selisih waktunya mundur ke Tahun 1970, maka hasilnya adalah sekitar 20 tahun. Pertanyaannya, apakah setelah ditangani pemerintah langsung gondok para warga lenyap? Apalagi penanganannya hanya dengan memberi bantuan garam berjodium.

Sesuai penjelasan para pejabat pemerintahan (Kepala SubBagian Informasi Pemda Karo dan mantan Camat Kutabuluh) yang diberitakan Tempo, bisa diasumsikan kalau 75% warga dewasa desa itu hingga Tahun 1970 mengidap penyakit gondok. Dengan mengkonsumsi garam berjodium gondok mereka tidak akan lenyap begitu saja karena garam berjodium hanya untuk mencegah agar konsumennya tidak menderita penyakit gondok.

Dengan perhitungan seperti itu, diasumsikan pula saya akan menemukan warga dewasa usia sekitar 60 – 70 tahun ke atas yang menderita gondok. Nyatanya, tak ada satupun saya temukan warga yang menderita gondok di tahun 1989.

Seorang Romo yang berkomentar di postingan saya juga mengatakan dia mendengar dari kakeknya tentang Amburidi desa gondokan, tapi saat ke sana pada tahun 1987 dia tidak menemukan penderita gondokan itu di sana.

Seorang warga (Dhelgint Manik) setempat yang lahir dan tumbuh besar di Amburidi memberi komentar seperti ini terhadap tulisan saya:

“Pernah Camat Kutabuluh berkunjung ke Amburidi disertai seorang wartawan media cetak. Wartawan itu membuat foto seorang laki-laki yang gondokan dan memberitakannya. Itulah awalnya ada anggapan di luar kalau semua warga Amburidi menderita penyakit gondok.”

Penjelasannya sama dengan penjelasan Kepala Desa Amburidi di tahun 1989 itu kepada saya ketika saya meminta pendapatnya mengapa di luaran sana Amburidi terkenal sebagai kampung gondok sementara saya tidak melihat jejaknya sama sekali.

Mengenai anggapan di luaran itu, Dhelgint Manik bercerita lagi: “Sewaktu saya bersekolah di SMP St. Thomas Binjai, banyak orang keheranan karena saya tidak punya gondok. Saat itu, 80-90% remaja Amburidi sekolah di Binjai.”

Seorang warga Tigabinanga (Bayak Pa Mangkok) merespon penjelasannya: “Aku pun saat masih kanak-kanak berangapen, setiap ada orang gondokan datang ke Tigabinanga. pasti berasal dari Amburidi.”

Beberapa fakta lain menunjukan pula ketidakbenaran anggapan semua warga Amburidi menderita gondok. Sebagaimana dipaparkan oleh Dhel Ginting, sumber air minum Amburidi adalah yang terbaik di Kecamatan Kutabuluh, layak diminum langsung tanpa dimasak.”

Terkait dengan garam, sudah sedari dulu warga Amburidi mengkonsumsi garam yang sama dengan warga desa-desa Karo lainnya berasal dari Pantai Timur Sumatera. Amburidi sebenarnya tidak sangat jauh dari salah satu pasar terbesar di Dataran Tinggi Karo di masa Kolonial, yaitu Tiga Kerenda yang berada di Kutabuluh Simole. Lewat jalan setapak mereka bisa menuju pasar ini.

Bisa dipastikan, hanya satu laki-laki yang diberitakan oleh sebuah media cetak itulah yang menderita gondok hingga tahun 1970an di Amburidi. Sementara pengaruh berita itu hampir semua Orang Karo beranggapan bahwa semua warga Amburidi menderita gondok.

Majalah Tempo tidak menggali fakta yang sebenarnya ini hingga tuntas. Hanya sebatas mempercayai penjelasan pejabat pemerintahan di ibukota Kabupaten Karo, tepatnya di Kantor Bupati Karo. Beberapa media lain bahkan menampilkan anggapan masyarakat Karo secara luas itu tanpa sedikitpun tertarik menemukan fakta yang sebenarnya.

Semua media itu adalah bagian dari dunia tulis menulis alias kepustakaan. Kepustakaan punya dunianya sendiri yang membuatnya merasa cukup merujuk kepada kepustakaan sebelumnya tanpa harus membuktikan kebenarannya.

Demikianlah dunia kepustakaan sejak kolonial yang membuat orang-orang yakin kalau Karo adalah bagian Batak. Lebih parahnya lagi, opini yang dibangun oleh dunia tulis menulis ini mengarahkan asumsi para pembacanya seolah sebagian besar aspek-aspek budaya yang dikatakan Batak itu adalah mirip. Masih lebih parah lagi, berdasarkan dunia tulis menulis itu pula Sejarah Karo ditentukan oleh sejarah suku lain.

Dengan uraian ini saya harap para pembaca paham mengapa kita, terutama orang-orang Karo, melihat secara langsung dan meraba objek budaya atau sejarah yang kita miliki agar suku lain tidak sembarangan mendefenisikannya secara tidak ilmiah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.